DAFTAR
ISI
Daftar
isi…………………………………………………………1
Muqaddimah…………………………………………………….3
MEYAKINI
SIFAT-SIFAT RASUL
………………………….………………………………………..5
Pengertian
Shidiq………………………………………………..7
Pengertian
Amanah…………………………………………….10
Pengertian
Tabligh……………………………………………...13
Pengertian
Fathanah……………………………………………16
PENGERTIAN
JAIZ
………………………………………………………………….18
Ta’dlimul
ujur…………………………………………………..21
Tasyri’…………………………………………………………..22
Tasally
‘anid Dunya……………………………………………23
Tanbih li
Khissatiha…………………………………………….24
Kesimpulan……………………………………………………..26
PENGARUH
MAKANAN HARAM
………………………………………………………………….28
Haram
li Zatih………………………………………………….30
Haram
li Ghairih……………………………………………….32
Beberapa
Makanan Haram…………………………………….38
Tertolaknya
Amal Ibadah………………………………………39
Tertolaknya
Sedekah…………………………………………...46
Jahatnya
Pola Pikir…………………………………………….48
Kaburnya
Bisikan Hati…………………………………………51
Tertolaknya
Doa………………………………………………..54
Terjaminnya
Tempat Dalam Neraka…………………………...57
Kesimpulan……………………………………………………..64
DIBALIK
KEGHAIBAN MALAIKAT
………………………………………………………………….67
Definisi
Malaikat……………………………………………….68
Banyaknya
Malaikat……………………………………………72
Para
Tokoh Malaikat dan Tugasnya……………………………75
Jibriel
Dan Tugasnya…………………………………………...76
Mikail
as Dan Tugasnya………………………………………..78
Malakul
Maut as Dan Tugasnya……………………………….79
Israfil
as Dan Tugasnya………………………………………..80
Kema’shuman
Malaikat………………………………………..80


الحمد لله مجيب الداعين ومثيب الساعين ومعطي الطالبين ومرضي الراغبين
ومنجد الهالكين ومرشد السالكين صلى الله عليه وعلى آله وصحبة صلاة وسلاما دائمين إلى
يوم الجزاء
MUQADDIMAH
L
|
embaran warkah di tangan Anda
sekarang ini adalah sebuah usaha penyebaran ilmu-ilmu Islam ke tengah-tengah
jantung komunitas Islam sendiri. Sedianya, tulisan ini untuk memenuhi
permintaan Redaktur Buletin An-Nidak, wadah dakwah Majelis Permusyawaratan
Ulama (MPU) Aceh Utara, tempat penulis juga bernaung di bawahnya. Kemudian
penulis merasa perlu menjilidkannya, disamping ada segelintir permintaan dari
jama’ah pengajian, yang penulis terlibat di dalamnya, juga untuk membuat dakwah
Islam semakin menyentuh kalangan terpelajar yang terus ‘dinina-bobokan’ oleh
aktivitas sekulernya, jauh dari ‘himmah’ (hasrat) hakikat kehidupan yang
akan dijumpai setelah bayang-bayang kehidupan ini.
Di dalam warkah kecil ini,
penulis menyimpan tiga untaian artikel: duanya bernuansa ketauhidan bertajuk ‘Dibalik
Keghaiban Malaikat’ dan ‘Meyakini Sifat-Sifat Rasul’ . Dan satunya lagi berwarna
kental akhlak kehidupan (Tashawwuf) kaum Muslimin berjudul ‘Efek Jelek Makanan
Haram’. Kedua-duanya, seperti telah penulis sindir di atas, merupakan artikel
untuk MPU.
Tiga artikel ini, penulis
persembahkan kepada sidang pembaca untuk ‘menikmatinya’, agar dengannya kita
semua (penulis dan para pembaca) bisa ‘menikmati’ nikmat yang paling agung
kelak di ‘yaumil mahsyar’, di mana hanya itulah satu-satunya nikmat yang
tersedia. Dan, penulis juga menginginkan tulisan ini dikritik, baik gaya
penulisan atau isi kandungannya, agar dapat disempurnakan di lain waktu.
Kekurangan adalah hal yang sudah pasti ada, mengingat penulis bukan orang yang
sudah ‘berkarat’ dalam wilayah ini, apalagi mau dikatakan sangat ahli sekali.
Karena, secara personal dan internal, penulis berada dalam habitat yang sangat
jauh dari dunia kepenulisan, yaitu di bawah birunya langit kedayahan dan di
atas hijaunya rerumputan kain sarung ‘aneuk meudagang’ serta
beruang-lingkup hanya cagar alam yang nyaris punah dari peredaran ‘Nangroe
Aceh’, sekalipun dialah yang membuat
Aceh lahir dan terus bertahan sampai hari ini di ‘tanoh indatu’.
Dengan latar belakang ‘segelap’
ini, mustahil bisa diharapkan akan berdaya menelurkan sebuah kesempurnaan.
Tetapi, sesungguhnya penulis memang tidak bermaksud ke sana, karena itu
wilayahnya uluhiyyah, hanya mencoba berdakwah melalui tetesan tinta
semata, kalau-kalau ada manfaatnya, khususnya untuk kehidupan selanjutnya.
Maka, kekurangan adalah hal wajar
sekali. Dan, sangat wajar pula untuk terus berupaya menimpalinya dengan
perbaikan-perbaikan yang kontinyu, dari siapapun dan darimanapun, agar tidak
terklasifikasi dalam lumpur kesengajaan yang berujung ke salah satu ngarai
neraka.
Amin.
Silahkan membaca.
Darul Huda, 8
Juli 2011
Penulis

MEYAKINI SIFAT-SIFAT RASUL
S
|
alah satu pilar utama keimanan
dalam Islam adalah meyakini adanya sifat wajib, mustahil dan jaiz pada diri
seorang Rasul. Dalam ranah i’tiqady, hukum ‘wajib’,
‘mustahil’ dan ‘jaiz’ (harus) mempunyai pengertian tersendiri
yang lain dari lain. Karena ketiga hukum di atas adalah lebih bersifat untuk
meyakinkan para mukallaf, maka yang bisa mendesak agar para mukallaf tidak bisa
menghindari dari meyakini tentang yang wajib, mustahil dan harus pada Rasul
adalah ‘akal’ mereka sendiri. Sementara ‘akal’ menghukum hanya dalam dua kata:
‘boleh’ atau ‘tidak’ (boleh). ‘Boleh’ (ada atau tidak) disebut ‘jaiz’ (harus).
Sedangkan ‘tidak’ (boleh tidak ada) dinamakan dengan ‘wajib’. Dan, ‘tidak’
(boleh ada) diistilahkan dengan ‘mustahil’. Tidak ada hukum keempat yang dapat diproduksi
oleh akal manusia, karena itu berarti keluar dari rumus: ‘boleh atau tidak’.
Sedangkan akal hanya berkisar antara keduanya.
Rasul dalam
kontek keimanan, didefinisikan dengan:
هو انسان ذكر حر بعثه الله تعالي للخلق
ليبلغهم ما اوحي اليه
Artinya:
Rasul adalah seorang laki-laki merdeka yang diutus oleh Allah swt kepada
makhluk untuk menyampaikan wahyuNya kepada mereka.
Rasul
sebagai manusia pilihan Allah swt sudah barang tentu memiliki kelayakan untuk
menempati posisi sangat terhormat tersebut. Dan, yang mengirimkannyapun tidak
akan sembarang memilih dan main comot tanpa perhitungan, agar tujuan dia diutus
bisa mencapai sasaran yang diharapkan. Suatu keharusan bagi sipengutus
menetapkan criteria tertentu yang membuat pilihannya benar-benar tepat. Semua
criteria yang dimaksud telah tercakup dalam definisi di atas. Pertama,
persyaratan seorang rasul adalah berjenis manusia (orang), yang dengan ini maka
tidak pernah Allah swt mengirim utusanNya dari golongan Jin atau Malaikat untuk
menyampaikan wahyuNya kepada makhluk. Dan, kekhususan ini merupakan suatu
kehormatan dan kemuliaan bagi golongan manusia.
Kedua,
seorang laki-laki. Jenis makhluk yang satu ini mendapat kepercayaan dari Allah
swt untuk mengemban ‘risalah’, karena, baik fisik maupun mental,
mempunyai keunggulan dibandingkan dengan jenis-jenis yang lain. Karena, seperti
dimaklumi, tugas seorang Rasul begitu berat sekali dan mendapat tantangan
paling dahsyat dan teror dari manusia-manusia bejat pada zamannya. Menghadapi
semua ini sangat dibutuhkan mental baja dan ketahanan fisik yang prima, yang
umumnya hanya di dapat pada diri seorang laki-laki sejati.
Ketiga,
merdeka dari perbudakan. Seorang budak, disamping membelenggu kebebasan
menjalankan tugas-tugas kerasulan karena lebih terikat secara horizontal kepada
yang memperbudakkannya daripada terikat kepada Allah swt secara vertical, juga
perbudakan merupakan kasta manusia yang paling rendah yang tidak layak ada pada
seorang duta Allah swt, sebagaimana yang akan kita bentangkan lebih luas lagi
pada pembahasan sifat jaiz pada Rasul ke depan nantinya, insyaallah.
Keempat, menyampaikan wahyu kepada makhluk. Poin ini
secara lahiriyyah bukanlah suatu keharusan secara mutlak mesti terpenuhi,
tetapi lebih kepada untuk membedakan antara Rasul dan Nabi. Karena Nabi memang
tidak diperintahkan meneruskan wahyu kepada makhluk, seperti juga Rasul tidak
selamanya setiap wahyu wajib didistribusikan kepada makhluk. Tetapi secara
tersirat kalimat: ‘menyampaikan wahyu kepada makhluk’ mengharuskan
beberapa sifat lain yang menjadi landasan tercapainya maksud tersebut. Yaitu,
seorang Rasul Allah swt wajib diyakini punya sifat Shidiq (benar), Amanah
(dapat dipercaya), Tabligh (menyampaikan) dan Fathanah (kecerdasan).

PENGERTIAN SHIDIQ
الصدق
هو مطابقة الخبر للواقع
A
|
rtinya: Benar adalah
kesesuaian berita dengan hakikat kejadiannya.
Bersikap benar dalam hal ini
lebih dititikberatkan kepada pengakuannya sebagai utusan dari sang Pemilik alam
raya ini dan penisbatan perkataannya sebagai wahyu Tuhan. Karena konteknya
lebih mengarah kepada dua hal tersebut itu. Ketika dia mengatakan, bahwa saya
ini utusan dari ‘rabbul ‘alamin, itu memang benar-benar berasal dari
suatu kenyataan yang sesungguhnya, yaitu informasi dari Allah swt. Demikian
juga saat dia menyifatkan kalamnya adalah wahyu, itu pula memang berangkat dari
kalam kiriman yang Maha Kuasa. Keakuratan berita yang disampaikannya dengan
kenyataan sebenarnya merupakan suatu kewajiban bagi seorang Rasul dan kewajiban
meyakini adanya kebenaran tersebut bagi kita selaku umatnya. Artinya, kewajiban
di pihak Rasul dengan makna ‘tidak ada satu logika sehatpun yang sanggup
menafikan akan adanya sikap kebenaran pada diri seorang Rasul’ dan kewajiban di
pihak kita dengan pengertian ‘berdosa
kita kalau tidak mengakui dan meyakini kebenaran sang Rasulullah saw’. Ini
adalah salah satu dari konsekwensi masuknya kita dalam Islam.
Konsekwensi ini, yaitu wajib
meyakini kebenaran Rasul, bukan karena Islam memaksakan kehendaknya kepada kita
sebagai umatnya, tetapi karena didukung dan didesak oleh akal sehat kita
sendiri. Dimana kalau kita berpikir dari sudut pandangan Zat Yang Mengutus,
kita akan menemukan hakikat kebenaran, bahwa tidak mungkin seseorang dalam
kapasitasnya sebagai pengirim seorang utusan mengirim sembarang orang untuk
mewakilinya dalam suatu acara tertentu, apalagi orangnya sangat jauh dari sikap
objektif dalam penyampaian wahyu Tuhan. Kepastian Tuhan memilih seseorang Rasul
yang jiwanya ‘bermalkah’ dengan kebenaran adalah persoalan yang tidak
perlu diragukan sedikitpun dan sangat-sangat mustahil terjadi kebalikannya.
Dimana saja di setiap jengkal sudut bumi ini, tidak akan ditemukan seseorangpun
yang berlogika rusak seperti berikut ini: ‘ingin mewakilkan untuk menangani
suatu programnya kepada orang yang sangat berpotensi tidak akan
menyukseskannya’.
Disamping dengan
logika di atas, Rasul juga membawa sesuatu yang sangat istimewa untuk menopang
kebenaran pengakuan kerasulannya, yaitu mukjizat. Mukjizat yang secara
harfiyyah berarti ‘melemahkan’ pihak-pihak lain, yang secara istilah bermakna:
امر خارق للعادة مقرون بالتحدي مع عدم
المعارضة
Artinya:
‘Muncul suatu perkara yang merobek (menyalahi) adat-istiadat pada saat
menyatakan dirinya sebagai Rasul dan tidak ada yang sanggup melawannya’.
Sebagai bagian dari komunitas
manusia, seorang Rasul mustahil memiliki kemampuan yang tidak dimiliki oleh
manusia lainnya kecuali karena ada kekuatan Yang Maha Kuasa meng’support’
di belakangnya. Kekuatan luar biasa ini diberikan Allah swt kepadanya untuk membenarkan
pengakuan sang Rasul, bahwa dia benar-benar utusan Allah swt. Seandainya dalam
perbendaharaan ilmuNya terdeteksi kebohongan pengakuan kerasulan dari
seseorang, lalu dikirim pembenaran dengan suatu mukjizat, itu juga adalah
kebohongan yang nyata. Karena membenarkan kebohongan adalah kebohongan. Menuduh
Allah swt berbohong itu merupakan kemusyrikan. Karena , disamping Allah swt
tidak mendapat keuntungan dari kebohongannya, juga berarti menyifatkanNya
dengan sifat kekurangan. Padahal pada zat yang telah ‘tsabit’ ketuhanan
dengan ‘haqqul yaqin’ mustahil diiringi dengan kekurangan-kekurangan.
Sebuah mukjizat
yang diturunkan Allah swt kepada seorang Rasul, apalagi mukjizat bersifat abadi
sepanjang masa semisal kitab suci Al-Quran, menempati posisi sebagai firmanNya
yang berikut ini:
صدق
عبدي في كل ما يبلغ عني
Artinya: ‘Benarlah hambaKu
tentang seluruh apa yang disampaikannya dariKu’.
Karena mukjizat yang datang
seolah memberi sebuah pernyataan dan pengakuan, bahwa orang ini benar sebagai
Rasul. Karena, yang disebut dengan nama mukjizat, ia mesti berasal dari Yang
Maha Perkasa. Mustahil seorang insan secara pribadi punya kesanggupan membangun
sebuah peristiwa dahsyat sebesar mukjizat, apalagi ditambah dengan
ketidakberdayaan manusia di hadapan mukjizat. Semuanya ini menyampaikan suatu
pesan dalam batin kita, sesungguhnya para Rasul adalah benar dalam setiap
penyampaian mereka. Disinilah letak perbedaannya dengan sihir, dimana sihir
walau mempunyai sifat mencabik-cabik tradsi manusia, tetapi ada kekuatan super
power lain yang bisa menunduk dan mengalahkannya.
Pernah Musailamah
Al-Kadzdzab mencoba mencari keberuntungan lewat pengakuan dan memproklamir
mengangkat dirinya sebagai Rasul pada saat dan sesudah wafat Rasulullah saw.
Tetapi, akhirnya, ‘mimpinya’ itu mentah dan jadi bahan olokan saja oleh setiap
orang pada zamannya. Itu dikarenakan ikrar kerasulannya tidak ditopang oleh
suatu peristiwa luar biasa yang berasal dari sang Maha Pencipta. Pada suatu
saat dia juga pernah berusaha menipu orang-orang awam pengikutnya dengan
‘merakit’ apa yang disebutnya sebagai firman yang mirip dan untuk menandingi
Surah Al-Kautsar yang belum lama diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Inipun
bernasib sama seperti pengakuan kerasulannya, hambar dan hilang ditelan tertawa
olok-olokan khas padang pasir. Hal ini semakin menguatkan dan meyakinkan, bahwa
Al-Quran dalam kapasitasnya sebagai mukjizat untuk membenarkan Muhammad, memang
tidak bisa ditandingi oleh siapapun, karena dia bukan produk manusia, tetapi
firman Allah swt yang datang sebagai bukti bisu kerasulan Muhammad swt.


PENGERTIAN
AMANAH
S
|
ecara literal
‘amanah’ berarti ‘dapat dipercaya’. Dalam kontek sifat Rasul, amanah bermakna
‘menjaga dirinya dari terjerembab dalam lembah hitam perbuatan makruh dan haram, baik yang
berakibat kepada dosa besar ataupun kecil’. Sebaliknya, mustahil seorang Rasul
mengkhianati Allah swt dengan berkecimpung dalam dosa-dosa dan pekerjaan
makruh. Logikanya, Allah swt menyuruh kita mengikuti jejak-jejak para Rasul
dalam seluruh sisi kehidupan mereka, berbentuk qauliy atau bukan. Kalau mereka
menjalani kehidupan jauh dari tuntunan Allah swt, secara otomatis kitapun
mengekor persis di belakang mereka sebagai konsekwensi dari perintah Allah swt
pula. Saat itu terjadi, maka seluruh hakikat jadi amburadul, haram dan makruh
menjadi wajib dan wajib serta sunat bertukar menjadi haram. Peristiwa
pembelokan hakikat seperti ini mustahil tidak diketahui oleh Allah swt sebagai
pemilik hakikat itu sendiri. Ketika akibat dari suatu peristiwa sudah terhukum
mustahil, maka peristiwa itupun menjadi tidak logis pula. Dan, akhirnya,
ditetapkanlah amanah dalam diri seorang Rasul merupakan kewajiban secara rasio
yang sehat. Allah swt berfirman:
قُلْ
إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ
لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Katakanlah: "Jika kamu
(benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan
mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(QS;Ali
Imram:31)
Dalam ayat lain Allah swt juga
berfirman:
الَّذِينَ
يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الْأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا عِنْدَهُمْ
فِي التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ
(yaitu) orang-orang yang mengikut
rasul, Nabi yang Ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan
Injil yang ada di sisi mereka, (QS;Al-A’raf:157).
Dua
ayat di atas secara sharih menganjurkan mengikuti Rasul dengan berbagai imbalan
yang dijanjikan Allah swt. Para sahabat Nabi saw, orang yang paling dekat dan
lebih tahu tentang seuntai wahyu, mengikuti beliau dalam segala hal tanpa
mencoba mempersoalkan dan menggugat darimana sumbernya, valid atau tidak.
Sampai-sampai ketika Nabi saw menanggalkan sandal, mereka ramai-ramai ikut
melepaskannya pula. Ketika beliau membuka cincinnya, mereka ikut-ikutan
melakukan hal sama juga. Pernah Abu Bakar ra, Umar ra dan Utsman ra menyingkap
kain sebatas lutut hingga terlihat betis sesampainya mereka dan duduk di atas
sumur yang bernama ‘Aris’ dekat kota Medinah, hanya karena Nabi saw pernah
melakukannya. Kita saksikan perkataan Umar ra yang menggambarkan bagaimana
meneladani Rasul saw tentang Hajar Aswad tanpa mengkritisinya sedikitpun:
إني
أعلم أنك حجر لا تضر ولا تنفع ولولا أني رأيت رسول الله صلى الله عليه و سلم قبلك ما
قبلتك ثم قبله
Artinya: ‘Aku tahu,
sesungguhnya kamu (Hajar Aswad) hanya sebongkah batu yang tidak sanggup memberi
mudharat dan manfaat. Seandainya aku tidak melihat Rasulullah saw mengecupmu,
maka akupun tidak melakukannya juga’. Kemudian beliau mengecupnya.
Kepercayaan yang
begitu besar diberikan para sahabat kepada Nabi saw adalah indikasi sangat kuat
mengarah kepada kewajiban mempercayai beliau dalam segala hal. Mereka adalah
orang-orang yang menyaksikan langsung prosesi wahyu dibawakan dari langit
diserahkan kepada Rasul. Kalau saja ada sesuatu yang mencurigakan berlangsung
dihadapan mereka, penipuan dari Nabi saw misalnya atau telah terjadi
ketidakberesan, mereka tidak segan-segan menggugat dan mengkritik. Tetapi,
ternyata mereka tidak melakukannya, itu berarti membuktikan tidak ada gejala
dusta apapun. Seumpama Abu Hurairah ra yang selalu mendapat sanjungan dari Nabi
saw: ‘aku sudah menduga kamu akan menanyakan ini’, kata-kata ini
menunjukkan beliau seorang yang haus akan ilmu sekaligus menaruh kepercayaan
sangat tinggi kepada Rasul saw dalam setiap persoalan, apalagi dalam hal-hal
ghaib. Ini semua membuktikan akan satu hal: Rasul wajib dan layak mendapat
kepercayaan lebih dari siapapun juga.


PENGERTIAN
TABLIGH
S
|
ecara bahasa
(etimology) bermakna ‘meneruskan’ atau ‘menyampaikan’. Sedangkan
secara terminology (istilah):
التبليغ هو تبليغ ما امروا بتبليغه
للخلق
Artinya: ‘Tabligh adalah meneruskan
apapun yang diperintahkan menyampaikan kepada makhluk (umat)’.
Wahyu yang dikirim
oleh Allah kadang-kadang bersifat personality (pribadi), hanya untuk konsumsi
sang pribadi Rasul. Terkadang, ini paling banyak, wahyu bersifat umum untuk
konsumsi public sebagai syariat untuk umat manusia. Pada bagian ini, informasi yang telah
diterima mustahi bagi Rasul untuk tidak mentransferkannya kepada umat. Karena,
kecuali para Rasul tidak menganjurkan kepada kita (umat) untuk bersikap
menyembunyikan ilmu (informasi) dari Allah swt, juga ‘peukateun’ mereka
mustahil tidak terdeteksi dalam luasnya lautan ilmu Allah swt. Pengaruh dari
kalau Rasul mengkhianati Allah swt, kalau memang ini ada, adalah Rasul selalu
lebih mengutamakan berkhianat daripada menyampaikan ilmu kepada orang lain.
Namun, ternyata sepanjang usia Islam tidak didapati nash yang memerintahkan
berkhianat dan menyembunyikan ilmu. Malah sebaliknya, ditemukan nash mengecam
dan mengancam pelaku-pelaku penyembunyi ilmu Allah swt:
مَنْ
كَتَمَ عِلْماً ، أَلْجَمَهُ الله تَعَالَى يَوْمَ القِيَامَةِ بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ
Artinya: ‘Barang siapa
menyembunyikan suatu ilmu, maka Allah swt akan merantai dia dengan rantai dari
api neraka pada hari kiamat kelak’.HR. Ibnu Majah.
Logikanya, kalau sudah keluar
sebuah ancaman bagi penyembunyi ilmu Allah swt dari mulut seseorang mustahil
dia berkelakuan yang masuk dalam kategori ancaman itu sendiri. Lagi pula, kalau
seorang Rasul mengambil sikap menutup berbagai berita dari Allah swt, tentu
saja kita tidak menemukan aneka macam bentuk syariat yang kita laksanakan pada
hari ini. Tetapi, ternyata hari ini kita saksikan bersama-sama kehidupan kita
yang selalu diwarnai oleh syariat dalam seluruh sisi kehidupan kita. Kenyataan
seperti ini mustahil bisa kita dapatkan seandainya Rasul tidak meneruskan
kepada kita apa yang diambilnya dari ‘Shahibusy Syariah’. Dan, kenyataan
ini pula mengantarkan dan meyakinkan kita, bahwa para Rasul telah benar-benar
bersikap objektif-realistis.
Banyak kita dapatkan dalam ‘furu’-furu’
syariat berbagai kewajiban, yang secara naluriahnya manusia sangat memberatkan
sekali, semisal jihad fi sabilillah, menunaikan zakat, mengunjungi Baitullah
dan berbagai aturan lain yang sangat memberatkan jiwa manusia, termasuk jiwa
Rasul di dalamnya. Nah, semua itu seharusnya ditutup-tutupi oleh Rasul, agar
tidak membebani jiwanya juga. Tetapi, ketika beliau meneruskannya dan terlibat
langsung dalamnya, itu hanya mengarah kepada satu hal: beliau harus
menyampaikan apa yang seharusnya disampaikan. Kalau bukan karena iman sangat
tidak mungkin semua hal yang memberatkan jiwa kita niscaya tidak akan
terlaksana dengan sempurna.
Disamping argument-argumen di
atas, kita juga mesti meneliti dan mengoreksi aspek keuntungan di balik
kemungkinan tidak diteruskannya furu’-furu’ syariat kepada umat. Secara klasik,
materilah andalan yang sanggup merubah manusia menjadi jahat dan membuat
manusia berkelakuan jelek seperti berbohong dan menyembunyikan apa tidak
menguntungkan dirinya dalam hal material. Kenyataan sejarah tidak mendukung
asumsi ini, malah sebaliknya. Kehidupan para Rasul umumnya tidak jauh dari yang
namanya kemiskinan, berkutat dengan penderitaan ketidakberkecukupan dalam
kehidupan mereka. Seperti Nabi Muhammad saw, beliau tidak pernah bisa mengenyangkan
perutnya selama tiga hari berturut-turut selama kehidupan beliau di Madinah,
karena tidak tersedia makanan di rumahtangga beliau.
Mungkin argument
ini bisa dipatahkan dengan mengatakan: realitas beliau memang miskin, karena
tidak terpenuhinya misi yang beliau canangkan, yaitu tidak berjalan sesuai
target beliau. Padahal beliau telah menargetkan keuntungan material yang banyak
sekali. ‘Buruk sangka’ ini masih bisa dibenarkan, mengingat misi tidak
selamanya menjadi realitas yang diharapkan. Tetapi bila ini kita benarkan, kita
telah melupakan sabda beliau berikut ini:
إن
الصدقة لا تحل لمحمد ولا لآل محمد، إنما هي أوساخ الناس
Artinya: ‘sesungguhnya sedekah
tidak halal bagi Muhammad dan keluarganya. Sesungguhnya sedekah itu hanya
kotoran (daki) manusia. HR.Muslem.
Pemasukan material
yang mengagumkan dalam furu’ syariat adalah melalui sedekah, wajib dan sunat.
Tetapi ketetapan telah dikeluarkan, bahwa Muhammad dan keluarga besarnya haram
menerima sedekah dalam bentuk apapun juga. Mari kita berandai-andai. Seandainya
beliau memang menyembunyikan titah Allah swt, semestinya sector sedekah yang
lebih menjanjikan material untuk tidak disampaikan kepada umat, agar beliau
tidak terhalang untuk menerimanya. Hidup dalam kemiskinan dan haram mengambil
sedekah adalah dua hal yang kontraproduktif. Di satu sisi sangat membutuhkan,
di sisi yang lain menghempang datangnya rezeki. Analisis ini dengan sangat
meyakin kita, bahwa kita memang wajib mengimani para Rasul telah menyampaikan
seluruh wahyu yang diperintah-sampaikan kepada makhluk.


PENGERTIAN
FATHANAH
H
|
arfiyyah fathanah bermakna
‘cerdik’ atau ‘pemikiran brilian’. Adapun dalam wilayah keyakinan berkenaan
dengan sifat Rasul yang wajib diimani oleh setiap mukallaf berarti:
اي الذكاء و الحذق بحيث يكون فيهم قدرة
علي الزام الخصوم محاججتهم وابطال دواعيهم
Artinya:
‘kecerdikan dan kejeniusan, yang mana mereka mampu memaksakan dan
mengokohkan hujjah-hujjah serta sanggup mematahkan alasan lawan-lawan mereka’.
Umumnya
kehadiran seorang Rasul mendapat tantangan yang dahsyat dari komunitas
masyarakat yang ingin diperbaiki akhlaknya. Tantangan yang dimaksud boleh jadi
berbentuk teror fisik ataupun mental. Semua kisah Rasul selalu diawali dan diwarnai dengan penolakan umat
bersangkutan, walaupun akhirnya terkadang ditutup dengan keberhasilan. Teror
fisik berupa penganiayaan terhadap diri dan keluarga Rasul. Sementara teror
mental adalah berbentuk ancaman terhadap keselamatan jiwa mereka. Ada juga
berbentuk perdebatan terhadap keabsahan apa yang dibawanya. Biasanya model ini
datang dari para intelektual umat mereka. Menggugat dengan hujjah-hujjah
tandingan hendak membabat dan, kalau mungkin, membatal sama sekali misi sang
Rasul. Hal ini banyak dipraktekkan oleh Yahudi dan Nasrani untuk menghambat
laju Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Mereka mengunjungi Nabi saw
dengan mengutip ayat-ayat Taurat dan Injil. Sangkaan mereka, Muhammad saw akan
terkalahkan, karena mereka tahu beliau seorang ‘ummiy’ (buta aksara)
yang tidak pernah melihat, apalagi membaca, dua kitab tersebut.
Allah swt Maha Tahu Segalanya, kemana Muhammad akan
diutus, siapa saja umat yang akan dihadapi beliau. Karena itu, mustahil Allah
swt tidak membekali para RasulNya dengan ‘malkah’ kecerdikan. Karena,
kecuali untuk mematahkan hujjah-hujjah lawan dan meneguhkan ‘burhan-burhan’
sendiri, juga dibutuhkan kebijakan dalam penyampaian wahyu Allah swt.
Kondisional dan situasional juga berperan menyukseskan sebuah misi. Ilmu
seperti ini hanya mungkin ada pada akal-pikiran yang brilian. Contoh yang
paling santer kita dengar, kejeniusan Muhammad saw terkait peletakan kembali
Hajar Aswad pada tempatnya setelah disapu air bah. Nyaris darah memerahkan
lembah Makkah kala itu kalau kebijakan beliau tidak segara memecahkan masalah.
Hanya dengan selembar kain yang diletakkan Hajar Aswad di atasnya lalu diboyong
bersama-sama, telah terhindari menetesnya darah manusia. Hanya kebijakan kecil
untuk menghindari persoalan yang besar. Sulit membayangkan buah pikiran jenius
ini terbit dari orang yang idiot atau bodoh.
Kejeniusan para Rasul juga
terilustrasikan dari ucapan-ucapan mereka yang tidak hanya mengakomodir
persoalan pada masanya, tetapi juga menjangkau jauh ke masa depan. Kita sering
mendapatkan sabda mereka bernada: ‘akan datang suatu masa kepada umatku’
atau ‘akan terjadi begini’ atau ‘akan tertimpa kepada umatku’.
Nada sabda begini, menunjukkan hanya satu hal: kecerdikan memprediksi
persoalan. Karena semua prediksi ini akhirnya
menjadi kenyataan. Adakah
kejeniusan di atas kejeniusan ini? Dalam alam modern sekarang ini, manusia mencoba mengetahui perkara-perkara
akan datang. Tetapi tidak seorangpun mengatakannya dengan kata pasti.
Paling-paling hanya mengungkap ‘ramalan cuaca’ atau ‘menurut prakiraan cuaca’
dan lain-lain yang senada. Semua ini secara tersirat manusia ingin mengatakan:
‘kami tidak tahu’. Karena kelemahan manusia, selain Rasul
tentunya, pada membaca
dan menerjemahkan tanda-tanda alam. Beda dengan Rasul, kecerdasan mereka
merupakan suatu kewajiban dan kewajiban pula bagi kita untuk meyakininya.
Karena akal kita sendiri yang mendorong dan memang tidak jalan lain
selain terdesak meyakininya.
Mengabaikan desakan hati sendiri berarti memungkiri kenyataan yang paling
hakiki. Dan, itu abnormal sekali.


PENGERTIAN JAIZ
(HARUS)
J
|
aiz pada lughawiy berarti ‘boleh’.
Dalam istilah Mutakallimin, seperti tersebut di atas pada awal pembahasan,
didefinisikan dengan:
ما يصح في العقل
وجوده وعدمه
Artinya: ‘perkara-perkara yang secara akal boleh ada
dan boleh tidak’.
Dalam kaitannya dengan Rasul, sifat jaiz bukanlah patokan
sah-tidaknya seseorang menjadi Rasul, sehingga ia menjadi sifat wajib atau
mustahil bagi mereka. Tetapi lebih kepada pertimbangan mereka sebagai ‘manusia’
dan ‘utusan Allah swt’. Dalam kapasitasnya sebagai manusia, mereka layak
memiliki sifat-sifat yang biasa disandang manusia lainnya. Dan
dalam predikat mereka sebagai utusan
Allah swt, mereka hanya boleh menyifati sifat-sifat yang tidak menghambat dan
membabat arti perutusan mereka. Dua sudut pandang ini, manusia dan utusan Allah
swt, saling mengkompromi dan akhirnya terkonsentrasi pada
kalimat berikut:
يجوز في حقهم الأعراض
البشرية التي لا تؤدي إلى نقص في مراتبهم العلية
Artinya: ‘Dalam kapasitasnya
sebagai Rasul, mereka boleh mempunyai sifat-sifat kemanusiaan yang tidak
mengakibatkan runtuhnya ketinggian (kemuliaan) mertabat mereka’.
Sudut ‘kemanusiaan’ mereka,
menuntut layak adanya berbagai kebiasaan manusia melengket pada diri mereka,
seperti makan, minum, kawin, bersenda-gurau, tertawa, menangis, miskin, kaya,
sakit, sehat dan lain-lain sebagainya. Sedangkan sisi ‘utusan Allah swt’,
meminta tidak semua sifat-sifat manusia layak disifati mereka, seperti buta,
tuli, gila, epilepsy, lepra dan lain-lain seumpamanya. Karena, kalau salah satu
dari sifat-sifat ini ada pada mereka, dapat dipastikan fungsi kerasulan mereka
akan tidak berarti sama sekali. Antara gila, misalnya, dengan kerasulan adalah
dua hal yang saling bermusuhan dan tidak mungkin berkumpul pada satu tubuh
seperti kegelapan dan cahaya. Pada saat gila merajalela, dia akan mengusir
sifat kerasulannya. Demikian sebaliknya, kalau prediket kerasulan berkuasa dia
juga akan menghambat masuk sifat kegilaan. Artinya, seluruh sifat kemanusiaan
layak disandang oleh para Rasul, tetapi kemudian sifat ‘kerasulan’ yang
dianugrahi Allah swt kepada mereka membatasinya, hanya sifat-sifat kemanusiaan
yang cocok dan tidak berpotensi merusak dengan kerasulan mereka saja.
Tersebut dalam beberapa buku
tentang kisah Nabi Ayyub as yang dijauhi dan dihindari oleh umatnya, karena
beliau menderita suatu penyakit. Katakanlah cerita ini benar adanya, lalu
mungkinkah dalam keadaan berpenyakit yang membuat umatnya lari seperti itu beliau menjalankan fungsinya
sebagai Rasul? Bukankah beliau diutus untuk memperbaiki akhlak mereka?
Bagaimana mungkin mendakwahkan mereka kepada jalan yang benar sementara mereka
lari tunggang-langgang? Harus diakui, bahwa setiap Rasul memang dimusuhi dan
dijauhi. Tetapi aib pemicunya bukan di pihak beliau, namun lebih karena ‘ke’inadan’
dan keingkaran di pihak umatnya.
Sosok
Rasul memang unik, ‘manusia’ sekaligus ‘utusan Allah swt’. Dua sifat yang
melekat pada diri mereka ini tidak saling menafikan, apalagi hendak dikatakan
mustahil terjadi. Kedua-duanya wajib diseimbangkan ketika mencoba memahami
sosok mereka. Manusia yang utusan Allah swt atau utusan Allah swt yang berjenis
manusia. Berpadunya dua sifat tersebut, menjadikan mereka sebagai figure yang
istimewa di kalangan makhluk. Manusia yang mempunyai mertabat lebih tinggi dari
makhluk yang lainnya, tetapi ‘keistimewaan’ dan ‘kelebihan’ yang mereka miliki
tidak lantas meninggalkan sifat-sifat ‘kemanusiaan’ mereka sehingga derajat
mereka meroket tinggi setara dengan Allah swt. Dan, tidak juga dengan sifat
‘kemanusiaannya’ mereka meluncur bebas sehingga berada pada serendah-rendah
kasta mertabat manusia. Mereka menempati posisi ‘tawassuth’ (perantara)
antara manusia dan Allah swt. Dengan sifat kemanusiaannya menghadapi dan
membenahi manusia. Dan, dengan sifat keagungan akhlaknya berhubungan dengan
Allah swt. Jadi, mereka bukan seperti manusia kebanyakan, seperti dakwaan
Yahudi kepada Rasul mereka. Bukan juga terbang ke level sangat tinggi setara
dengan Allah swt, seperti tuduhan Nasrani kepada Nabi Isa, subhanallah.
Adapun
benar-tidaknya para Rasul telah bertabiat seperti tabiat manusia lainnya, itu
telah dibuktikan dan disaksikan oleh para sahabat secara langsung. Hasil
penyaksian mereka telah dipindahkan ke generasi selanjutnya hingga kepada kita
pada hari ini. Ada yang bercorak ‘tawatur’ ada juga secara ‘ahad’.
Katakanlah nukilan berita melalui teori ‘ahad’ tidak sampai kepada mengharuskan
‘i’tiqady, tapi hanya mewajibkan amal, namun melalui teori ‘tawatur’[1]
masih banyak yang mengabarkan tentang Nabi Muhammad saw melakoni kehidupan
penuh dengan sifat-sifat kemanusiaannya. Termasuk juga ayat-ayat kitab suci
Al-Quran yang mengatur mengenai pakaian istri-istri beliau, salah satu dari
sisi kemanusiaannya. Dan masih banyak lagi kesaksian-kesaksian Al-Quran dalam
hal ini, seperti yang sudah kita maklumi.
Sebenarnya para Rasul memiliki sifat-sifat manusia
merupakan salah satu sarana penunjang kerasulan mereka, disamping hikmah-hikmah
lain yang justru menguatkan kebolehan mereka memiliki sifat-sifat tersebut.
Para ulama telah membahas seputaran masalah hikmah ini panjang lebar dalam
kitab-kitab mereka. Sebagai sampel, kita ambil redaksi kitab ‘Matan Sanusi’.
Minimalnya ada empat hikmah dibalik diriasnya para Rasul dengan dandanan
kemanusiaan:

- TA’DLIMUL UJUR (MENAMBAH PAHALA)
S
|
ekalipun
para Rasul telah dikaruniai posisi sangat tinggi, namun mereka masih juga masuk
dalam kategori ‘mukallaf’, seorang hamba yang menjadikan kehidupan ini sebagai
ajang pengumpulan pahala sebanyak-banyaknya, agar kehidupan negeri akhirat
menjadi lebih baik. Salah satu dari cara mencapai tujuan agung ini adalah
dengan bersabar kalau mengalami suatu
penyakit. Makan-minum, kawin yang diniatkan ibadah, menahan diri dari segala
godaan nafsu. Semuanya ini hanya mungkin diraih apabila pada diri mereka
ditempati oleh sifat-sifat yang lazim ada pada manusia. Kalau satu tubuh kebal
terhadap suatu penyakit, seperti zat Malaikat, mustahil mengalami sakit. Dan,
sudah barang tentu lewat kesempatan untuk menggapai pahala dengan bersabar
terhadap penyakit. Seandainya para Rasul tidak ditanam nafsu dalam tubuhnya,
niscaya tidak mungkin mereka kawin dan makan-minum, misalnya. Itu suatu kepastian
juga mereka tidak punya kans mendapatkan pahala besar dalam hal tersebut.
Atas analisa di atas, apakah Allah swt tidak mungkin
memberi pahala kepada mereka tanpa melalui sifat-sifat kemanusiaan? Toh, mereka
orang terdekat Allah swt, konon lagi mereka sebagai RasulNya. Allah swt Maha
Kuasa, kuasa memberi apapun tanpa melalui apapun juga. Juga kuasa mengaitkan
penganugerahan pahalaNya dengan apapun juga, termasuk menyodorkan pahala
melalui kesabaran. Karena itulah keluar sebutir sabda dari mulut yang mulia
berikut ini:
أشدكم
بلاء الأنبياء ثم الأولياء ثم الأمثل فالأمثل
Artinya: ‘Cobaan
yang paling berat adalah kepada para Nabi, kemudian kepada para Aulia,
selanjutnya kepada tokoh agama, maka tokoh sesudahnya.

- TASYRI’ (PENSYARIATAN)
S
|
eperti telah dimaklumi, para Rasul diutus untuk
menjelaskan hukum-hukum Allah swt kepada umat manusia. Untuk
tugas mulia ini, para Rasul dapat menempuh beberapa metode ‘tasyri’
(pensyariatan), baik menyampaikan melalui lisan langsung atau dengan
mempraktekkan bentuk-bentuk syariat dipertontonkan kepada mereka. Kondisi dan
situasi menuntut metode pengajaran dan penyampaian ikut bervariasi pula.
Seorang pengajar akan mengamati lapangan, lalu memutuskan metode apa yang lebih
cocok dan mengena dengan sempurna kepada sasaran. Tidak selamanya metode lisan
lebih efektif dari metode praktek. Demikian sebaliknya. Tingkat kecerdasan umat
sebagai objek pengajaran juga alternative lain yang menuntut metode mesti
dipilih-pilih. Ketika menyaksikan Rasul melangsungkan pernikahan, misalnya,
umat dengan mudah bisa memahami syariat tentang perkawinan. Saat Rasul dilanda
oleh suatu penyakit, umat menjadi tahu bagaimana tatacara shalat orang sakit.
Demikian juga ketika Rasul tiba-tiba lupa dalam shalat, umat jadi mengerti
solusi yang seharusnya dilakukan. Dan seterusnya.


- ‘TASALLY ‘ANID-DUNYA’(MENAHAN DIRI DARI DUNIA)
K
|
etika menela’ah kehidupan para Rasul yang penuh dengan
kekurangan material dalam seluruh waktu kehidupan mereka, yang notabenenya
seorang kekasih Allah swt, umat akhirnya sampai kepada kesimpulan, bahwa meraih
kehidupan dunia benar-benar suatu keaiban yang mesti dijauhkan, dan Allah swt
tidak menyukai itu. Suatu pelajaran sangat berharga bagi umat, kalau kehidupan
di negeri duniawi ini diridhai Allah swt tentu kehidupan para kekasihNya akan
lebih berjaya dari siapapun juga. Nyatanya dan kasat matanya, kondisi kehidupan
para Rasul sangat jauh dari berkecukupan, untuk tidak mengatakan tidak berpunya
sama sekali. Dalam kondisi morat-marit seperti ini, mereka masih menatap hidup
dengan kebahagian dan optimis yang tinggi. Tidak larut dan sibuk dalam
pemenuhan kebutuhan mereka semata-mata. Mereka tidak mengeluh atas
kekurangan-kekurangan yang menerjang mereka. Tugas kerasulan mereka tidak
terbengkalai hanya gara-gara kemiskinan. Inilah ‘mau’idlah’ sangat
berharga bagi umat mereka, sehingga bila umat mampu bergembira atas kemiskinan
dan kealpaan dunia mereka, mereka sudah dinobatkan setara dengan Rasul.


- TAMBIH LI KHISSATIHA (PERINGATAN ATAS HINANYA DUNIA)
P
|
enempatan
sifat-sifat kemanusiaan kepada Rasul adalah juga agar Allah swt dapat
menjadikan peringatan dari bagi umat manusia, bahwa dunia tidak seharusnya
dianggap sebagai ‘bidadari’ yang mesti dikejar kemana-mana, karena memang tidak
ada nilainya disisiNya. Logikanya, para Rasul adalah makhluk paling elit dalam
pandangan Allah swt, tapi ternyata tidak diikuti oleh pernik-pernik kehidupan
yang layak se-elit derajat mereka. Artinya, untuk makhluk terbaik tidak
dipersembahkan dengan fasilitas terbaik di dunia ini dari Allah swt. Ini
menunjukkan, bahwa Allah swt akan menghargai keagungan mertabat mereka dengan
sesuatu yang lebih cocok, dan itu adanya di akhirat kelak, bukan di dunia yang
serba kekurangan ini. Ini pulalah yang dilukiskan oleh Rasul dalam sabda
berikut ini:
الدنيا جيفة وطالبها
كلاب الا ترى كيف احب ما
ابغضه الله وأي خطيئه اشد جرما من هذا
Artinya:
‘Dunia itu bangkai, dan para pencarinya anjing. Adakah tidak kamu lihat,
bagaimana dia menyukai perkara-perkara yang dimurkai oleh Allah swt? Adakah kesalahan
yang sangat besar dosanya dibandingkan daripada ini? (kitab Mishbah
Syari’ah).
Ungkapan
ini adalah penggambaran hakikat sebenarnya dari dunia ini. Keindahannya semu,
orang yang menguber-ngubernyapun keliru. Hakikat sesuatu lebih diketahui oleh
Allah swt dan para RasulNya. Seandainya Rasul tidak dibekali dengan sifat-sifat
kemanusiaannya, maka mustahil mereka bisa merasakan dan menilai apa sebenarnya
dunia ini. Dan umatpun tidak mungkin meneladani mereka dalam hal dunawi.
Padahal, kadang-kadang memberi pengajaran lewat tindakan atau perbuatan lebih
mengena dari hanya sekedar berkata-kata. Karena, sebuah nasehat yang tidak
berpotensi untuk dikomplin karena tidak kontras dengan keadaan sipengajar,
dapat dipastikan pelajaran itu sangat berguna. Apalagi seia-sekata perbuatan
dengan kata-kata. Kita simak sabda Nabi saw berikut ini:
لَوْ كانَتِ الدُّنْيَا
تَعْدِلُ عِنْدَ الله جَنَاحَ بَعُوضَةٍ مَا سَقَى كافِراً مِنْهَا شَرْبَةَ مَاءٍ
Artinya: ‘Seandainya dunia ini punya harga
seharga sayap unggaspun di sisi Allah swt, sungguh tidak akan diberikan kepada
orang-orang kafir seteguk airpun juga’.(HR. Tarmizi).


KESIMPULAN
B
|
anyak
menela’ah bukti tentang sifat-sifat wajib, mustahil dan harus pada Rasul serta
banyak menyesakinya dalam pikiran, dapat mengantar seorang mukallaf kepada
keyakinan akan keberadaan para Rasul. Berpikir secara objektif dan
argumentative bisa menguatkan akan keyakinan yang telah bersemi. Dan itu adalah
modal yang sangat berharga di tengah-tengah masa yang lebih bersikap apatis
terhadap isi hati, karena lebih mengutamakan isi otak dalam rangka untuk lebih
memudahkan kehidupan di sini dan mengabaikan kehidupan yang abadi kelak.
Apalagi
ditambah dengan usaha-usaha menjauhkan umat Islam dari ‘akidah dan syariatnya
dengan berbagai aliran sesat yang banyak bermunculan di mana-mana. Mulai dari
aliran sesat yang berakar kuat dalam ‘hutan’ sampai aliran yang bersifat
eklusif merasuki lembaga-lembaga pendidikan yang bermarkas di tengah-tengah
kota. Atas nama virus kebebasan, umat Islam digiring melecehkan Nabinya
sendiri, menafsirkan Al-Quran dengan metode pesanan kuffar, hermeunetik. Banyak
menjungkalkan kaidah-kaidah yang tumbuh yang rumpun Islam. Terpedaya dengan
pesona permukaan kebudayaan kaum kuffar yang keropos di dalam, sehingga
satu-satunya yang sempat terpikirkan oleh mereka hanya, bagaimana menanggalkan
Islam serta atributnya dan berpola pikir tidak lagi berlandaskan padang pasir kurma
yang sudah kuno ditelan masa.
Mengokohkan ‘akidah, khususnya tentang kenabian,
dapat memagari nilai-nilai moral islami, yang keyakinan ini secara ‘syar’an’
dan ‘aqlan’ sangat didesak untuk diyakini. Artinya, tidak ada ruang sesempit
apapun untuk bisa menghindar agar tidak meyakini keberadaan Nabi serta
perangkat-perangkatnya. Wallahu a’lam bish-shawab.


PENGARUH MAKANAN HARAM

يَا
أَيُّهَا النَّاسُكُلُو ا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا
خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
A
|
rtinya:
‘Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang
terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena
Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu’.(QS:Al-Baqarah:168)
Dalam
perspektif Islam, makan lebih
dimaksudkan sebagai energy ‘ubudiyyah yang menjadi alasan satu-satunya manusia
dan jin diciptakan. Makanan yang disuap melewati kerongkongan lalu bermarkas
dalam usus. Dalam proses penghancuran, makanan berubah menjadi zat-zat penting
bagi tubuh menurut potensi yang dimilikinya.
Dari asupan zat inilah tubuh sanggup mempertahankan kebugaran dan
kejayaannya, sehingga mampu diajak beraktivitas kembali, baik aktivitas baik
ataupun jelek.
Kegiatan
pendistribusian vitamin ke seluruh tubuh ini, dinilai dalam Islam sebagai
bagian dari ibadah juga. Karena kegiatan ini dianggap sebagai ‘wasilah’
menuju ke ibadah mahdhah, seperti shalat dan lain-lainnya. Sulit membayangkan
shalat keluar dari tubuh yang lemah-lunglai tanpa kekuatan. Tetapi,
memasukannya dalam kategori ibadah tentu mempunyai criteria-kriteria tertentu
sesuai dengan keinginan Pemilik Syariat Islam. Salah satunya seperti kandungan
ayat di atas, ‘halal lagi baik’.
‘Halal lagi baik’ inipun mesti dipahami versiNya juga, bukan menurut
hasil pemikiran manusia. Karena dalam wilayah hukum syariat tidak berlaku hasil
olahan pikiran.
Ayat di
atas juga menganjurkan makan yang halal bagi seluruh umat manusia, muslim dan
kafir. Karena efek baik-buruknya makanan bukan hanya menerpa sebagian manusia
sebagiannya tidak. Makanan baik dalam kacamata Islam diistilahkan dengan ‘halal’.
Sedangkan kebalikannya disebut ‘haram’.
Mengetahui yang haram akhirnya juga akan mengetahui yang halal. Dari
pembahasan para ulama dipahami haram ada
dua:


a.
HARAM LIZATIH (HARAM KARENA ZATNYA)
حُرِّمَتْ
عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ
بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا
أَكَلَ السَّبُعُ إِلا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا
بِالأَزْلامِ ذَلِكُمْ فِسْقٌ الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ دِينِكُمْ
فَلا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْن
D
|
iharamkan
bagimu (memakan) bangkai, darah daging babi, (daging hewan) yang disembelih
atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang
ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya
dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. dan (diharamkan juga)
mengundi nasib dengan anak panah (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah
kefasikan. pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan)
agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku
(QS:Al-Maidah:3)
Penegasan
ayat ini lebih kepada penguraian benda-benda yang diharamkan secara syar’i.
Memasukkan salah satu benda ini ke bawah kunyahan lidah, sekalipun menimbulkan
efek lezat yang luar biasa, itulah memakan yang haram. Jarang-jarang memang ada
kasus yang terbetik berita seseorang mengumpulkan darah untuk diminum, tetapi
bukan perkara langka orang mengkonsumsi ikan dan daging, misalnya, yang tidak
memenuhi kaifiat penyucian syariat.
Demikian juga dengan daging dan lemak babi, tidak mungkin seorang muslim
memburu babi untuk dikonsumsi. Tetapi makanan-makanan yang diolah dengan alat bekas pengolahan babi
tidaklah jaminan dapat dipastikan tidak ada sama sekali, apalagi makanan produk
para kuffar. Dan, akhirnya, tidak dapat pula mengelak dari memakan yang haram.
Disinilah sangat dikhawatir kita memasuki daerah ‘syubhat’.
Menariknya
lagi ayat di atas, pengharaman benda-benda tertentu ditutup dengan ungkapan: ‘pada
hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu’. Ada apa
ini? Boleh jadi salah satu perangkat mesin perang yang diandalkan para kuffar
sekarang ini untuk mengalahkan kaum Muslimin adalah melancarkan serangan dengan
membanjiri produk-produk makanan ala kuffar ke jantung pasar konsumsi Muslimin.
Walaupun halal secara syar’i, karena kita tidak mengetahui hakikat
kebenarannya, namun efeknya sebagai najis menjijikkan yang mempengaruhi dan
menimbulkan kejelekan, mental dan fisik, kepada pengonsumsinyapun tidak dapat
dielakkan juga.
[Type a quote from the document or the summary of an
interesting point. You can position the t
xt box anywhere in the
document. Use the Text Box Tools tab to change the formatting of the pull quote
te


b.
HARAM
LIGHAIRIH (KARENA FAKTOR EX)
P
|
enyabab
keharamannya bukan benda itu sendiri, tapi lebih karena factor eksternal yang
mempengaruhinya, seperti penjelasan ayat berikut:
لاَ
تأكلوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بالباطل إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ
مِّنْكُمْ
Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.
(QS:An-Nisak:29)
Sesuatu yang disebut harta dia
sudah tentu tidak berasal dari najis, karena najis tidak ada kepemilikan
atasnya. Pelarangan dalam ayat ini lebih mengarah dan tervokus kepada
‘batil’nya. Artinya, bukan makan secara mutlak yang diharamkan, tetapi meraih
sesuatu secara batil yang dimurkai Allah swt. Maksudnya, peralihan kekuasaan
atas suatu harta bukanlah dengan salah
satu jalan yang telah disyariatkan oleh agama, seperti perniagaan, misalnya,
sebagaimana disinggung oleh ayat di atas. Syariat-syariat perpindahan harta
dari satu tangan ke tangan lainnya, cukup melimpah tersedia dalam Islam.
Diantaranya, jual-beli, sedekah, hibah, hadiah, hiwalah, jual-beli salam
(pesanan) dan lain-lain sebagainya. Menempuh salah satu jalan di atas untuk
memindahkan harta antar sesama manusia menetapkan harta tetap berstatus halal. Dan, ketika memasukkannya melewati
kerongkongan, diolah oleh ‘maiddah’ menjadi energy, tidak akan membias
menjadi kejahatan dalam hidup seseorang. Energy ini akan selalu menarik dan
mengajak pemiliknya ke arah ‘shirathal mustaqim’. Karena yang baik akan
malahirkan yang baik pula. Menyemai bulir-bulir gabah akan bertunas menghijau
dan tumbuh gabah pula.
Menyimak realitas perpindahan
kekuasaan atas harta pada masa sekarang ini lebih didominasi oleh cara-cara
tidak islami, keluar dari garis-garis syariat. Sudah menjadi rahasia umum,
bahwa beralihnya harta dari satu tangan ke tangan lainnya lebih banyak melalui ‘syariat’
sogok-menyogok, ‘ghulul’ (pengkhianatan kepercayaan), rapat-rapat ‘gelap’
pengalihan hak mustahiq yang telah ditentukan, proyek-proyek ‘hantu’
fiktif dan lain-lain yang seumpama. Mendapatkan kekayaan melalui salah satu
‘syariat-syariat’ ini adalah beberapa gelintir
dari ribuan ‘sunnah’ untuk merubah status harta yang sedianya halal
menjadi haram terlaknat. Sate daging kambing yang disuapi ke mulut adalah telah
bertitel hukum setara dengan daging anjing. Mobil yang dikendarai sebenarnya
mengendarai babi pada hakikatnya. Karena
peralihan harta tidak melalui aturan-aturan yang diizinkan agama.
Keinginan kuat memiliki lebih
dari yang telah diporsikan setiap bulannya adalah salah satu pemicu sangat
potensial merambah ‘syariat-syariat’ peralihan illegal yang menyebabkan banyak
harta berstatus haram. Malah lebih parah dari itu, karena benda yang telah
diharamkan, semisal daging babi, biasanya menimbulkan perasaan menjijikkan,
sehingga godaan untuk mengonsumsinyapun bisa diusir sejauh-jauhnya. Beda dengan
fulus yang diperoleh dengan jurus korupsi atau manipulasi, hasrat memiliki dan
menelannya jauh sangat menggoda. Karena dia tidak berbentuk seekor bangkai yang
sedang mengeluarkan ulat-ulat menjijikkan, walaupun tingkat keharamannya berada
pada level setinggi-tingginya.
Demikian juga, hasil yang
didapatkan dari pengkhianatan terhadap kepercayaan yang dilimpahkan oleh
masyarakat untuk mengelola sejumlah dana, yang kemudian dialihkan ke pos-pos
siluman yang bergentayangan, menjadi semakin mudah dan menggiurkan. Hasil
penyelewengan ini tidaklah menyerupai tumpukan kotoran kerbau yang berbau
menyengat, sampai-sampai perlu dihindari karena takut kecipratan busuknya, sekalipun
kebusukannya melebihi apapun dalam pandangan syariat. Disinilah fitnah terbesar
dalam kehidupan manusia, sesuatu yang sangat diharamkan oleh agama tapi tidak
ditampilkan dalam bentuk dan aroma yang menjijikkan seperti bangkai seekor
anjing. Hanya dengan mengenakan kacamata syariat, benda-benda yang diharamknnya
akan menjelma dalam wujud aslinya, busuk menjijikkan beraroma bangkai babi.
Apalagi ditambah dengan tidak
turunnya hukuman Allah swt secara langsung kepada pemakan-pemakan harta busuk
tersebut. Koruptor tidak pernah disambar petir gara-gara mengonsumsi hasil
jarahan mereka. Malah, kasat matanya, mereka semakin jaya, semakin meroket
taraf hidupnya, semakin bergaya cara hidupnya, semakin bertingkat dan bermotif
rumah yang dimilikinya, semakin bermerek mobil yang dinaikinya, semakin
bervariasi menu makanan yang bisa dikunyahnya. Semuanya ini, semakin menambah
‘spirit keangkara-murkaannya’ untuk terus memburu fulus-fulus yang dianggap
busuk oleh agama, tapi beraroma wangi semerbak dalam pandangannya. Hal ini akan
terus memerangkapkannya dalam lingkaran hitam setan, dan akan sulit keluar
daripadanya sepanjang hidupnya.
Selanjutnya, tidak hanya sampai
di situ, tapi hidupnya akan selalu diwarnai catatan-catatan hitam panjang yang
semakin menjauhkannya dari kehidupan religious. Begitu penuh kesukaran menatap
hal-hal berbau keagamaan. Membenci setiap kaidah-kaidah syariat, apalagi yang
mengusik ketentramannya dalam operasional mengumpul semakin banyak material
busuk menjijikkan. Hal ini terpahami dari sabda berikut:
كل
لحم نبت من حرام فالنار أولى به
Artinya: ‘Setiap daging yang
tumbuh dari sesuatu yang diharamkan maka neraka lebih baik (cocok) untuknya’.
(HR.Baihaqy)
Ketika
‘daging yang bersumber dari yang haram’ dihubungkan dengan ‘neraka’, itu
sebagai penegasan, bahwa antara keduanya memiliki benang merah yang sulit untuk
dipisahkan. Dan, sudah barang tentu antara keduanya juga berkolaborasi sejak
disini (dunia) hingga puncaknya di kehidupan selanjutnya (akhirat). Dalam arti
kata, dari daging dan darah yang tercipta dari makanan-makanan haram, mustahil
akan terbit kebaikan-kebaikan yang muara akhirnya kelak ke dalam surga.
Dikatakan mustahil, karena memang tidak ada sekecil apapun ‘titian’ yang dapat
dihubungkan antara makanan haram dan kenikmatan surga. Keduanya tidak mungkin
dipertemukan dalam satu kondisi secara bersamaan. Tidak mungkin ada ‘shalat
maqbulah’, misalnya, dari tubuh yang tumbuh dari harta-harta haram.
Pikiran-pikiran yang dialiri oleh darah dan gizi dari makanan-makanan yang
haram akan mengeluarkan buah-buah brilian mengikuti alur menuju ke Jahannam.
Karena antara keduanya memiliki hubungan yang sangat erat, sulit dipisahkan.
Artinya, hasil produksi akan mengikuti material yang dipasok. Ibarat mesin
penggiling bulir-bulir padi, suatu keniscayaan akan memuntahkan butir-butir
beras.
Karena
itulah, sangat sulit menemukan suatu perbuatan yang bermuatan nilai-nilai
ibadah dari seorang pencuri, kelas teri ataupun kelas berdasi. Kalaupun dia,
misalnya, kadang-kadang mengunjungi Baitullah, itu dapat dipastikan bukan
kunjungan menghasilkan (mabrur), tetapi hanya sebatas tour biasa tanpa membawa
nama Allah swt di dalamnya. Apabila menginfakkan harta pada jalan yang mirip
jalan ibadah, itu hanya bernilai ‘sebuah jabatan’, bukan seperti tampilan
lahirnya. Demikian halnya, seandai dia menghadiri pengajian-pengajian, tak
lebih tak kurang hanya bermuatan ‘politis’, bukan karena berlandaskan ‘lillahi
ta’ala’.
Dampak
kebusukan dari harta haram ini, tidak hanya melanda pelaku-pelakunya saja,
tetapi juga berimbas kepada orang-orang yang mendapat aliran harta haram
tersebut, semisal isteri dan anak-anaknya. Seorang isteri yang seharusnya
menaati suaminya, boleh jadi, karena selalu mendapat pasokan dari yang
haram-haram, menyebabkan dia ‘nusyuz’ dari mematuhi suami. ‘Nusyuz’ adalah
suatu kegiatan merintis jalan ke neraka. Karena memang tubuhnya layaknya ke
neraka. Tidak mungkin seonggok daging yang punya potensi sangat disukai oleh
Jahannam melakukan kegiatan-kegiatan yang mendapat imbalan ke surga. Tubuh akan
meniti hidup sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Kalau kita memiliki tubuh
menjadi dambaan surga, karena memang bagian-bagiannya bersih dari noda harta
haram, dia akan memilih jalur kehidupan yang mengantarkannya sampai ke
kenikmatan surgawi.
Hal yang
sama persis kita katakan kepada anak-anak yang tumbuh dari nafkah yang
diperoleh dari cara-cara yang diharamkan agama. Diawali dengan pembibitan dari
sel-sel yang haram, lalu pertumbuhan dari asupan gizi dan nutrisi yang haram
pula, maka menjelmalah dia sebagai sosok yang seutuhnya berasal dari yang
haram. Dan, sosok yang proses pertumbuhannya seperti ini mustahil akan
menjalani hidup dengan warna agama yang diharapkan setiap orangtua. Kenakalannya bukan merupakan pernik-pernik
masa pubertas seorang remaja, tetapi adalah potensi asli mengawali sejarah
hidupnya dengan dan dari sebuah kebusukan. Karena dia sedang merintis jalan
menuju jurang Jahannam, sesuai dengan bawaan badannya yang sangat ‘jihawa’
oleh neraka. Mengharapkannya, seperti harapan semua orangtua, agar menempuh
jejak-jejak yang berujung ke surga, rasa-rasanya hanya bisa berlangsung dalam mimpi.
Artinya, mendambakannya akan terjadi dalam alam nyata memiliki kemungkinan
sangat kecil sekali. Mencoba mengarahkannya ke jalur pendidikan agama, dia akan
membelot ke lorong hitam narkoba, misalnya. Karena dia mempunyai bakat alamiah
hanya di jalur itu semata-mata, yaitu jalur yang akan mengantarkannya ke
neraka. Semua orangtua, pemakan harta haram atau bukan, menginginkan juniornya
memilih koridor baik-baik, jauh dari kemaksiatan yang dapat menyengsarakannya
dunia-akhirat. Namun keinginannya itu akan kandas oleh infaknya akan
harta-harta yang busuk kepada juniornya, yang akhirnya dia hanya memilih yang
sesuai dengan bakat tubuhnya sendiri, yaitu gang gelap yang bermuara ke neraka.
Hal
ini pernah disinyalir oleh Rasul saw dalam haditsnya:
كُلُّ
مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلى الفِطْرَةِ حَتَّى يَكُونَ أَبَواهُ هُمَا اللذانِ يُهَوِّدَانِهِ
أَوْ يُنْصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
Artinya:
‘Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (punya potensi kebaikan), sehingga
ibu-bapaknyalah yang meyahudikan, menasranikan atau memajusikannya. (HR. Bukhari-Muslem).
Menafkahkan
harta-harta haram kepada anak-anak berarti merubah potensi dasar kebaikan yang telah dikaruniai kepadanya, disamping menciptakan
batu loncatan untuk ‘kemakmuran’ kemaksiatannya di masa depan kelak. Dan, yang
lebih parah dari itu semua, menambah kredit dosa kepada orangtua, walau telah
mati sekalipun, dari setiap tindakan jahat yang dilakukan oleh mereka.



BEBERAPA MAKANAN HARAM
وَيُحِلُّ
لَهُمْ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمْ الْخَبَائِثَ
“M
|
enghalalkan bagi mereka segala yang baik dan
mengharamkan bagi mereka segala yang buruk”.(QS:Al-A’raf:157).
Seperti telah
disinggung sebelumnya, sumber energy manusia disuplay lewat impor makanan ke
dalam ‘ma’iddah’ untuk diolah dan selanjutnya didistribusikan ke seluruh
jaringan tubuh menurut keperluan masing-masing. Sekalipun jagat raya dan isinya
ini diciptakan untuk kepentingan manusia, namun Sang Maha Pencipta mendirikan
tembok pemisah antara halal dan haram, agar manusia memilah-milah ketika
mengonsumsikannya demi mendapat manfaat yang baik untuk fisik dan mentalnya,
khususnya demi kelangsungan kehidupan religiusnya, agar selalu mengikuti
koridor yang diridhaiNya. Bersikap apatis terhadap ‘tembok’ bentukan
Allah swt, sehingga menganut system kebebasan seluas-luasnya dalam memandang
sebuah makanan tanpa mengindahkan rambu-rambuNya, dapat mendatangkan
kemudharatan dan ketimpangan dalam praktek keagamaannya. Ketimpangan, atau
dalam term keagamaan disebut ‘Atsar’ (efek), boleh jadi melanda naluri
mental kesuciannya yang memiliki potensi baik, atau mengefek ke fisik
lahiriyyahnya. Penulis akan menurunkan beberapa diantaranya:

a. TERTOLAKNYA AMAL IBADAH
M
|
enjalankan rutinitas
ibadah, kecuali sebagai upaya ‘menggugurkan’ beban taklif yang disandang oleh
setiap manusia yang diikrarkannya dalam alam zurriat, juga sebagai arena
menabur benih untuk memanenkan hasilnya di hari kedua kelak, akhirat. ‘Panenan’
yang merupakan karunia terindah dari Allah swt, yang selalu dijanjikan dan
diikat dengan amal ibadah tertentu , adalah target utama dari sebuah ibadah,
yang tentu saja dimaksudkan sebagai penyeimbang tapak kaki atas titian
Shirathal Mustaqim dan akhirnya sebagai tiket mengetuk pintuk surga. Anugerah ‘ceudah’ dari Allah swt ini
mempunyai kans yang sama untuk diraih oleh setiap manusia, kecuali karena
simanusianya menghempang sendiri untuk mendapatkannya, seperti singgungan
hadits berikut ini:
( من اشترى ثوبا بعشرة دراهم وفيه درهم حرام لم
يقبل الله له صلاة ما دام عليه )
“Barangsiapa membeli sehelai pakaian dengan harga sepuluh
dirham, yang satu diantaranya berasal dari yang haram, maka Allah swt tidak
menerima shalatnya selama pakaian itu masih melengket padanya”. (HR.Ahmad).
Shalat sebagai ibadah
utama dalam rangkaian syariat Islam tentu menjanjikan imbalan yang mengiurkan
setara dengan keutamaannya. Tetapi imbalan ini mudah teranulir hanya oleh
perkara sepele, unsure haram dalam hartanya. Boleh jadi karena pengadaan busana
oleh sebuah instansi ‘dicuri’ dari hak-hak yang telah diplot ke pos yang
lain. Atau, baju seragam korp dari hasil budaya ‘penyunatan’, atau, dari
hasil ‘merobek’ sebuah kepercayaan public. Ada juga busana yang melekat
di badan dari sumber mengemis ‘kasih-sayang’ masyarakat, yang selalu
diancam urusan mereka. Bila semua pakaian ini
disandang saat menghadap kiblat atau sedang menunai detik-detik hari
puasa Ramadhan, maka imbalan yang luar biasa besarnya bisa terlepas begitu
saja, disamping terus menumpuk lembaran-lembaran hitam catatan dosa yang kian
membukit dari hari ke hari, seperti sabda berikut ini:
( من اشترى سرقة هو يعلم أنها سرقة فقد شرك في عارها واثمها )
“Barangsiapa membeli sebuah barang curian, yang
diketahuinya itu memang hasil curian, sesungguhnya dia telah bersekutu pada
kehinaan dan dosa mencuri”. (Lihat
kitab ‘Taisir bi Syarhil Jami’ish Shaghir’).
Membeli suatu barang yang diketahuinya
sebagai hasil curian, sudah cukup mengantarkannya untuk menambah tumpukan dosa.
Ini baru sebatas level ‘mengetahui ada pencurian’, bagaimana kalau
meningkat ke level ‘aktor pencurian’? ‘Mencuri’ adalah kosa-kata
lama dalam ranah bahasa Melayu. Dalam perkembangannya, cukup banyak padanan kata
‘mencuri’ bermunculan seiring gaya dan tehnik mencuripun semakin
canggih. Kata ‘manipulasi’ adalah salah satu kata asing yang merengsek masuk ke dalam bahasa kita untuk menghaluskan, atau bahkan untuk menyembunyikan
kesan kebiadaban mencuri. ‘Proyek fiktif’ juga salah satu model mencuri
yang cukup marak di negeri ini, disamping istilah ‘pembekakan harga’pun
merajalela dimana-mana. Semua kata samar-samar ini bermuara ke satu ujung yang sama: ‘aktivitas
mengambil yang bukan haknya sendiri’. Dan, nilainyapun sama: mencuri!
Lebih parah dari itu semua adalah menyuapkan hasil nyolong ke dalam mulut,
karena mempunyai efek jelek ganda di dalamnya. Disamping berdosa yang merupakan
suatu keniscayaan, seperti sabda berikut:
عن
أبي هريرة من أكلها وهو يعلم انها سرقة فقد أشرك في اثم سرقتها رواه الطبراني
Dari Abu Hurairah ra: “Barangsiapa memakan (hasil
curian) yang diketahuinya itu hasil curian, sesungguhnya dia telah berkomplot
dalam dosa mencuri”. (HR.
Thabrani)
Juga berimbas kepada mengabadikan kedurhakaan kepada Allah swt dengan
berusaha menanamkan potensi ‘jahat’ mengalir di setiap urat dalam
dirinya. Artinya, hakikat memakan hasil korupsi, istilah lain dari mencuri,
bukan hanya sekedar kesenangan sesaat, tetapi juga mengajak berbagai
kemaksiatan merapat ke kepribadian seseorang. Boleh jadi setiap menit sisa
hidupnya adalah kemungkaran. Karena dalam kondisi jasad masih bersemayam harta
haram tidak mungkin ada kebaikan bernilai kebaikan, tidak mungkin ada ibadah
patut dihargai sebagai ibadah. Kita lihat penegasan Rasul saw berikut:
وإذا
خرج الرجلُ بالنفقة الخبيثة ، فوضع رجله في الغَرْزِ ، فنادى : لبَّيكَ اللهمَّ لبَّيك
، ناداه منادٍ من السَّماء : لا لبَّيْكَ ولا سَعْدَيك ، زادُك حرام ، ونفقتُك حرام
، وحجُّكَ غيرُ مبرورٍ
Bila
seorang laki-laki keluar menunai ibadah haji dengan biaya yang jelek (haram),
lalu menginjakkan kakinya pada tempat injakan, sambil berseru: “Aku penuhi
panggilanMu ya, Allah, telah aku penuhi!”,maka suara dari langit menyahut:
“Kamu tidak diterima, tidak diterima! Perbekalanmu haram! Biayamu Haram!
Dan hajimu ditolak!” (Lihat
kitab ‘Mu’jam Ausath).
Sungguh sangat mengenaskan sekali!
Ibadah haji yang dijanjikan diujungnya berjumpa dengan ‘mabrur’ yang
hanya sebanding dengan nilai ‘taubat nashuha’, ternyata menjadi seharga
sampah hanya gara-gara bekal pelaksanaaannya berasal dari yang diharamkan.
Berbaurnya kepemilikan harta antara halal dan haram, mencampuri najis dengan
suci, menyebabkan harta secara kolektif menjadi hanya satu warna menyeramkan:
haram. Apapun yang dilakukan dengan harta tersebut, juga mengikuti warna
aslinya: hitam. Kalau harta ini dijadikan sebagai bekal dalam menunaikan sebuah
ibadah, maka menghasilkan atribut kegelapan pula, yaitu nihil dari nilai kebaikan,
sehingga mustahil mendatangkan limpahan pahala yang telah dipaketkan di
dalamnya. Dalam kontek haji yang dibekali dengan biaya yang bersumber dari
hasil jarahan hak rakyat, misalnya, memustahilkan mabrur yang tersimpan di
dalamnya, kecuali penambahan gelar ‘haji’ di belakang namanya tetap juga
ditabalkan sebagai aksesoris pernah melakukan tour ke kandang unta di kampung
Nabi saw. Sementara mabrur yang mengindikasikan seseorang selalu memilih ‘jalan
kanan’ sepulangnya dari mengunjungi Baitullah, yang berharga melebihi dunia
dan isinya, bukanlah sesuatu yang boleh dharapkan. Karena, seperti ungkapan
hadits di atas, mabrurnya ditolak dengan tegas oleh Allah swt. Pasalnya, mabrur
sebagai penyucian dari dosa mesti dengan umpan pancing yang suci pula. Tidak
mungkin kotoran tahi dibersihkan dengan air kencing! Rhah ek ngon i’k?
Mustahil. Dalam hal ini seorang ulama
besar berkata:
قال
سفيان الثوري : من أنفق الحرام في الطاعة كمن طهر الثوب بالبول و الثوب لا يطهره إلا
الماء و الذنب لا يكفره إلا الحلال
Sufyan Ats-Tsaury berkata: “Barang siapa
menginfakkan harta haram dalam ibadahnya, itu persis ibarat menyucikan pakaian
dengan kencing. Padahal pakaian tidak akan suci selain dengan air, dan dosa
tidak akan tertutupi kecuali dengan yang halal. (Lihat kitab ‘Al-Kaba-ir’)
Maka, hajinya,misalnya, bermakna hanya merobek-robek puluhan juta
lembaran rupiah haram, disamping energy terbuang percuma di bawah bakaran
dahsyat matahari padang pasir. Kasus yang sama juga terjadi pada ibadah paling
utama dalam Islam, shalat. Hadits
berikut ini membeberkannya:
روى أبو يحيى القتات عن مجاهد ، عن ابن عباس ، قال : لا يقبل الله صلاة امريءٍ في جوفه حرام
Abu Yahya Al-Quttat meriwayat dari Mujahid dari Ibnu
‘Abbas ra, beliau berkata: “Allah swt tidak menerima shalat seseorang yang di
dalam perutnya ada makanan haram”.
Seperti telah sedikit disinggung di atas, shalat dalam
kapasitasnya sebagai ibadah tiang agama, tentu menghadirkan limpahan imbalan
yang mewah. Tetapi perut yang diisi dengan makanan haram mengganjal semua itu.
Tragis memang. Sekaligus menyedihkan. Padahal mengosong ‘jauf’ (rongga
perut) dari sesuatu yang haram demi meraih keutamaan shalat, bukanlah perkara
mustahil. Hanya diperlukan sedikit tekad dalam jiwa, agar selalu menghindari
harta-harta yang tidak jelas juntrungnya, agar tidak membiasakan diri dengan ‘uang
kopi’ yang selalu menggelapkan mata hati, agar menahan diri dari terlalu
mengharapkan porsi lebih dari yang telah diporsikan tiap bulannya. Masih terlalu melimpah yang baik-baik
tersedia dalam alam jagat raya ini untuk menjaga agar jiwa tetap
berada dalam kefitrahannya.
Salah satu yang sangat didambakan dari
dampak baik shalat adalah menjauhkan mushalli dari segala bentuk kemungkaran,
sebagaimana pernyataan Allah swt berikut ini:
إِنَّ الصلاة تنهى
عَنِ الفحشآء والمنكروَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ
Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan)
keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar
(keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu
kerjakan. (QS:Al-‘Ankabut:45).
Keutamaan yang sangat agung dan
telah ditargetkan dari mendirikan shalat ini, tidak semua orang bisa
mendapatkannya. Terbukti dari kenyataan, bahwa tidaklah setiap orang yang mau
menunaikan shalat terjauhi dan terhindari dari setiap kekejian. Salah satu dari
factor penyebabnya, dan ini merupakan yang paling berat dan utama, adalah
menjalarnya harta-harta haram dalam aliran darahnya. Darah dan gizi yang
bersumber dari harta haram menjadikan shalat tidak bermakna sama sekali dan
tidak mempengaruhi para mushallinya. Karena kekejian akan melahirkan kekejian
pula. Mustahil kekejian menerbitkan kebaikan. Dan yang sangat mengerikan sekali
adalah ketika telah berada di akhirat, yang mana seluruh amal ibadah luruh
tidak berarti sama sekali, seperti tulisan Muhammad bin Utsman Azd-Dzahaby
dalam kitab ‘Al-Kaba-ir’:
روي
عن رسول الله صلى الله عليه و سلم أنه قال يؤتى يوم القيامة بأناس معهم من الحسنات كأمثال جبل
تهامة حتى إذا جيء بهم جعلها الله هباء منثورا ثم يقذف بهم في النار فقيل يا رسول الله
: كيف ذلك ؟ قال : كانوا يصلون و يصومون و يزكون و يحجون غير أنهم كانوا إذا عرض لهم
شيء من الحرام أخذوه فأحبط الله أعمالهم )الكبائر – الذهبي(
Diriwayatkan dari Rasul saw,
sesungguhnya beliau bersabda: “Pada hari kiamat nanti, seluruh manusia
dihadirkan bersama-sama dengan kebaikan mereka yang sebesar gunung di daerah
Tuhamah. Tetapi, ketika semua kebaikan itu dibawa ke hadapan mereka, Allah swt
menjadikannya debu yang berhamburan, dan dilemparkannya bersama-sama dengan
pemiliknya ke dalam neraka”. Ada yang bertanya: “Ya, Rasulullah saw, mengapa
seperti itu?” Rasul saw menjawab: “Sekalipun mereka mengerjakan shalat,
menunaikan zakat dan melaksanakan haji, tetapi apabila dibawakan sesuatu yang
haram kepada mereka, mereka mengambilnya juga. Karena itu, seluruh amal mereka
dihapus oleh Allah swt”.
Nah, dampak sangat luar biasa ini
hanya disebabkan oleh perkara yang telah mentradisi dalam kalangan manusia,
kebanggaan atas harta haram. Tradisi dan kebanggaan ini bukanlah perkara yang
mustahil ditinggalkan, hanya dibutuhkan sedikit tekad, lebih-lebih kalau mau
membayangkan efek yang sangat dahsyat seperti paparan di atas.
قد روي عن يوسف
بن أسباط رحمه الله قال : إن الشاب إذا تعبد قال الشيطان لأعوانه : انظروا من أين مطعمه
فإن كان مطعم سوء قال : دعوه يتعب و يجتهد فقد كفاكم نفسه إن إجهاده مع أكل الحرام
لا ينفعه
Sesungguhnya telah
diriwayatkan dari Yusuf bin Asbath rh: bahwa seorang pemuda apabila melakukan
suatu ibadah, setan memerintahkan kepada anak buahnya: “periksalah, darimana
makanannya?”. Kalau kebetulan makanannya busuk (haram), setan berkata lagi:
“biarkanlah dia, dia hanya bermain-main dan bersungguh-sungguh. Telah cukup
hanya dengan dirinya sendiri, karena sesungguhnya kesungguhannya dengan makanan
haram tidak mendatangkan manfaat apapun baginya. (Lihat kitab ‘Al-Kaba-ir’).
Lihatlah,
setan saja tahu, bagaimana pengaruh makanan haram bagi ibadah yang dilakukan
oleh manusia, sampai-sampai setan merasa terbantu dan ringan dalam mengemban
tugasnya merusak ibadah manusia, sehingga orang-orang pengunyah harta haram
tidak perlu lagi dirayu untuk dihancurkan nilai ‘ubudiyyahnya yang agung, cukup
sudah dengan makanan haramnya sebagai penghancur seluruh ketaatannya kepada
Allah swt. Artinya, pemakan harta haram telah sejalur dan semisi dengan setan.


- TERTOLAKNYA SEDEKAH
K
|
erugian memakan harta haram bukan hanya merusak pahala sebagian ibadah
saja, tetapi mencakup seluruh aspek ibadah. Berikut kita lihat kenyataannya:
لا يقبل الله صلاة بغير طهور، ولا صدقة من غلول )) رواه مسلم
Allah swt tidak menerima shalat yang tidak dalam
keadaan suci dan tidak menerima sedekah dari harta hasil pengkhianatan
(korupsi). (HR. Muslim).
Masalahnya, ketika harta haram
merasuki dan mengotori harta halal, semuanya telah berstatus haram selama belum
dipisahkan yang haramnya. Lalu kemudian, menginfakkannya untuk mendapat
kelebihan bersedekah dengan niat akan memetiknya di akhirat kelak. Disinilah
berlaku pepatah indatu: ‘lage tapreh boh ara hanyot’. Sangkaan, bahwa
dapat meraih keuntungan ganda kelak, sama sekali kosong melompong. Sangat
menyedihkan sekali. Atau, dengan sedekah yang dijanjikan dapat suaka dari
turunnya musibah, malah mungkin sebaliknya. Musibah akan datang menghakimi
kepencuriannya. Hukuman yang diberikan kadang-kadang menimpa mentalnya, dimana
dia selalu dirasuki perasaan tidak cukup di seluruh jengkal hidupnya, sehingga
seluruh daya otot dan otaknya dikerahkan memenuhi kebutuhan yang telah
terpenuhi. Inilah sebesar-besar malapetaka untuk umat manusia, seperti pernah Allah
swt timpakan kepada bangsa Yahudi. Kadang-kadang musibah menyerang fisiknya,
dimana penyakit kelebihan gizi merongrong sisa hidupnya. Duo manis, darah dan
kencing, menerkam imunitas tubuhnya, disertai juga implikasinya, seperti
diabetes mellitus, strok dan lain-lain.
Semua kemudharatan
ini boleh jadi bersumber dari harta haram, disamping menghambat datangnya
pahala yang cukup menggiurkan. Pahala yang kita butuhkan kelak saat kita
menjalani kehidupan abadi di akhirat adalah keniscayaan mengumpulkannya
sekarang ini. Untuk tujuan itu, Allah swt telah merangkai syariat yang selalu
berujung dan membuahkan pahala. Tetapi tubuh yang tumbuh dari harta haram,
haram mendapatkan anugerah pahala dariNya. Menyikapi ini, Imam Ghazali membuat
suatu perumpamaan yang indah:
قال
الغزالي العبادة مع أكل الحرام أو لبسه كالبنيان على الرمل
Imam Ghazali berkata: ‘Ibadah yang disertai makanan
atau pakaian haram adalah ibarat mendirikan bangunan atas tumpukan pasir’.
(Lihat kitab ‘Taisir bi
Syarhil Jami’ish Shaghir’).
Kita bisa membayangkan hal-ihwal
bangunan di atas hamparan pasir, selalu oleng dan tidak kokoh menancap. Suatu
saat nanti bangunan akan roboh dan ambruk terkapar atas tanah. Tidak menyisakan
apapun selain penyesalan. Penyesalan akan kekejian perbuatan diri, yang tidak
mengindahkan rambu-rambu Allah swt dalam pemilahan makanan halal dan haram.
Bangunan di atas pasir adalah ilustrasi ibadah yang tak berguna sama sekali
bagi pelakunya, hanya kesia-siaan belaka. Dan, pelakunya termasuk ‘orang
tidak akur’, karena mau bersusah-payah dan menghambur-hamburkan uang untuk
membangun bangunan atas ‘anoe gasui’, yang siapapun bisa memprediksi
bangunan itu tidak akan bertahan sedetikpun.


- JAHATNYA POLA PIKIR
N
|
ah, ketidakberesan ini adalah cerminan jiwanya yang dipengaruhi
oleh pengonsumsiannya akan makanan yang haram. Artinya, makanan yang haram
melahirkan ide-ide yang haram pula, mustahil muncul pikiran brilian yang
bermanfaat untuk kehidupannya, lebih-lebih kehidupan keagamaan dan akhiratnya.
Seorang pemakan riba (bunga bank, misalnya), tidak mungkin terpikirkan hal-hal
produktif-agamis, semisal membantu pembangunan dayah atau balai pengajian.
Karena ide baik ini tidak mungkin terbit dari lumpur anyir harta haram, karena
memang tidak ada relevansi antara keduanya. Pernahkah seekor, maaf, babi
melahirkan anak sapi?
Kita lihat gubahan indah seorang ulama
tentang bagaimana pemikiran seseorang yang dirasuki oleh makanan haram:
وقال سيدي علي الخواص رضي الله عنه: (اعلم أن المدد الذي لم يزل فياضاً
على قلب كل إنسان ويتلون بحسب القلب، والقلب يتلون بحسبه هو بحسب صلاح الطعمة وفسادها
Saidy ‘Ali Al-Khawash ra berkata: ‘Ketahuikanlah,
material yang senantiasa mempengaruhi hati setiap manusia, yang manusia selalu
membaca menurut hatinya, yang hati selalu membaca menurut dorongan tersebut
adalah tergantung baik-buruk makanannya. (Lihat kitab ‘Taisir bi Syarhil Jami’ish Shaghir’).
Ternyata
pola pikir sangat bergantung kepada asupan dan supplay gizi kepada otak dari
makanan yang dikonsumsi setiap insan. Jalur pikir seseorang dibentuk oleh pola
makannya. Baik (halal) dia makan baik pula jalan pikirannya. Sebaliknya, buruk
(haram) makanannya buruk dan jahat pula arah perjalanan otaknya. Makanya, dalam
sebuah musyawarah mengenai kemeslihatan masyarakat tidak akan menyimpulkan
poin-poin keberpihakan kepada masyarakat bila para peserta musyawarahnya adalah
mereka yang sibuk mencari solusi bagaimana menambah harta haram lebih banyak
lagi. Kalaupun tetap mengatasnamakan masyarakat, itu hanya sekedar ‘lempar batu
sembunyi tangan’. Bukan kepentingan rakyat banyak, tapi untuk kebutuhan
‘rakyat’ (dalam tanda kutip) yang telah terjamin kebutuhannya oleh
rakyat dan Negara. Bukan kepentingan rakyat yang dimusyawarahkan, tapi rakyat
yang bermusyawarah. Banyak program yang bertitel rakyat diluncurkan, namun
tetap tidak terlepas dari ‘ada udang di balik batu’. Sekalipun setiap bulan
mendapat jatah hidangan sate kambing yang disembelih secara syariat sebagai konpensasi
dari kerjanya, tetapi masih juga terasa lebih enak sate bangkai kambing yang dijajakan
dalam lorong-lorong kegelapan. Pertanyaan menggelitiknya adalah, mengapa
keanehan dan ketidaklogisan ini sampai terjadi? Atau, mengapa pemikiran selalu
mengarah ke kejahatan? Jawaban salah satunya adalah pola pikirnya telah
digerakkan oleh aliran darah dan gizi haram yang memenuhi otaknya. Kita bisa
melanjutkan pertanyaan yang senada. Mengapa tidak terpikirkan muatan agamanya
dalam setiap kebijakan di bumi syariat? Ada apa dengan seseorang yang
mengikrarkan keislamannya tapi tidak berorientasi kepada Islam? Mengapa ketika,
katanya, sedang terjadi kekeringan
anggaran, tapi hanya berlaku untuk pos-pos keagamaan, sedangkan pos-pos
non-agama kebanjiran dana? Temukan jawaban salah satunya, harta haram
bergentayangan dalam setiap sudut tubuh manusia. Ini pula yang disinyalir oleh
hadits Rasul saw berikut ini:
عن أَبِي سَعِيدٍ
الْخُدْرِيَّ قَالَ: قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَخَطَبَ
النَّاسَ فَقَالَ لَا وَاللَّهِ مَا أَخْشَى عَلَيْكُمْ أَيُّهَا النَّاسُ إِلَّا مَا
يُخْرِجُ اللَّهُ لَكُمْ مِنْ زَهْرَةِ الدُّنْيَا فَقَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ
أَيَأْتِي الْخَيْرُ بِالشَّرِّ فَصَمَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ سَاعَةً ثُمَّ قَالَ كَيْفَ قُلْتَ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَأْتِي
الْخَيْرُ بِالشَّرِّ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إِنَّ الْخَيْرَ لَا يَأْتِي إِلَّا بِخَيْرٍ أَوَ خَيْرٌ هُوَ إِنَّ كُلَّ مَا يُنْبِتُ
الرَّبِيعُ يَقْتُلُ حَبَطًا أَوْ يُلِمُّ إِلَّا آكِلَةَ الْخَضِرِ أَكَلَتْ حَتَّى
إِذَا امْتَلَأَتْ خَاصِرَتَاهَا اسْتَقْبَلَتْ الشَّمْسَ ثَلَطَتْ أَوْ بَالَتْ ثُمَّ
اجْتَرَّتْ فَعَادَتْ فَأَكَلَتْ فَمَنْ يَأْخُذْ مَالًا بِحَقِّهِ يُبَارَكْ لَهُ
فِيهِ وَمَنْ يَأْخُذْ مَالًا بِغَيْرِ حَقِّهِ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الَّذِي يَأْكُلُ
وَلَا يَشْبَعُ. البخاري
Dari Abu Sa’id Al-Khudry ra,
beliau mengisahkan: Rasulullah saw berdiri berpidato kepada manusia, maka
beliau bersabda: “Tidak! Demi Allah! Tidaklah aku takuti menimpa atas kalian
kecuali keindahan dunia yang dikeluarkan oleh Allah swt bagi kalian semua”.
Seorang laki-laki bertanya: “Ya, Rasulullah saw, apakah akan datang kebaikan
dengan keburukan?”. Rasul saw terdiam sejenak. Lalu bertanya: “Bagaimana kamu
tanya barusan?”. “Tadi aku bertanya, apakah akan datang kebaikan dengan keburukan?” jawab laki-laki
tadi. Rasul saw menjawab: “Sesungguhnya kebaikan tidak akan melahirkan kecuali kebaikan. Apakah
kebaikan adalah kebaikan? Sesungguhnya setiap tanaman yang ditumbuhkan air hujan
dapat atau nyaris menghancurkan pencernaan seseorang, kecuali binatang pemakan
dedaunan hijau, yang apabila menyantap sampai memenuhi dua lambungnya dia
menghadap matahari, lalu berak dan kencinglah. Setelah itu, melakukan
mamahbiak, mengulangi dan makan lagi. Maka, barangsiapa yang mengambil harta
haknya, hartanya menjadi berkat untuknya. Dan, siapa yang mengambil bukan
haknya, itu ibarat (binatang) yang selalu makan tapi tidak pernah kenyang. (H.R
Bukhari)
Kalimat ‘Sesungguhnya kebaikan tidak akan melahirkan kecuali kebaikan’ menunjuk kepada, bahwa kebaikan hanya mungkin
keluar dari kebaikan pula. Sulit sekali rasanya mengharapkan kebijakan
religious bisa ditelorkan oleh mereka yang bergelimang harta haram. Tidak akan
terpikirkan oleh orang yang terlanjur korupsi kecuali korupsi selanjutnya. Dan,
kelanjutan korupsi ini tidak akan pernah berhenti, seperti ungkapan Nabi saw di
atas: ‘Dan, siapa yang mengambil bukan haknya, itu ibarat (binatang)
yang selalu makan tapi tidak pernah kenyang’.
Inilah malapetaka yang sangat dahsyat!

d. KABURNYA
BISIKAN HATI
A
|
kibat
yang paling parah melanda pemakan-pemakan harta haram adalah ketika tidak
sanggup lagi membedakan suara hati, mana yang baik dan mana yang jahat, seperti
yang disimpulkan berikut:
قال بعضهم: (من لا يعرف ما يدخل بطنه لا يفرق بين الخواطر الربانية والشيطانية).
Beberapa ulama berkata: ‘Orang-orang yang tidak tahu
makanan apa (halal atau haram) yang masuk dalam perutnya, maka dia tidak
sanggup membedakan antara ‘khathir rabbaniy’ (bisikan jiwa dari Tuhan = ilham)
dan ‘khathir syaithaniy’ (bisikan setan).
(Lihat kitab ‘Taisir bi Syarhil Jami’ish Shaghir’).
Ketidaktahuannya
dipicu oleh karena berbaur hartanya antara halal dan haram, sehingga sangat
sulit dibedakan antara keduanya. Sedianya hartanya begitu jauh dari kekotoran.
Namun dalam perjalanan selanjutnya, hartanya telah terkontaminasi dengan
kebanggaan masa kini, harta haram. Maka, seluruh kekayaannya berstatus haram,
kecuali dipisahkan dulu seukuran haramnya, agar yang tersisa bisa disebut halal
dengan meyakinkan. Kalau tidak, maka setiap suap berarti menelan harta haram.
Akibat fatalnya, tidak punya kemampuan menentukan nilai impulse (suara
hati)nya, apakah dorongan baik atau jelek, apakah berasal dari ilham atau
tipuan setan. Semuanya menjadi samar-samar. Padahal manusia bergerak selalu
dimotori oleh suara jiwanya. Akhirnya, karena tidak mampu memilah lagi, segala ‘khatir’
hatinya dijadikan pedoman dan pemandu menggerakkan seluruh anggota badannya.
Dan, pada saat terjerumus dalam kemungkaran dari bisikan hatinya, dia tidak
menyadarinya itu adalah kemurkaan Allah swt. Karena penilaiannya telah menjadi
kabur dikaburkan oleh konsumsinya akan harta haram yang menyerang jantung
hatinya. Dan, dengan itu meredupkan kemilau nur iman dari hati sanubarinya.
Lebih jauh lagi, dalam kitab Tafsir ‘Al-Bahrul Madid’
dilukiskan akibat dari memakan harta haram sebagaimana berikut ini:
“Orang-orang yang memakan
makanan haram, seperti riba dan semisalnya, tidak akan melakukan aktivitasnya
yang hak kecuali melakoninya persis orang gila yang dipermainkan oleh setan,
yang tidak mengerti apa yang dikatakannya dan yang dikatakan kepadanya. Haram
bagi mereka merasakan kelezatan ‘munajah’ (mengadu kepada Allah swt) dan
kemanisan ihklas beramal”.
Selanjutnya
ditulis:
“Diantara perlakuan Allah swt
kepada hambaNya, barangsiapa mencari lebih pada urusan lahir (fisik)nya, maka
Allah swt akan meredupkan cahaya batin (iman)nya. Dan, siapa saja yang mencegah
lebih pada materi lahiriyyahnya, maka Allah swt akan menguatkan segala materi batinya”.
Pada
bagian lain kitab itu, termaktub:
“Fondasi utama kebersihan
aktivitas seseorang adalah bergantung kepada kesucian setiap suapannya. Siapa
saja yang bersih makanannya, maka suci kegiatannya. Siapa saja bersih
kegiatannya, maka kebersihannya itu mempengaruhi hatinya. Apabila keruh
suapannya, keruh pula aktivitasnya. Dan, orang yang keruh aktivitasnnya, maka
keruh pula hatinya”.
Dalam
kitab itu, dinukilkan pula:
Segelintir
ulama berpendapat: “Barangsiapa memakan yang halal, maka dia akan
senantiasa taat kepada Allah swt, suka atau tidak. Dan, orang-rang yang memakan
yang haram, dia senantiasa mungkar kepadaNya, suka atau tidak”.
Berbagai
kenyataan di atas, mengantarkan kita kepada sebuah pemahaman, bahwa bahaya yang
dititipkan makanan haram dalam tubuh manusia sungguh sangat mengerikan sekali.
Kecuali sanggup merubah tingkah polah seseorang ke arah kemungkaran yang sangat
dahsyat sekali, juga men’scent’kan setiap hati dan pikiran untuk selalu
mengambil jalan yang dipenuhi oleh ‘khatir syaithaniy’, na’uzubillah
minzalik. Ini pula yang disinggung oleh Rasul saw dalam sabdanya berikut
ini:
عن
أبي هريرة رضي اللّه عنه عن النّبيّ صلّى اللّه عليه وسلّم قال ليأتينّ على النّاس زمان لا يبالي المرء بما أخذ المال، أمن الحلال أم
من حرام( البخاري
Dari Abu Hurairah ra dari Nabi saw bersabda: “Akan
datang suatu masa melanda manusia, di mana mereka tidak menghiraukan lagi harta
apa yang diambilnya, apakah bersumber dari yang halal atau yang haram”. (HR. Bukhari).
Rasul saw telah memprediksikan ‘peukateun’ umatnya pada
ujung masa kelak. Sesuatu yang telah masuk dalam ‘ramalan’ beliau adalah
perkara yang mengerikan yang mesti diwaspadai oleh umatnya. Kalau tidak, tidak
ada gunanya beliau memperingatkannya terlalu dini sebelum saatnya tiba.
Artinya, bersikap apatis terhadap status harta, halal atau haram, akan menusuk
tradisi keislaman umat beliau suatu saat nanti. Setelah seribu lima ratus tahun
beliau wafat, kenyataannya tidak meleset sedikitpun dari sabdanya. Sekarang,
dimana-mana mengejar harta dengan meminggirkan penilaian, halal atau haram?
Selama dia bernama harta, selama itu pula selalu akan dimiliki, dikantongi,
dimakan dan ditumpuk-tumpuk. Perkara, apakah halal atau haram, bukanlah
merupakan suatu yang mesti dan penting dipertimbangkan. Dari pikiran seperti
inilah lahirnya motto sesat menyesatkan: ‘Jangankan yang halal, yang haram
saja sulit diperoleh’. Motto ini, kecuali berpotensi memadamkan nur
keimanannya, juga gambaran dari teori yang terpahami dari hadits ‘tidak ada
yang keluar dari haram kecuali keharaman’. Sekali memakan yang haram selamanya
akan memburu yang haram.

e.
TERTOLAKNYA DOA
D
|
ampak dari makan harta haram, belum akan berhenti sampai disitu.
Tetapi juga akan terus bergelinding meluluh-lantakkan sisi-sisi kehidupan
keagamaan yang lainnya. Doa, yang merupakan ‘otaknya ibadah’, juga tidak
luput dari efek dahsyatnya harta haram. Kita ikuti paparan Rasul saw di bawah
ini:
وقال: يا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّباتِ ما رَزَقْناكُمْ (البقرة/ 172) ثمّ ذكر الرّجل يطيل السّفر. أشعث أغبر. يمدّ يديه إلى السّماء. يا
ربّ! يا ربّ! ومطعمه حرام، ومشربه حرام، وملبسه حرام، وغذي بالحرام، فأنّى يستجاب لذلك؟مسلم
Rasulullah saw mengutip firman: ‘Wahai, orang-orang
beriman, makanlah yang baik-baik (halal) dari apa yang telah kami rezekikan
kepada kamu’ (QS:Al-Baqarah:172). Lalu beliau menyebut kisah seorang laki-laki
yang telah menempuh perjalanan panjang. Rambutnya kusut dan tubuhnya penuh
debu. Lalu menadahkan tangannya ke langit, dan berkata: “Ya, Rabbi, ya,
Rabbi!”. Padahal, makanannya, minumannya, pakaiannya dan kenyangnya dengan
harta haram, bagaimana mungkin doanya bisa dikabulkan? (HR.Muslim).
Katakanlah dengan fasilitas hidup yang dimilikinya, doa-doa kurang
dibutuhkan dan jarang dilakukan. Tetapi, akan ada kondisi dimana doa hanya
menjadi andalan satu-satunya. Saat itu, harta tidak bisa berbicara banyak,
jaringan social yang pernah digagas tidak bisa membantu. Jasa yang pernah ditebarkan
tidak juga mendatangkan manfaat. Salah satunya, saat sakit kronis menimpa,
misalnya. Dokter ahli caliber duniapun sudah tidak sanggup menolong lagi, dan
berkata: ‘pasrahkan saja dan banyak berdoa’. Disini seorang dokter juga
mengeluarkan naluri asli setiap manusia: ketidakberdayaan. Dan, dia memberi
resep terakhir: berdoalah. Hanya doa yang bisa diharapkan ketika hanya kursi
roda yang sangat dibutuhkan dan satu-satunya yang berguna diantara tumpukan
kekayaan. Panjatan doa adalah kegiatan rutin mengiringi hari-hari menanti
tibanya vonis sang dokter, bahwa penyakit Anda mustahil bisa disembuhkan secara
medis.
Dan, alangkah tidak beruntungnya seseorang, disadari atau tidak,
bila ternyata doanyapun yang sangat diandalkan tidak bermanfaat sama sekali
baginya hanya gara-gara kehidupan masa lalunya sibuk dengan menjarah, menjarah
dan menjarah yang bukan haknya. Dalam kondisi sakit-sakitan sebenarnya seseorang
kalau berdoa sangat ikhlas dan khusyu’ dan benar-benar muncul rasa ingin taubat
dari hatinya yang paling dalam. Tetapi doa dan taubatnya ditolak dan terhalang
oleh harta kekayaannya yang nyaris semuanya haram. Bagaimana mungkin doa yang
keluar dari hati, meluncur dari mulut, memanjat dari rumah, terbit dari balik
pakaian yang semuanya berasal dari harta yang haram? Sedangkan doanya yang
diharapkan akan diijabahkan oleh Yang Maha Baik keluar dari tumpukan kebusukan.
Mana mungkin menghidangkan bangkai kepada seorang ulama, misalnya.
Ketidakmakbulan doa telah dipastikan juga oleh Ibnu Rajab.
قال ابن رجب رحمه اللّه «أكل الحرام وشربه ولبسه والتّغذّي به سبب موجب لعدم إجابة
الدّعاء
Ibnu
Rajab ra berkata: ‘Memakan, meminum, mengenakan pakaian dan kenyang
dengan harta haram adalah suatu keniscayaan sebab doa tidak diijabah’.
Harapan
akan diterimanya doa telah sirna selamanya selama masih ada setetes darah haram
mengalir dalam tubuh seorang mukmin. Dan, itu berarti melewatkan dan
mengabaikan kesempatan bertaubat selamanya. Karena taubat adalah salah satu
dari bentuk permintaan (doa) hamba kepada sang Khalik. Lebih jelasnya, kita
lihat sabda ini:
وروي أن النبي صلى الله عليه وسلم قال
: "ثلاثة لا يستجاب دعاؤهم : آكل الحرام ، ومكثر الغيبة ، ومن كان في قلبه غل
أو حسد للمسلمين الكتاب : الجامع لأحكام القرآن
Dan
diriwayatkan, bahwa Rasulullah saw bersabda: “Tiga orang tidak
diterimanya doa mereka; pemakan haram, yang banyak mengupat dan orang yang
dalam hatinya ada dendam atau dengki bagi muslimin”. (Lihat kitab ‘Jami’ lil Ahkam Al-Quran).
Pemakan
harta haram berada pada posisi nomor satu dalam deretan orang-orang yang tidak
dikabulkan doanya, suatu indikasi yang juga merupakan nomor satu pembawa
kerusakan akan amal ibadah manusia. Indikasi kontraproduktif ini menjadi sangat
meyakinkan manakala Rasulullah saw menjadikan ‘makanan haram’ sebagai
satu-satunya penghalang doa memanjat ke langit dalam hadits berikut ini:
عن أنس رضي الله عنه قال
قلت يا رسول الله : ادع الله أن يجعلني مستجاب الدعوة فقال صلى الله عليه و سلم : يا
أنس أطب كسبك تجب دعوتك فإن الرجل ليرفع اللقمة من الحرام إلى فيه فلا يستجاب له دعوة
أربعين يوما الطبراني
Dari Anas ra berkata: aku berkata kepada Rasul saw, ”ya,
Rasulullah saw, mintalah kepada Allah swt agar aku dijadikan sebagai orang yang
dikabulkan doa”. Rasul saw menjawab: “wahai, Anas, baguskan penghasilanmu maka
doamu akan diterima, karena sesungguhnya seorang laki-laki yang mengangkat sesuap
makanan haram ke mulutnya tidak akan diijabahkan doanya selama 40 hari lamanya”. (HR. Tabrany).
Vonis yang dijatuhkan Rasulullah saw ini sangat merugikan bagi
mereka yang mengidap penyakit kronis mencintai harta haram, sehingga
kesembuhannyapun sangat sulit diupayakan, karena ketika suatu penyakit yang
telah berada pada stadium kronis dan orangnya tidak menganggap itu sebagai
penyakit mengerikan, maka tidak mungkin mereka berdiri pada posisi seorang
pesakitan, malah sebaliknya, berkeyakinan sedang berada pada puncak kesehatan
yang prima. Rasa-rasanya, kalau seperti ini terus-menerus, mustahil keluar dari
lingkaran setan harta haram. Selanjutnya, na’uzubillah, tinggal hanya
mengambil satu pojok dari belantara neraka.

f.
TERJAMINYA TEMPAT DALAM NERAKA
إِنَّ
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْماً إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ
نَاراً وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيراً
S
|
esungguhnya orang-orang yang
memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api
sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala
(neraka). (QS: An-Nisak:10).
Memakan harta anak
yatim, salah satu harta yang diharamkan oleh agama, berarti telah membangun
satu tempat gratis dalam neraka, suatu tempat yang diperintah Allah swt untuk
dijauhi sejauh-jauhnya. Semua orang sepakat, setelah mengetahui ilustrasi
neraka dari informasi Allah swt dalam Al-Quran, bahwa neraka, dengan seluruh
jurang di dalamnya, sangat mengerikan sekali. Dan, sepakat pula mesti dihindari
secara naluri kemanusiaan. Tetapi jarang disepakati untuk tidak menempuh
jalan-jalan yang bermuara ke jurang neraka. Sehingga, banyak orang yang sangat
takut kepada neraka, tapi sangat gembira, malah berpesta, dengan makan makanan
haram. Padahal, sekalipun makanan haram bukan api membara seperti neraka, tapi
merupakan sedang merintis jalan ke salah satu lembah gelap neraka. Dan, konsekwensinya, surga
menjadi sesuatu yang haram diperolehnya, sementara atau abadi selamanya. Ini
terpahami dari hadits Rasul berikut:
عَنْ أَبِي مُوسَى
الْأَشْعَرِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ
حَفِظَ مَا بَيْنَ فُقْمَيْهِ وَفَرْجَهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ الحاكم(
Dari Abu
Musa Al-Asy’ary, beliau berkata: Bersabda Rasulullah saw: “Barang
siapa yang mampu menjaga organ diantara dua dagunya (mulut dari yang haram) dan
kemaluannya (dari zina), maka dia masuk surga”. (HR.
Hakim).
“Mafhum
mukhalafah’ (pengertian tersirat) dari hadits ini, tidak mampu menjaga dua
organ, mulut dan kemaluan dari yang diharamkan, berarti menyeberang jalan ke
neraka, karena tidak ada tempat ketiga di akhirat kelak selain surga dan
neraka. Menyuap najis ke mulut sama dengan memilih menjadi penghuni neraka.
Menandatangani selembar kertas berisi daftar pembekakan harga itu sama persis dengan
sedang mengisi formulir pendaftaran masuk neraka. Mengerjakan proyek jalan yang
jauh dari butir-butir draf yang telah disediakan, itu pula berarti mengerjakan
proyek jalan menuju ke neraka. Lebih tegas Rasu saw dari hadits di atas, beliau
bersabda:
و في صحيح البخاري : أن رسول
الله صلى الله عليه و سلم قال إن رجالا يتخوضون في مال الله بغير حق فلهم النار يوم
القيامة
Dalam kitab Sahih Bukhari: sesungguhnya Rasulullah saw
bersabda: “Sesungguhnya
orang-orang yang ‘menyelam’ dalam harta karunia Allah swt yang bukan haknya,
baginya neraka jahannam di hari kiamat kelak”.
Hadits ini sangat jelas tentang didapatkannya satu tiket jatah
neraka oleh orang
yang berjaya dan membiaya hidupnya dengan bukan miliknya. Kepemilikan atas
hartanya melalui jalur illegal secara syariat, mengantarkannya ke ‘kenyamanan’
neraka yang ‘didambakan’ oleh akal-pikiran yang sehat. Meragukan kedahsyatan
azab neraka, pertama, keluar dari keteduhan Islam. Kedua, keluar dari
kecerdikan seorang manusia yang diunggulkan atas makhluk lain. Karena, logika
manusia berbicara, katakanlah sebuah informasi bersifat memperingati kurang
dapat dipercayai dengan berdasar atas segala dalihnya, lalu apa ruginya untuk
memberi sedikit perhatian kalau-kalau memang ada benarnya, karena
ketidakjadiannyapun bukan suatu perkara yang pasti pula. Keragu-raguan
sebenarnya bisa ditepis dengan melihat membanjirnya berita tentang hal yang
sama. Salah satunya, untuk meyakinkan kita, hadits berikut:
عن كعب بن عجرة رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم
لا يدخل الجنة جسد غذي بالحرام و إسناده صحيح قال العلماء رحمهم الله : و يدخل في هذا الباب : المكاس و الخاتن و الزغلي
و السارق و البطال و آكل الربا و موكله و آكل مال اليتيم و شاهد الزور و من استعار
شيئا فجحده و آكل الرشوة و منقص الكيل و الوزن و من باع شيئا فيه عيب فغطاه و المقامر
و الساحر و المنجم و المصور و الزانية و النائحة
و الدلال إذا أخذ أجرته بغير إذن من البائع و مخبر المشتري بالزائد و من باع
حرا فأكل ثمنه الكتاب : الكبائر المؤلف : محمد بن عثمان الذهبي
Dari Ka’ab bin ‘Ujrah ra,
berkata: bersabda Rasulullah saw: “Tidak akan masuk surga seonggok badan yang
dikenyangkan dengan yang haram. Sanad hadits ini sahih. Beberapa ulama, semoga
Allah swt merahmati mereka, mengomentari hadits ini: ‘masuk dalam bab ini
(makanan haram) pemungut pajak illegal, pengkhianat kepercayaan (para
koruptor), penipu (pelaku hipnotis, misalnya), pencuri (mengambil tidak
diketahui pemiliknya), preman (pemerasan), pemakan riba (bunga bank atau
melebih pembayaran utang, misalnya), penyuruh melaksanakan riba, pemakan harta
anak yatim, saksi palsu yang diupah, orang yang meminjam lalu mengingkarinya,
pemakan sogok (jajaran birokrasi, misalnya), orang yang mengurangi takaran dan
timbangan, penjual barang rusak yang ditutup-tutupi, para penjudi, penyihir
(orang ‘meurajah’ dengan kerasukan, misalnya), tukang ramal, tukang ukir
(pembuat patung, misalnya), para pelacur (menjual jasa kemaluan), orang
meratapi mayat, makelar (agen) yang mengambil uang jasa tanpa izin dari penjual
(pemilik)nya dan tidak memberitahukan pembeli atas harga yang lebih, penjual
manusia merdeka (trafficking) lalu memakan harganya. (Lihat kitab ‘Al-Kaba-ir’).
Melihat deretan alur yang
mengaliri harta-harta haram yang begitu banyak, dan semuanya mengepung
kehidupan kita, sungguh-sungguh sangat mengkhawatirkan kita kalau-kalau kita
terjerumus ke salah satunya. Hampir-hampir mustahil kita dapat terhindar dari
perangkap-perangkap Iblis itu. Apalagi kita yang hidup di ujung zaman ini, di
mana kosa kata ‘haram’ nyaris hilang dari wilayah percakapan manusia. Dan,
kalau sesekali kata itu terucap lidah manusia, itu hanya dialamatkan kepada
daging babi dan anjing saja, bukan kepada hasil korupsi, manipulasi ataupun
hasil jarahan-jarahan yang lain. Tetapi, Allah swt Maha Bijaksana, tidak
mungkin melarang sesuatu yang sukar dihindari, apalagi sampai ke tingkat
‘mustahil’ terjadi. Tidak.
Hanya tergantung
kepada bagaimana dan dengan apa kita melihat objek harta haram, apakah sebagai
sesuatu yang harus diraih, dan apakah dengan kacamata ketamakan, atau sebagai
momok yang menakutkan yang mesti dijauhi, dan dengan kacamata iman yang bahwa
rezeki telah dibagi-bagi menurut forsi masing-masing, bahwa rezeki ada yang
halal dan juga ada yang haram. Mari kita lihat sudut pandang para sahabat
terhadap harta atau makanan yang haram:
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال : لأن يجعل أحدكم في فيه ترابا خير من
أن يجعل في فيه حراما
Dari
Abu Hurairah ra, beliau berkata: “Sungguh seseorang kamu menjadikan
(menyuap) tanah ke mulut, itu lebih baik daripada menyuapkan harta haram”. (Lihat kitab
‘Al-Kaba-ir’).
Perkataan sahabat yang mulia ini
boleh dimaknai secara lahiriyyahnya, bahwa daripada memakan makanan haram masih
lebih baik memenuhi mulut dengan bongkahan tanah hitam menjijikkan sekalipun. Karena
penalaran mereka menjangkau jauh ke depan, ke efek yang ditimbulkannya, baik di
dunia ataupun di akhirat. Pikiran brilian mereka tidak sangat mementingkan
kejayaan sesaat di kehidupan ini, tapi dalam alam pikiran mereka terlukis
gambaran-gambaran kehidupan abadi kelak setelah terjadi kebangkitan secara
massal. Karena, di sanalah hakikat kehidupan menunggu setiap manusia.
Boleh juga maksud dari Abu
Hurairah ra diartikan dengan makna kiasannya, bahwa tanah adalah symbol
kematian, seperti ungkapan ‘berkalang tanah’, yang menunjukkan beliau
lebih memilih mati daripada memakan harta haram. Sikap beliau ini sangat
kontras dengan kelakuan umat Islam sekarang ini, ‘lebih baik hidup walau
dengan harta haram’. Mengapa sesama umat Islam bisa berbeda anutan seperti
cahaya dan kegelapan? Karena berbeda ‘kacamata’ yang dikenakan. Abu
Hurairah ra lebih memilih dan menyukai kacamata iman daripada kacamata reben
berwarna hitam ketamakan.
Kacamata favorit Abu Hurairah ra
adalah juga andalan Abu Bakar ra. Hal ini terlukis dari suatu kisah tentang
keutamaan beliau termaktub dalam kitab ‘Al-Kaba-ir’ karya Muhammad bin
‘Utsman Azd-Zdahaby:
Dari Zaid bin
Arqam, beliau bercerita: Abu Bakar memiliki seorang budak yang selalu menyetor
pajak kepada beliau (setelah ada kesepakatan antara keduanya, agar budak
menebus kemerdekaannya dengan sejumlah harta). Dan, setiap hari sibudak datang
membawa setoran pajak, Abu Bakar ra selalu bertanya menyelidiki: “Darimana
kamu bawakan ini semua?” Setelah itu, bila beliau mau, beliau memakannya.
Bila tidak, beliau membiarkannya. Suatu malam, sibudak membawa makanan. Abu
Bakar ra, yang biasanya berpuasa, berbuka puasa dengan sesuap makanan itu. Saat
itu, beliau lupa menanyakan asal makanan tersebut. Baru setelah menelannya,
beliau ingat pertanyaan biasanya: “Darimana kamu bawakan ini semua?”
Sibudak menjawab: “Aku selalu meramal untuk manusia pada masa Jahiliyyah.
Padahal aku bukan seorang ahli ramal, melainkan hanya menipu, dan makanan ini
adalah dari meramal itu”. Abu Bakar ra terkesima dan berujar: “His,
enyah kamu, kamu tipu aku, kamu celakakan aku!” Lalu beliau memasukkan
jari-jarinya ke mulut, hingga beliau muntah-muntah, tetapi makanan itu tidak
juga kunjung keluar. Seseorang berkata: “Tidak
akan keluar kecuali dengan air”. Beliau minta air dan minum
sebanyak-banyaknya, sampai akhirnya beliau memuntahkan seluruh isi perutnya.
Seseorang berkata: “Semoga engkau dirahmati oleh Allah swt, apakah semua ini
hanya gara-gara sesuap makanan itu?” Abu Bakar ra menimpali: “Kalau saja
makanan itu tidak keluar kecuali bersama nyawaku, maka sungguh akan kulakukan
juga, karena aku mendengar Rasulullah saw bersabda:
كل جسد نبت من سحت فالنار أولى به
(“Setiap badan
yang tumbuh berkembang dari yang haram, maka neraka sangat layak baginya”). Dan
aku sangat takut sekali kalau makanan haram ini akan berkembang dalam badanku”.(Lihat kitab ‘Al-Kaba-ir’).
Menyimak ketegasan Abu
Hurairah ra dan menyaksikan perjuangan Abu Bakar ra untuk menghindari makanan
haram, sudah cukup bagi siapapun untuk meluruskan jalan hidup dan menyucikan
pola pikirnya dari kemungkaran berkelanjutan tanpa batas akhir hingga hayat
berakhir. Dan, perjuangan gigih yang mereka perankan juga membuktikan, bahwa
makanan haram yang berasal dari harta haram bukanlah perkara sepele yang boleh
dianggap sepele pula, apalagi bersikap apatis. Bahwa budaya sekarang yang
menganut kebebasan mutlak persis seperti hewan, termasuk dalam hal makanan,
bukanlah original tamaddun Islam, tetapi hasil susupan dari makhluk ‘maghdhubi’
dan ‘dhallin’, seperti penegasan ayat berikut:
يُرِيدُونَ أَنْ يُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبَى
اللَّهُ إِلَّا أَنْ يُتِمَّ نُورَهُ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ
Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut
(ucapan- ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan
cahayaNya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai.
(QS:At-Taubah:32).
Orang-orang
kuffar menela’ah Islam dan menemukan titik kelemahan Islam. Dengan itu, mereka
menyerang dan melemahkan kekuatan ibadah kaum Muslimin. Seperti Iblis, mereka
juga sangat paham, bahwa ‘ma’unah’ Allah swt akan turun kepada Kaum
Muslimin kalau mereka beribadah dengan benar atau makbul disisiNya. Para kuffar
mendapat gelar ‘doctor’ dengan disertasi pengungkapan sisi-sisi kelemahan
Islam. Atau, meraih kehormatan ‘profesor’ untuk tulisan pembeberan poin-poin
kejatuhan penganut Islam. Karena itu, jangan syakwasangka kalau kuffar tidak
tahu, bahwa senjata paling ampuh menjauhkan umat Islam dari syariat Islam
adalah makanan haram. Dengan makanan najis ini, secara otomatis kaum Muslimin
akan menghindari sendiri setiap perangkat berwarna Islam, sehingga, seperti kata
Iblis, biarkanlah mereka tetap saja
beribadah. Toh, ‘ubudiyyah mereka tidak bernilai sebagai ibadah.
Lihatlah,
bagaimana pasar-pasar dibanjiri produk-produk makanan impor, khususnya dari
negeri-negeri kafir, laknatillah. Apakah ini semua hanya bermuatan
ekonomis semata? Ayat di atas membuka hakikat masalah, juga bermuatan agamis.
Dengan makanan haram, tugas keiblisan dan kekafiran menjadi sangat ringan,
karena naluri kaum Muslimin sendiri terpanggil untuk memadamkan cayaha Allah
swt, baik secara personal seperti enggan melakukan shalat dan lain-lain,
ataupun secara kolektif terbatas seperti kesepakatan untuk tidak
mengaplikasikan syariat di bumi syariat.


KESIMPULAN
H
|
arta-harta haram, karena cara memperolehnya bukan dengan salah
satu syariat yang diperbolehkan oleh agama, yang sekarang begitu mudah bahkan
sangat membudaya dalam kehidupan umat manusia mempunyai efek jelek mengajak
manusia menyusuri jalan ke kiri, menjauh dari tuntunan agama dan menempuh jalan
berliku penuh kegelapan yang akan berakhir ke salah satu jurang terjal neraka.
Bukan hanya sekedar bertanggungjawab kepada lembaga Pemberantas Maling
se-Indonesia, tapi juga menyeret manusianya menapaki jalan-jalan angkara-murka,
disamping juga otak tidak mungkin diajak memikirkan hal-hal baik yang sesuai
petunjuk agama.
Ketika sebuah badan susah payah dibawa ke tempat-tempat
ibadah, pengajian misalnya, faktor penyebab yang mendominasinya adalah badan
banyak menelan makanan haram. Sebagai seorang muslim sejati, mengapa
begitu membenci pelaksanaan syariat Islam, sehingga Qanun-Qanun pendukungnyapun
tidak kunjung dirancang dan dilahirkan? Kemungkinan terbesarnya boleh jadi
energi yang terkandung dalam badan orang bersangkutan berasal dari harta-harta
haram. Akibatnya, mustahil dia melakukan perkara-perkara baik yang beraroma
wangi surgawi.
Kejauhan seorang isteri atau anak dari tuntunan agama dan
lebih memilih jalan hidup melakukan kemungkaran kepada Allah swt, barangkali
itu semua berangkat dari karena pasokan makanan mereka dari nafkah yang haram.
Dan, mereka meniti hidup sesuai dengan potensi yang dimilikinya, yaitu mengarah
ke neraka. Dan, itu berarti ‘keharusan’ bagi mereka mengambil segala bentuk
kemaksiatan, agar memuluskan jalan menuju ke sana.
Ingat! Tubuh yang tumbuh dari harta haram lebih baik
memang ke neraka. Na’uzubillahi minha!


DIBALIK KEGHAIBAN
MALAIKAT
الَّذِينَ
يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
“(Yaitu) mereka yang
beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian
rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka”. (QS: Al-Baqarah:3).
Salah satu tonggak keimanan dalam ranah Islam adalah meyakini
hal-hal ghaib, yaitu perkara-perkara yang hanya bergantung atas informasi dari
Allah swt akan keberadaannya. Dan itu, masuk di dalamnya tentang Malaikat dan
hal-ihwalnya, tentang neraka dan surga serta kondisinya, dan lain-lain. Dalam
kalangan manusia, hanya para Rasul saja yang pernah berjumpa dan berdialog dengan
Malaikat, sehingga tidak mungkin bagi selain mereka membuktikan secara ‘hissy’
(indra) akan adanya mereka. Maka, persoalan ini sebulat-bulatnya dikembalikan
dan mengandalkan petunjuk dari Allah swt semata. Allah swt berfirman:
آمَنَ
الرَسولُ بِما أُنزِل إِليهِ مِن رَبِهِ وَالمُؤمِنونَ كُلٌ آَمَنَ بِاللَهِ وَمَلائِكَتِهِ
“Rasul telah beriman
kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula
orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah,
malaikat-malaikat-Nya,”. (QS: Al-Baqarah:285).
Apa, siapa dan bagaimana hakikat mereka, semuanya tergantung
kepada penyifatan Allah swt dan RasulNya tentang mereka. Yang pasti meyakini akan adanya mereka adalah salah satu pilar keimanan
dalam Islam, sehingga mengingkarinya mempunyai implikasi ‘dhalal’,
sebagaimana penegasan Allah swt:
وَمَن يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَمَلَئاِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ
الاخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالا بَعِيدًا
Barangsiapa kufur kepada Allah swt, kepada MalaikatNya, kepada
kitab-kitabNya, kepada Rasul-RasulNya dan kepada Hari Akhir (kiamat), maka
sungguh sangat jelas kesesatannnya (QS;An-Nisak:136).
Vonis kesesatan ini sungguh sangat merugikan
keimanan seseorang, persisnya keluar dari jalur hak yang diusung oleh Islam.
Karena meragukan, apalagi menafikan keberadaan Malaikat, mendorong kepada
meragukan atau menafikan keotentisitas wahyu yang diterima para Rasul. Karena,
diantara mereka ada yang ditugaskan mengantarkan wahyu. Nah, ujung-ujungnya
nanti dapat dipastikan wahyupun menjadi hambar dalam persepsinya.
As-Said Alawy bin Ahmad As-Saqaf dalam kitab ‘Majmu’ah Sab’ah’,
menulis:
“Mengingkari keberadaan Malaikat hukumnya kafir, karena
bertentangan dengan dalil-dalil qath’iyyah dari Al-Quran dan Hadits, disamping karena dapat dimaklumi dengan
mudah dari agama”. (Lihat kitab Majmu’ah Sab’ah’ hal.179).
Membedah masalah Malaikat, kita akan meruang-lingkupinya dalam
empat poin pembahasan, seperti tersebut dalam kitab ‘Majmu’ah Sab’ah’:
- DEFINISI MALAIKAT
S
|
ecara lektikal (lughawy), kata ‘Malaikat’ merupakan bentuk
jamak dari ‘malak’ yang berarti ‘utusan’, sesuai dengan fungsi
mereka sebagai ‘utusan Allah swt’. Sedangkan grametikalnya (isthilahiy),
didefinisikan dengan:
هم
أجسام نورانية لطيفة، قادرة على التمثل بأنواع مختلفة الشكل كاملة في العلم و
القدرة علي الافعال الشاقة (مجموعة سبعة ص 178)
Malaikat adalah sosok berbentuk cahaya halus yang punya kemampuan merubah diri ke segala bentuk yang
berbeda-beda yang sempurna dalam pengetahuan dan
kemampuan berbuat perkara-perkara yang sangat sukar. (Lihat kitab ‘Majmu’ah Sab’ah hal.178).
Definisi di atas disandarkan kepada salah satu Hadits berikut ini:
عن عائِشَةَ رضي
الله عنها قَالَتْ: َقالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: خُلِقَتْ
الْمَلَائِكَةُ مِنْ نُورٍ وَخُلِقَ الْجَانُّ مِنْ َمَارِجٍ مِنْ نَارٍ وَخُلِقَ آدَمُ
مِمَّا وُصِفَ لَكُمْ . صحيح مسلم
Dari
Aisyah ra berkata: bersabda Rasulullah saw: Diciptakan Malaikat dari cahaya,
diciptakan jin dari lidah api, dan diciptakan Adam as dari apa yang telah
disifatkan kepada kamu.
(Sahih Muslim).
Menurut
informasi ini, zat Malaikat diolah oleh Allah swt dari sesuatu yang bernama
cahaya, bagaimana bentuk dan darimana sumber cahaya tersebut hanya Allah swt
yang MahaTahu, karena tidak terbetik berita lebih dari itu semua. Dan, bukan
merupakan suatu kewajiban mencari tahu sedalam-dalamnya tentang hal ini. Karena
tidak mungkin kita mengetahui apabila Allah swt tidak membuka hakikat semua itu
kepada kita. Jadi, cukup saja kita beriman, bahwa para Malaikat tercipta dari
nur, sebagaimana Allah swt telah mengabarkannya melalui RasulNya. Apakah
mungkin sosok yang hanya tercipta dari cahaya bisa memiliki kekuatan super,
itupun diserahkan kepada Allah swt semata.
Memang harus
diakui para ulama berbeda pendapat tentang hakikat Malaikat, sekalipun mereka
menyepakati tentang satu hal: ‘Malaikat punya bentuk’. Silang pendapat ini
didasari atas berbeda-berbedanya ‘shurah’ dari para Rasul yang telah melihat
mereka secara langsung. Misalnya,
Jibril as pernah mengunjungi Nabi saw dalam bentuk ‘Dihyatul Kalby’ (bin
Khalifah, salah seorang sahabat yang terkenal dengan keberaniannya mengantar
surat Rasul saw ke Kaisar Rumawi). Terkadang pula Jibril muncul dalam
penampilan seorang Arab Badui seperti dalam Hadits Umar ra. Ini semua
menandakan keberadaan mereka adalah perkara yang pasti, disamping sangat
meyakinkan mereka punya suatu ‘bentuk’ tertentu, yaitu yang berasal dari
cahaya. Tetapi sosok asli Malaikat Jibril tetaplah ‘misteri’, sekalipun Rasul
saw telah menyaksikannya, seperti ungkapan Hadits berikut:
وَرَوَى أَبُو نعيم فِي دَلَائِل النُّبُوَّة
من حَدِيث سَلمَة بن شبيب ثَنَا أَبُو الْمُغيرَة عَن صَفْوَان بن عَمْرو عَن شُرَيْح
بن عبيد عَن النَّبِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ رَأَيْت جِبْرِيل فِي
خلقته الَّذِي خلق عَلَيْهِ وَكنت أرَاهُ قبل ذَلِك فِي صور مُخْتَلفَة وَأكْثر مَا
كنت أرَاهُ فِي صُورَة دحْيَة الْكَلْبِيّ
Abu Na’im dalam kitab ‘Dala-ilun Nubuyyah’ meriwayat
sebuah hadits Salamah bin Syabib dari Mughirah dari ‘Amru dari Syuraih bin
‘Abid dari Nabi saw bersabda: “Aku telah melihat Jibril dalam bentuk asli
penciptakannya, sebelumnya aku lihat dalam bentuk yang berbeda-beda. Kebanyakan
aku melihat beliau adalah dalam sosok Dihyah Al-Kalby”.
Disini tidak
terungkap keaslian sosok Jibril secara khusus dan para Malaikat secara umum,
walaupun Rasul saw telah ‘menonton’ Jibril secara langsung dua kali, seperti hadits berikut
ini:
عَن عَائِشَة أَن النَّبِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ رَأَى
جِبْرِيل فِي صورته مرَّتَيْنِ رَوَاهُ البُخَارِيّ
Dari Aisyah ra, bahwa Nabi saw telah melihat
Jibril as dalam bentuk aslinya sebanyak dua kali. (HR. Bukhari).
Namun tetap saja bagaimana keaslian para Malaikat tidak juga
terkuak dari beberapa khabar dari Rasul saw. Tetapi, disinilah keimanan akan
Malaikat menjadi lebih ringan, karena tidak seharusnya mengimani sosok asli
mereka. Maka, kewajiban atas mukallaf hanya mengimani
keberadaan mereka saja.
Seperti
halnya persoalan keberadaan mereka, juga wajib diyakini, bahwa para
Malaikat itu tidak memiliki jenis kelamin tertentu sebagaimana layaknya manusia
dan jin, karena tidak ada satupun informasi dari Allah swt dan Rasulnya saw
yang menjelaskan tentang gender mereka, lelaki atau perempuan. Secara
aqly atau naqly mereka tidak mungkin berjenis kelamin tertentu, karena gender lebih mengarah
kepada suatu sarana untuk menambah populasi yang telah ada. Sedangkan,
penambahan jumlah mereka tidak membutuhkan atau melalui kontak fisik antar
mereka. Ini terungkap dari Hadits berikut ini:
وأخرج أبو الشيخ عن أبى سعيد
عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: )إن في الجنة لنهرا ما يدخله جبريل عليه السلام
من دخلة فيخرج فينتفض؛ إلا خلق الله من كل قطرة تقطر منه ملكا
Abu Syaikh mengeluarkan hadits dari Abi Sa’id dari
Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya dalam surga ada sebuah sungai, yang
tidak masuklah Jibril as lalu keluar menitikkan airnya kecuali Allah swt
menciptakan seorang Malaikat dalam setiap tetesnya”. (Lihat
kitab ‘Al-Haba-ik fi Akhbaril Mala-ik’ karangan Syaikh Sayuthi, Maktabah
Syamilah).
Ternyata proses penciptaan Malaikat tidak melalui organ
tubuh selayaknya manusia atau jin, tetapi secara langsung Allah swt
menjadikannya, yang salah satunya lewat tetes-tetes air di tubuh Jibril. Ini
bermakna, jenis kelamin bagi mereka tidak merupakan suatu keharusan, yang salah
satu fungsinya untuk menambah populasi komunitasnya. Tambahan lagi, mereka
bukanlah makhluk yang dibekali dengan nafsu, yang padahal alat kelamin itu salah
satu saluran pelampiasannya.
Mengenai ayat. yang oleh Allah swt mencela pernyataan dan keyakinan musyrikin
bahwa para Malaikat anak perempuanNya, sunhanallah, tidaklah mengandung ‘mafhum
mukhalafah’, bahwa seharusnya mereka anak lelakiNya. Tetapi, oleh para
ulama memahami ayat tersebut dalam konteks penafian keanakan bagi Allah swt,
bukan berarti gender mereka lelaki ataupun perempuan. Maka, hasil dari seluruh
pelacakan para ulama, tidak ditemukan nash satupun tentang kegenderan mereka.
Artinya, tidak seharusnya untuk Malaikat disebut lelaki atau perempuan, karena
mereka tidak memiliki kedua-duanya, tidak secara aqly maupun naqly. Lalu
persoalan selanjutnya, apakah Malaikat diciptakan sekaligus atau secara
berangsur-angsur? Dalam kitab ‘Fatawa Haditsiyyah’ karya Ibnu Hajar
Al-Haitamy, tertulis:
“Apakah
Malaikat diciptakan sekaligus sekali cipta atau berkali-berkali?”
Beliau menjawab:
“Dari
lahiryyah sunnah Rasul saw menunjukkan mereka tidak diciptakan sekaligus. Abdur
Razaq mengeluarkan bersama sanadnya dari Jabir bin Abdullah Al-Anshary ra,
beliau bertanya kepada Rasul saw: ‘Apa perkara pertama diciptakan sebelum
perkara-perkara yang lain’? Rasul saw menjawab: “Ya, Jabir, sesungguhnya
perkara pertama diciptakan sebelum perkara-perkara yang lain adalah Nur Nabimu
saw. Nur itu berputar ke mana yang dinginkan olehNya. Waktu itu, Luh, Qalam,
surga, neraka, Malaikat, langit, matahari, bulan, manusia dan jin, belumlah
ada. Pada saat ingin menciptakan makhluk, Allah swt membagi Nur tersebut
menjadi empat bagian. Dari bagian pertama, diciptakanlah ‘Hamlah’ (penanggung)
‘Arasy. Bagian kedua diciptakan Kursiy. Bagian ketiga dijadikan seluruh
Malaikat. Sedangkan bagian keempat dibagi-bagi menjadi empat bagian lagi.
Bagian pertama dijadikan seluruh lapisan langit. Bagian kedua diciptakan
seluruh lapisan bumi. Pada bagian ketiga dijadikanlah surga dan neraka.
Sementara bagian keempatnya, dibagi-bagi lagi menjadi empat bagian. Bagian
pertamanya dijadikan nur penglihatan mukminin. Bagian keduanya diciptakan nur
hati mereka, yaitu makrifah Allah swt. Bagian keempatnya dijadikan nur
kemanusiaan mereka, yakni ‘tiada tuhan selain Allah swt’ dan ‘Muhammad saw
Rasulullah’. (Hadits). ‘Kalau kita menela’ah hadits ini, maka secara
jelas kita menemukan, bahwa Malaikat ‘Hamlatul ‘Arsy’ lebih dahulu diciptakan
daripada Malaikat yang lainnya’. (‘Fatawa Haditsiyyah’ karya Ibnu Hajar
Al-Haitamy, Maktabah Syamilah).
- BANYAKNYA MALAIKAT
Keghaiban Malaikat semakin lengkap dengan
ketidaktahuan kita tentang jumlah sebenarnya mereka. Ini dipicu oleh karena
begitu banyaknya jumlah mereka. Hal inilah yang dimaksud dalam ayat berikut
ini:
وَما
يَعلَمُ جُنودَ رَبِك إِلاّ هُو
Tidak
ada yang mengetahui tentara-tentara (Malaikat) Tuhanmu kecuali Dia sendiri
(Allah swt).
(QS:Al-Mudatstsir:31).
Karena
jumlah mereka yang tidak terhingga, maka kemampuan otak manusia untuk mengatahuinyapun
semakin tidak mungkin pula. Melimpahnya para Malaikat sehingga Rasulullah saw
hanya mengungkapkan perbandingannya saja:
وأخرج
الدينورى في المجالسة عن عبد الرحمن بن زيد بن أسلم قال: ليس من خلق الله شىء أكثر
من الملائكة ليس من بني آدم أحد إلا ومعه ملكان سائق يسوقه وشاهد يشهد عليه فهذا ضعف
بني آدم ثم بد ذلك السموات والأرض مكبوسات ومن فوق السموات بعد، الذين حول العرش أكثر
مما في السموات.
Ad-Dainury
dalam kitab ‘Al-Majalisah’ mengeluarkan satu Hadits dari Abdurrahman bin Zaid
bin Aslam berkata: “Tidak ada sesuatupun penciptaan Allah swt yang lebih banyak
dari Malaikat, sehingga tidaklah setiap seorang anak Adam kecuali selalu
bersama dua orang Malaikat yang jadi pengawas mengawasi mereka dan jadi saksi
yang menyaksikan mereka. Ini berarti, Malaikat berlipat ganda dari anak-anak
Adam. Kemudian jauh lebih berdesak-desakkan lagi yang di langit dan bumi. Dan,
sangat jauh lagi yang di atas langit. Lalu mereka yang di sekeliling ‘Arasy
sangat banyak sekali dibandingkan mereka yang ada di langit. (Lihat
kitab ‘Al-Haba-ik fi Akhbaril Mala-ik’ karangan Syaikh Sayuthi, Maktabah
Syamilah).
Perbandingan
yang diungkapkan di atas menjadikan Malaikat sebagai makhluk terbanyak, tetapi
belum mengesankan sebagai makhluk ‘super banyak’, tetapi pernyataan
perbandingan berikut ini yang ditulis oleh Imam Fakhruddin Ar-Razy dalam kitab
tafsirnya, ‘Mafatihul Ghaib’, mengirimkan pesan ‘sangat dahsyat’:
وروي أن بني آدم عشر الجن والجن وبنو
آدم عشر حيوانات البروهؤلاء كلهم عشر الطيوروهؤلاء كلهم عشر حيوانات البحروهؤلاء كلهم
عشر ملائكة الأرض الموكلين بهاوكل هؤلاء عشر ملائكة سماء الدنياوكل هؤلاء عشر ملائكة
السماء الثالثةوعلى هذا الترتيب إلى ملائكة السماء السابعة ثم الكل في مقابلة ملائكة
الكرسي نزر قليل ثم كل هؤلاء عشر ملائكة السرادق الواحد من سرادقات العرش التي عددها
ستمائة ألف طول كل سرادق وعرضه وسمكه إذا قوبلت به
السموات والأرضون وما فيها وما بينها فإنها كلها تكون شيئاً يسيراً وقدراً صغيراًوما
من مقدار موضع قدم إلا وفيه ملك ساجد أو راكع أو قائم ، لهم زجل بالتسبيح والتقديس ثم
كل هؤلاء في مقابلة الملائكة الذين يحومون حول العرش كالقطرة في البحر ولا يعلم عددهم
إلا الله )الكتاب
مفاتيح الغيب المؤلف أبو عبد الله محمد
بن عمر بن الحسن بن الحسين التيمي الرازي الملقب بفخر الدين الرازي(
Dan diriwayatkan, bahwa total anak-anak Adam as hanya
sepuluh persen jin. Total jin dan anak-anak Adam as hanya sepuluh persen hewan
darat. Mereka (manusia, jin dan hewan darat) hanya sepuluh persen burung. Semua
mereka yang tersebut sebelumnya hanya sepuluh persen hewan laut. Semua mereka
yang tersebut sebelumnya hanya sepuluh persen Malaikat yang diwakilkan di bumi.
Semua mereka yang tersebut sebelumnya hanya sepuluh persen Malaikat langit
dunia. Semua mereka yang tersebut sebelumnya hanya sepuluh persen Malaikat
langit yang kedua. Dan seterusnya secara berurutan hingga langit yang ketujuh.
Kemudian, semua yang tersebut sebelumnya kalau dibandingkan dengan Malaikat
Kursy sangat sedikit sekali. Lalu, semua yang telah tersebut sebelumnya hanya
sepuluh persen Malaikat ‘saradiq’ (kemah-kemah). Luas (panjang, lintang dan
tinggi) satu kemah Arasy yang berjumlah seluruhnya 600.000 buah adalah, kalau
dibandingkan dengan seluruh lapisan langit dan bumi bersama dengan isi keduanya
dan jarak antara lapisan-lapisannya sesungguhnya semuanya masih sangat sedikit
sekali dan ukuran sangat kecil sekali. Dan, tidak ada tempat seukuran tapak
kakipun kecuali disana ada Malaikat yang bersujud atau beruku’ ataupun berdiri
dengan suara tasbih yang bergemuruh. Kemudian, semua yang tersebut sebelumnya
kalau dibandingkan dengan Malaikat yang berkerumun di sekitar ‘Arasy persis
seperti setetes air dalam samudra. Tidak ada yang tahu jumlah mereka kecuali
hanya Allah swt sendiri. (Lihat kitab tafsir ‘Mafatih Ghaib’ Karangan Imam
Fakhru Razy, Maktabah Syamilah).
Gambaran
tentang betapa banyaknya Malaikat dalam Hadits di atas menimbulkan pertanyaan,
untuk apa mereka sebegitu banyaknya? Rasulullah saw bersabda seolah menjawab
pertanyaan ini:
وأخرج
أبو الشيخ من طريق مجاهد عن ابن عباس عن النبي صلى الله عليه وسلم قال ليس من خلق الله أكثر من الملائكة، ما من شىء ينبت إلا وملك موكل به ) الكتاب : الحبائك في أخبار الملائك(
“Abu Syaikh meriwayatkan dari ‘Thariq’ (jalur) Mujahid dari Ibnu
Abbas ra dari Nabi saw, bersabda: “Tidak ada penciptaan Allah swt sebanyak para
Malaikat. Tidak ada setiap sesuatu yang tumbuh kecuali ada seorang Malaikat
yang mengurusnya”. (Kitab Al-Haba-ik fi Akhbaril Malai-ik, Syaikh Sayuthi, Maktabah
Syamilah).
Ternyata mereka ditugaskan menjaga dan
memelihara seluruh tumbuhan di dunia ini. Berapa banyak tetumbuhan di muka bumi
ini? Wallahu A’lam. Artinya, kalau tetumbuhan saja tidak mungkin
terhitung, apalagi jumlah Malaikat yang bukan hanya bertugas pada tetumbuhan
saja. Maka, berikut akan kita bahas sekilas tentang tugas-tugas mereka serta
ketokohan di antara mereka.
c. PARA TOKOH
MALAIKAT DAN TUGASNYA
Sebagai komunitas yang sangat besar, tentu Allah swt
menjadikan Malaikat di bawah kepemimpinan beberapa tokohnya sendiri sebagai
coordinator dan pengatur kegiatan di seluruh planet dalam ruang-lingkup ‘Arasy
ini. Dalam hal ini, Nabi saw bersabda:
أخرج
ابن أبى شيبة وابن أبى حاتم، وأبو الشيخ في العظمة، والبيهقى في الشعب، عن ابن سابط
قال: يدبر أمر الدنيا أربعة: جبريل، وميكائيل، وملك الموت، وإسرافيل، فأما جبريل: فموكل
بالرياح، والجنود، وأما ميكائيل: فموكل بالقطر، والنبات، وأما ملك الموت: فموكل بقبض
الأرواح، وأما إسرافيل: فهو ينزل بالأمر عليهم.
Ibnu
Abu Syaibah, Ibnu Abi Hatim dan Abu Syaikh meriwayat dalam ‘Al-‘Adlmah’,
Baihaqy dalam ‘Asy-Sya’b’ dari Ibnu Sabith berkata: “Seluruh urusan dunia
diatur oleh empat Malaikat: Jibril as, Mikail as, Malakul Maut as dan Israfil
as. Jibril as diwakilkan mengurus angin dan tentara. Mikail as mengurus hujan
dan tumbuh-tumbuhan. Malakul Maut as mengurus pencabutan nyawa. Dan Israfil as
menempati urusan atas mereka (tiup sangka kala).
Dalam
Hadits ini hanya empat Malaikat yang disebut sebagai pengurus aktivitas yang
akan terjadi di muka bumi ini. Aktivitas ini hanya terkonsentrasi kepada
beberapa perkara saja. Namun Hadits lain menyebutkan:
وأخرج
أبو الشيخ عن ابن سابط قال: في أم الكتاب كل شىء هو كائن إلى يوم القيامة، ووكل ثلاثة
من الملائكة أن يحفظوه، فوكل جبريل بالكتاب أن ينزل به إلى الرسل، ووكل جبريل أيضا
بالهلكات إذا أراد الله أن يهلك قوما، ووكله بالنصر عند القتال، ووكل ميكائيل بالحفظ
والقطر ونبات الأرض، ووكل ملك الموت بقبض الأنفس، فإذا ذهبت الدنيا جمع من حفظهم وقابل
أم الكتاب فيجدونه سواء. رواه ابن أبى شيبة.
Abu
Syaikh mengeluarkan Hadits dari Ibnu Sabith, berkata: “Dalam Ummul Kitab (Luh
Mahfudl) tercantum seluruh perkara sampai hari kiamat, dan diserahkan
kepengurusan menjalankannya kepada tiga Malaikat, Jibril as mengurus pengiriman
kitab (wahyu) kepada para Rasul saw dan mengkoordinir pemusnahan apabila Allah
swt ingin memusnahkan suatu kaum, disamping memberi pertolongan kepada muslimin
dalam peperangan dengan kuffar. Mikail as bertugas dalam bidang pemeliharaan,
hujan dan tumbuh-tumbuhan. Sedangkan Malakul Maut as mengelola bagian
pencabutan nyawa. Ketika dunia ini hilang (kiamat), mereka bertiga berkumpul
dan menghadap Ummul Kitab, maka mereka dapati semuanya sama (sesuai). (HR. Ibnu Abi Syaibah).
Dari
Hadits-Hadits di atas tersimpullah, hanya empat Malaikat yang mengurusi segala
sesuatunya dengan tugas masing-masing.
1. Jibriel as
dan Tugasnya.
Nama
ini berasal dari bahasa Ibrani yang berarti secara harfiyyah ‘Hamba Allah saw’
(karena ‘jib’ bermakna ‘hamba’ dan ‘iel’ berarti ‘Allah swt). Hal ini tersebut
dalam Hadits berikut ini:
أخرج
ابن جرير، وأبو الشيخ عن علي بن حسين قال: اسم جبريل عبد الله، واسم ميكائيل عبيد الله،
وإسرافيل عبد الرحمن، وكل شىء رجع إلى " إيل " فهو معبد لله عز وجل.
Ibnu
Jarir dan Abu Syaikh meriwayat dari ‘Ali bin Husain ra, berkata: “Nama Jibriel
as adalah ‘Abdullah’ (hamba Allah swt). Mikail as juga bernama ‘Hamba Allah
swt’. Israfil as disebut ‘Abdurrahman’. Setiap sesuatu yang kembali
(disandarkan) kepada “iel’ itu bermakna ‘Hamba Allah ‘azza wa jalla’. (Kitab Al-Haba-ik fi Akhbaril Malai-ik, Syaikh Sayuthi,
Maktabah Syamilah).
Beragam
bentuk telah disaksikan oleh Rasul saw tentang Malaikat, dari bentuk asli
sampai kepada sosoknya yang dalam keadaan menyamar. Rasul saw bersabda:
وأخرج
عن ابن مسعود قال: رأى جبريل في صورته له ستمائة جناح
Diriwayat dari Ibnu Mas’ud ra, beliau berkata: “Jibriel terlihat
dalam bentuk aslinya, yang memiliki 600 sayap”. (Kitab Al-Haba-ik
fi Akhbaril Malai-ik, Syaikh Sayuthi, Maktabah Syamilah).
Pernah
suatu kali Rasul saw meminta untuk melihat sosok asli Jibriel as. Rasul saw
berkata:
وأخرج
أبو الشيخ عن عائشة رضي الله عنها قالت: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: )وددت لو
رأيتك في صورتك قال: وتحب ذلك؟ قال: نعم. قال: موعدك كذا وكذا من الليل بقيع الغرقد،
فلقيه موعده، فنشر جناحا من أجنحته فسد أفق السماء حتى ما يرى من السماء شىء
Abu
Syaikh meriwayat dari ‘Aisyah ra berkata: bersabda Rasul saw: “Aku punya
keinginan melihat engkau dalam sosok asli”. Jibriel berkata: “Kamu inginkan
itu”? Jawab Rasul saw: “Ya”. Jibriel as berkata: “Tempat perjanjian kita malam
segini dan segini di pekuburan ‘Baqi’ Al-Gharqad’ (nama suatu tempat di
Madinah). Lalu Rasul saw menemuinya pada tempat tersebut. Disana, Jibriel as
mengepak salah satu sayapnya. Akibatnya, tertutuplah seluruh ufuk langit,
sampai-sampai tidak terlihat apapun di langit”. (Kitab
Al-Haba-ik fi Akhbaril Malai-ik, Syaikh Sayuthi, Maktabah Syamilah).
Kadang-kadang
beliau nampak dalam wujud penyamarannya seperti tersebut dalam Hadits di atas,
dalam sosok Dihyah atau Badui. Beliau adalah Malaikat yang paling utama di
antara mereka. Ini tercantum dalam hadits berikut:
وأخرج
أبو الشيخ عن أبى موسى بن أبى عائشة قال: بلغني أن جبريل إمام أهل السماء
Abu Syaikh mengeluarkan dari Abu Musa bin Abu ‘Aisyah, berkata: ”Telah sampai
berita kepadaku, sesungguhnya Jibriel as adalah imam (pemimpin) penduduk langit”.
(Kitab Al-Haba-ik fi Akhbaril Malai-ik, Syaikh Sayuthi, Maktabah Syamilah).
Dalam kitab yang sama, termaktub Hadits
lain yang hampir senada:
وأخرج
الطبرانى عن ابن عباس قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: )ألا أخبركم بأفضل الملائكة؟
جبريل
Tabrany meriwayat dari Ibnu Abbas ra, berkata: bersabda Rasuullah
saw: “Bolehkah aku mengabarkan kepada kalian tentang siapa Malaikat yang
paling utama? Ialah Jibriel”. (Idem).
Keutamaannya adalah mengeoordinir
seluruh penduduk langit (Malaikat), disamping karena bergelar ‘muqarrabin’
(sangat dekat dengan Allah swt), sehingga beliau disebut dalam kalangan
Malaikat dengan “Khadim Rabb”:
وأخرج
ابن أبى حاتم، وأبو الشيخ عن عبد العزيز بن عمير قال: اسم جبريل في الملائكة خادم ربه
عز وجل
Ibnu Abi Hatim dan Abu Syaikh meriwayat dari Abdul ‘Aziz bin Umar,
berkata: “Nama Jibriel as dalam kalangan para Malaikat adalah ‘Khadim (pelayan)
Tuhannya ‘azza wa jalla”. (idem).
Adapun tugas Jibriel as, seperti terpahami dari beberapa hadits di
atas adalah menyampaikan wahyu dan menghukum kaum-kaum yang diperintahkan untuk
dihancurkan sebagaimana pada kisah penghancuran Kaum Nabi Luth as dengan
dijungkir-balikkan permukaan tanah ke bawahnya. Juga mengirim pasukan Malaikat
untuk membantu pasukan Muslimin yang sedang memerangi pasukan kafir.
2.
Mikail as dan Tugasnya.
Mikail as juga disebut ‘Malakul Qathr’ (Malaikat hujan),
karena tugasnya meluruhkan hujan untuk kebaikan alam semesta, disamping juga
memelihara tumbuh-tumbuhan. Rasulullah saw menuturkan tentang Malaikat ini:
وأخرج
الطبرانى عن أبى الطفيل قال: استأذن ملك القطر بأن يسلم على النبي صلى الله عليه وسلم
في بيت أم سلمة فقال: لا يدخل علينا أحد، فجاء الحسين فدخل فقالت أم سلمة: هو الحسين
فقال: دعيه، فجعل يعلو رقبة رسول الله ويعبث به، والملك ينظر فقال الملك: أتحبه يا
محمد؟ قال: أي والله إني لأحبه قال: أما إن أمتك ستقتله، وإن شئت أرأيتك المكان فقال
بيده، فتناول كفا من تراب، فأخذت أم سلمة التراب فصرته في خمارها، فكانوا يرون أن ذلك
التراب من كربلاء.
Thabrany meriwayat
dari Abu Tufail, berkata: Malakul Qathr minta izin memberi salam kepada Nabi
saw dalam rumah Ummu Salamah. Rasul saw bersabda: “Jangan biarkan masuk
seorangpun kepada kami”. Lalu, datanglah Husen ra. Ummu Salamah ra memberi
tahukan: “Husen ra datang”. Rasul saw bersabda: “Biarkan dia masuk”. Beliau
(Husen ra) menggantung di leher Rasul saw dan bersenda gurau. Sedangkan Mikail
as menyaksikan saja. “Engkau mencintainya, ya, Muhammad?” “Ya, demi Allah swt,
aku sungguh mencintainya”, jawab Rasul saw. “Tapi, umatmu akan membunuhnya.
Kalau engkau ingin aku bisa memperlihatkan tempat pembunuhannya. Lalu Nabi saw
berkata: ‘Mikail as meraih segenggam tanah dengan tangannya’. Tanah itu
kemudian diambil Ummu Salamah ra dan disimpan dalam kerudungnya. Semua orang
melihat bahwa tanah itu berasal dari Daerah Karbala (Irak). (idem).
وأخرج
ابن جرير عن سعيد بن جبير قال: لما ألقى إبراهيم خليل الرحمن في النار قال الملك خازن
المطر: أي رب خليلك إبراهيم. رجى أن يؤذن له فيرسل المطر فكان أمر الله عز وجل أسرع
من ذلك.
Ibnu Jarir meriwayat
dari Sa’id bin Jabir, berkata: “Tatkala Nabi Ibrahim Khalil Ar-Rahman as
dicampakkan dalam api, berkata Malaikat Pengurus Hujan: “Wahai, Tuhanku,
kekasih Engkau, Ibrahim as, mengharapkan izin untuknya”. Maka, hendak dikirim
hujan, tetapi urusan Allah swt lebih cepat dari itu. (idem).
Sedangkan tugas Malaikat Mikail as,
seperti banyak tersebut dalam Hadits sebelumnya, adalah berkaitan dengan hujan
dan tumbuh-tumbuhan.
3.
Malakul Maut as dan Tugasnya.
Nama lain beliau adalah ‘Izrail as.
Mengenai Malaikat ini Rasul saw bersabda:
وأخرج
الديلمي عن زيد بن ثابت قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: )لو رأيتم الأجل ومسيره
لأبغضتم الأمل وغروره. وما من أهل بيت إلا وملك الموت يتعاهدهم في كل يوم مرتين، فمن
وجده قد انقضى أجله قبض روحه، فإذا بكى أهله وجزعوا قال: لم تبكون؟ ولم تجزعون؟ فوالله
ما نقصت لكم عمرا، ولا حبست لكم رزقا، مالي ذنب وإن لي فيكم لعودة، ثم عودة، ثم عودة،
حتى لا أبقى منكم أحدا
Ad-Dailamy meriwayat
dari Zaid bin Tsabit berkata: bersabda Rasulullah saw: “Kalau kalian meyakini
ajal dan datangnya, maka sungguh kalian membenci cita-cita dan tipuannya.
Karena, tidaklah setiap penghuni rumah kecuali disantroni Malakul Maut setiap
hari dua kali. Bila beliau menemukan orang yang sudah tiba ajalnya, maka
dicabutlah nyawanya. Kalau keluarganya menangis dan gundah, beliau berkata:
“Mengapa kalian menangis dan bersedih? Demi Allah swt, aku tidak mengurangi
umur dan tidak menahan rezeki kalian. Tidaklah aku berbuat dosa. Sesungguhnya
aku akan kembali untuk kalian, dan akan kembali dan kembali, sehingga tidak aku
sisakan seorangpun”. (idem).
4.
Israfil as dan Tugasnya
Beliau juga dikenal dengan nama ‘Shahibul Shur’ (peniup
sangkakala). Tugas ini, sekalipun baru dilaksanakan menjelang kiamat, namun
beliau telah siap-siaga semenjak selesai diciptakan. Ini diambil sabda berikut:
وأخرج
الحاكم وصححه، وأبو الشيخ، وأبو مردويه عن أبى هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه
وسلم: )إن طرف صاحب الصور مذ وكل به مستعد ينظر حول العرش مخافة أن يؤمر بالصيحة قبل
أن يرتد إليه طرفه كأن عينيه كوكبان دريان(.
Hakim meriwayat dan menguatkannya, Abu Syaikh dan Abu Mardawaih
dari Abu Hurairah ra berkata: bersabda Rasulullah saw: “Sesungguhnya
penglihatan Shahibul Shur sejak diserahkan tugas telah bersiap-siap dan selalu
memandang sekaliling ‘Arasy, karena khawatir mendapat perintah meniup sebelum
matanya berkedip, dua matanya laksana bintang permata berkilau”. (idem).
- KEMA’SHUMAN MALAIKAT
Berkaitan dengan iman kepada Malaikat, wajib pula
diyakini, bahwa mereka adalah makhluk yang terjaga tingkah-lakunya, suci dan
selalu hanya taat kepada Allah swt. Allah swt berfirman:
يخافون رَبَّهُمْ مّن فَوْقِهِمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
“Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di
atas mereka dan melaksanakan apa yang diperintahkan kepada mereka”. (QS:
An-Nahl:50).
Mereka adalah
hamba-hamba yang tidak mengerjakan selain apa yang diperintahkan Allah swt
kepada mereka. Tidak pernah sekalipun mereka merasa ‘besar’ di atas penciptanya
sendiri. Ayat dalam surah al-Anbya menggambarkan ini:
لاَ
يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِهِ وَلاَ يَسْتَحْسِرُونَ
“Dan
malaikat-malaikat yang di sisi-Nya, mereka tiada mempunyai rasa angkuh untuk
menyembah-Nya dan tiada (pula) merasa letih”. (QS: Al-Anbiya:19).
Termaktub dalam kitab ‘Mafatih Ghaib’ karya Imam
Fakhrurrazy:
‘Keempat poin di atas adalah suatu
keniscayaan menyangkut iman kepada Malaikat, dan suatu logika yang telah
menyelam di dalamnya maka keimanannya akan Malaikat menjadi sangat sempurna dan
sulit tergoyahkan’. Wallahu a’lam.

W
|
allahu a’lam bish-shawab!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar