PARA TAMU YANG MULIA, SELAMAT BERKUNJUNG اهلا و سهلا مرحبا بكم جميعا

DISINI, KITA (MUSLIMIN SEJATI) BERBAGI INFORMASI ISLAMI UNTUK KEJAYAAN ISLAM SEJATI



DI TEPI PANTAI ATLANTIK

Rabu, 11 Januari 2012

MENYINGKAP POTENSI-POTENSI KESESATAN

Menelusuri kehidupan yang berada pada ujung keberadaannya, memang banyak kita temui fenomena-fenomena kejanggalan dalam seluruh ruang kehidupan. Dimulai dari hal-hal kecil tak berarti sampai kepada perkara-perkara besar prinsipil dalam wilayah-wilayah sangat prinsipil pula, termasuk wilayah I’tiqadiy. I’tiqad adalah ruh dari suatu keperayaan, sehingga ketidaksamaan secara substantive padanya menciptakan status yang berbeda pula antara iman dan kufur atau antara hak dan bid’ah. Saat sekarang ini, bermain-main dalam wilayah ini bukanlah suatu ‘kengerian’, malah suatu hal yang lumrah terjadi di mana-mana. Akibatnya, alirann sesat atau kufur terus bermunculan dengan tetap mempertahankan lebel ‘Islam’ sebagai ‘merek’ dagang agar awam termakan dalam tipuannya.
Harus diakui, bahwa ‘membanjirnya tsunami-tsunami’ kesesatan bukanlah hal baru dalam potret sejarah Islam, malah boleh dikatakan nyaris seumur Islam itu sendiri. Karena, Khawarij yang merupakan pioneer  dalam kesesatan lalu estafetnya dilanjutkan oleh Mu’tazilah, telah dilahirkan dalam awal-awal masa Islam dalam hamparan pengkuan para Shahabat yang mulia. Aneh memang, di mana ‘penonton’ langsung wahyu dan pemangku Hadits masih hidup, Muktazilah muncul dengan klaim kebenaran mutlak berada di tangan mereka, sehingga mereka merasa punya legitimasi mengkafirkan orang-orang yang telah ‘dimubasysyarahkan’ dengan surga. Aneh memang! Memang ciri awal aliran sesat adalah ‘aneh’ dan ‘tidak populer’ di mata mayoritas umat Islam.
Keanehan dan ketidakpopuleran ini telah diteliti kemudian disimpulkan oleh para ulama Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, semisal Syaikh Sanusi, dalam beberapa poin berikut ini, seperti tertulis dalam kitab ‘Aqidatun Najin’ hal.44-45:     
a.       Al-Ijadudz Dzatiy (pengadaan dengan sendirinya)
Melalui konsep ini, para penganutnya berkeyakinan, bahwa seluruh jagat raya ini tercipta dengan sendirinya, tidak dikaryakan oleh kekuatann MahaKuasa. Terkadang untuk menyamarkan penyebutan konsep ini sering diistilahkan dengan ‘Proses Alam’ disertai dengan, yang disebut sebagai ‘fakta ilmiah’. Maka, penjabaran-penjabaran konsep ini tok-tok hanya berdasarkan kepada lahiriyyah kasat mata dari alam ini, tanpa mengaitkan, apalagi mengakui, dengan keberadaan kekuatan super Maha di baliknya. Seperti penjelasan tentang penguapan air laut yang melayang bertengger pada awan, lalu awan berarak ditiup angin kemana arah angin berlabuh. Penjelasan ini tidak sedikitpun mengungkapkan siapa aktor penggerak di belakangnya seperti dalam paparan ilmu ketauhidan Islam, dan model beginilah yang diajarkan secara berkala di sekolah-sekolah anak-anak muslim sekarang ini. Lebih parahnya lagi, guru yang mengajar tidak juga berusaha mengait-ngaitkannya dengan para Malaikat, walaupun dia seorang muslim pula.
Dari satu sisi, konsep ini dinilai ‘wajar’, karena dia adalah produk impor dari negeri seribu dewa, Yunani, yang dibidani oleh filosof-filsofnya yang kuffar. Mereka adalah para pemikir penyembah berhala yang mustahil diharapkan akan melahirkan buah-buah pikiran bernuansa ‘tauhidiy’.  Yang tidak lucu adalah para muwahhid mengadopsi bulat-bulat kekufuran otak kaku mereka.
b.      At-Tahsinul ‘Aqliy (baik secara akal)
Orang-orang yang mengkultuskann daya akal pikiran manusia mempunyai potensi kuat memasuki gelapnya lorong kesesatan, karena bagi mereka hanya akallah yang layak diandalkan dalam menyimpulkan baik-buruknya sesuatu. Dengan terlalu ‘beriman’ kepada anugerah akal inilah, menyebabkan ‘Barahimah’, sekelompok filosof  Yunani, mengingkari daya dahsyat sang Maha Pencipta, dan menjadikan Muktazilah lebih mengutamakan akal ketimbang wahyu, sehingga lahirlah term ‘Shilah’ dan ‘Ishlah’ dalam wilayah konsep tauhid versi mereka. Artinya, menurut mereka Allah swt wajib berbuat kebaikan kepada hamba-hambaNya, sekalipun tidak ada nash yang mengungkapkan hal itu, tapi hanya akal tumpul mereka sajalah menghendaki demikian.   
c.       At-Taqlidur Radi (mengikuti orang bodoh)
Mengikuti suatu aliran dari orang-orang yang riwayat dan sandaran keilmuannya remang-remang tanpa mengkritisi mengikuti filter akal sehat dapat terjerumus dalam kekufuran abadi, dan beginilah yang disebut fanatisme buta. Akibatnya, disamping terus mencari pembenaran atas ‘mimpinya’ sendiri, juga memiliki implikasi menyesatkan dan mengkafirkan orang-orang yang berseberangan dengan mereka. Inilah biang kerok kekafiran orang-orang Jahiliyyah, dimana mereka selalu beralasan: ‘hanya ini yang kami dapatkan dari bapak-bapak kami’. Seandainya ‘bapak-bapak’ berangkat dari ‘dugaan-dugaan sesat’, niscaya mereka juga menelusuri kesesatan. Seperti guru-guru Salek Buta yang mendadak alim dari dulunya hanya ‘meurajah’ atau ‘sebagai guru silat’ tanpa didahului oleh riwayat pendidikan yang jelas dimana dan siapa gurunya. Pengikut ajaran Salek Buta ‘mendudukkan’ guru mereka nyaris setara dengan tuhan, sampai-sampai ucapannya senada dengan firman atau sabda. Padahal, dalam ranah Islam ilmu telah dipagari sedemikian ketat agar benar-benar murni berasal dari Rasulullah saw sebagai pemegang mandat dari Allah swt. Beliau meletakkan dasar keilmuan dengan : ‘Sesungguhnya ilmu hanya dengan belajar’ (HR. Bukhari). Artinya, ‘belajar’ adalah suatu proses yang rukun-rukunnya adalah ‘pengajar’ dan ‘murid’. Ini bermakna belajar tanpa guru (pengajar) sama dengan bohong, dan secara Islam orang ‘mendadak’ alim itu suatu irrasional. Apalagi ada ungkapan mengancam : “orang-orang yang tidak punya guru, maka setanlah gurunya”. Munginkah setan menunjuki jalan kebenaran?


d.      Ar-Rabthul ‘Adiy (hukum adat)
Hukum Kausalitas (sebab-akibat) adalah salah satu penyebab kesesatan terbesar saat ini. Hukum ini hanya melihat pertalian dua perkara yang sering terjadi, sekalipun terkadang pertaliannya bubar di depan mata juga. Lalu diangkat derajatnya menjadi suatu keyakinan semu. Meyakini ‘makan’, misalnya, sanggup mengkaryakan ‘kenyang’ adalah suatu i’tiqad pembodohan akal sehat manusia, karena antara keduanya terkadang tidak punya link yang bisa dihubungkan. Hal ini terbukti dengan kenyataan, bahwa makanan sebagai ‘benda mati’ mustahil punya kekuatan apapun juga, termasuk mengenyangkan. Tetapi disinilah ujung pangkal kekafiran golongan ‘Thaba-i’in’ (orang-orang berkeyakinan sebab-sebab ‘adiy mengefek pada akibatnya).  Aliran mereka ini diadopsi bulat-bulat oleh buku-buku Ilmu Alam di sekolah-sekolah negara kita ini.
e.       Jahlun Murakkab (kebodohan bertingkat)
Mencoba memahami lalu meyakini sebagai suatu kebenaran mutlak dengan perangkat keilmuan yang tidak memadai. Mengira sebagai suatu ilmu, padahal hanya layak disebut sebagai kebohongan, karena tidak dilandasi oleh persyaratan yang dibutuhkan. Dan, tentu saja hasilnyapun melenceng jauh dari kebenaran. Tetapi, kesimpulan batil ini diduga oleh pemiliknya sebagai kebenaran hakiki. Jadilah dia memiliki dobel kebodohan. Kebodohan  pertama, karena dia tidak menyadari bahwa dirinya tidak memenuhi persyaratan. Kedua,  karena kesimpulan yang diperoleh dari kebodohan adalah kebodohan juga. Persoalan ini dewasa ini sedang sangat marak terjadi di mana-mana. Hanya modal Al-Quran terjemahan, sekarang muncul bak mujtahid mutlak setara dengan Ahmad bin Hanbal. Hanya dengan ijazah SI yang mereka dapatkan dari gurun pasir, mereka berlagak menilai qaul-qaul terdahulu seolah setara dengan mujtahid tarjih. Kesombongan ini menghancurkan pemiliknya sendiri dan menyesatkan orang-orang sekelilingnya. Iblis pernah merasakan hal ini dan dia telah menempuh jalan kufur abadi.
f.       I’timadu Dlahir Nash (memegang lahiriyyah nash)
Dalil yang tersedia dalam Al-Quran dan Hadits terklasifikasi kepada dua. Pertama, Muhkam, jelas penunjukannya. Kedua, Mutasyabihat, mengandung makna yang tidak jelas penunjukannya. Karena itu, para ulama Salaf tidak memaknai dalil-dalil tersebut, hanya menyerahkan (tafwidl) pengertiannya kepada Pemiliknya sendiri. Sedang ulama Khalaf, menafsirkannya (takwil) dengan menyesuaikan dengan ketuhanan Allah swt. Sementara bagi mereka yang ‘menyukai’ memakai dalil-dalil mutasyabihat dipastikan akan terjerembab dalam kekufuran, karena lahiriyyahnya, kecuali berbenturan dengan dalil-dalil sarih lainnya, juga terkadang menyamakan Allah swt dengan makhluk. Para penganut keyakinan seperti ini telah muncul pada masa-masa awal Islam yang dikenal dengan sebutan ‘Hasywiyyah’. Seluruh ayat dan hadits yang secara lahiriyyah Allah swt, na’uzubillah, menunjukkan ada anggota tubuh seperti manusia, diambil oleh mereka secara apa adanya tanpa menghiraukan berbenturan dengan dalil-dalil muhkam lainnya. Akibatnya, seperti ‘yadullah’ yang oleh Salaf tidak memaknainya secara harfiyyah karena khawatir menyamakan Allah swt dengan manusia, oleh Hasywiyyah langsung menerjemahkannya dengan ‘tangan Allah’, na’uzubillah. Ini pulalah yang dii’tiqadi oleh Sekte Wahhabiyyah sekarang ini, sampai-sampai mereka kafirkan ulama yang menafsirkan kalimat di atas dengan ‘kekuasaan Allah’, karena haram takwil menurut mereka.   
g.      Jahlun Bi-Qawa’id ‘Aqliyyah (tidak tahu kaidah-kaidah imu aqliy)
Jalan tempat otak menjalani pemikirannya telah disusun rapi oleh para ulama Mutakallimin yang mu’tabar. Mengatakan mereka luput dari kesalahan bukanlah suatu kebenaran. Tetapi, setelah ribuan sarjana Islam dari masa ke masa ternyata menyepakati poin-poin hasil kerja mereka yang telah terdahulu, itu berarti kebenaran ijma’i yang dijamin oleh Rasul sebagai bukan kesesatan. Dengan daya akal kita temui ketuhanan Allah swt. Maka, kemudian para ulama menyusun teori-teori yang berlaku pada akal, seperti ada hukum wajib, mustahil dan jaiz. Ini semua memang harus diakui tidak ada pada masa hidup Rasul saw, karena kebrilian akal beliau tidak diragukan lagi, disamping karena selalu dituntun oleh Allah swt. Lalu untuk umat beliau mesti ada sesuatu sebagai tongkat pedoman agar tidak melenceng dari jalan kebenaran, dan itu adalah kaidah-kaidah aqliyyah yang telah jadi digarap oleh para pewarisnya.
Mereka yang tidak tahu ke mana arah perjalanan otak, mereka akan menghukum bagi otak dengan hukum-hukum yang bukan ‘makanan’ nya. Sehingga hukum adat dikira hukum akal. Hukum akal bersifat pasti, tidak menyalahi kapanpun. Beda dengan hukum syar’i dan ‘adiy, dimana syar’i hanya berpedoman pada nash Syara’ dan ‘adiy hanya melihat kepada kebiasaan-kebiasaan yang terjadi tapi tidak bersifat keniscayaan. Artinya, bisa saja menyalahi dari kebiasaan itu. Mereka yang tidak sanggup atau mau membedakan tiga hukum ini, lalu terjun ke ilmu tauhid, dapat dipastikan dia mempunyai modal besar untuk melempang dari jalan kebenaran, alias sesat-menyesatkan.
Ketujuh poin di atas rasa-rasanya begitu dekat malah begitu berselemak dengan kehidupan kita, yang berarti potensi kesesatan menjadi sesuatu yang mengkhawatirkan kita semua, terutama bagi mereka yang merupakan generasi ‘mengambang’, tidak memiliki kaidah-kaidah dasar ketauhidan, akan sangat mudah terbawa air bah kesesatan yang sekarang bergulir seperti kecepatan bola salju. Semoga kita semua dapat terhindari dari potensi kekufuran dan kesesatan ini. Amin.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar