PARA TAMU YANG MULIA, SELAMAT BERKUNJUNG اهلا و سهلا مرحبا بكم جميعا

DISINI, KITA (MUSLIMIN SEJATI) BERBAGI INFORMASI ISLAMI UNTUK KEJAYAAN ISLAM SEJATI



DI TEPI PANTAI ATLANTIK

Selasa, 10 Januari 2012

sifat-sifat Rasul dan Efek Makanan Haram



DAFTAR ISI
Daftar isi…………………………………………………………1
Muqaddimah…………………………………………………….3

MEYAKINI SIFAT-SIFAT RASUL
………………………….………………………………………..5
Pengertian Shidiq………………………………………………..7
Pengertian Amanah…………………………………………….10
Pengertian Tabligh……………………………………………...13
Pengertian Fathanah……………………………………………16

PENGERTIAN JAIZ
………………………………………………………………….18
Ta’dlimul ujur…………………………………………………..21
Tasyri’…………………………………………………………..22
Tasally ‘anid Dunya……………………………………………23
Tanbih li Khissatiha…………………………………………….24
Kesimpulan……………………………………………………..26

PENGARUH MAKANAN HARAM
………………………………………………………………….28
Haram li Zatih………………………………………………….30
Haram li Ghairih……………………………………………….32
Beberapa Makanan Haram…………………………………….38
Tertolaknya Amal Ibadah………………………………………39
Tertolaknya Sedekah…………………………………………...46
Jahatnya Pola Pikir…………………………………………….48
Kaburnya Bisikan Hati…………………………………………51
Tertolaknya Doa………………………………………………..54
Terjaminnya Tempat Dalam Neraka…………………………...57
Kesimpulan……………………………………………………..64

                   DIBALIK KEGHAIBAN MALAIKAT                 
………………………………………………………………….67
Definisi Malaikat……………………………………………….68
Banyaknya Malaikat……………………………………………72
Para Tokoh Malaikat dan Tugasnya……………………………75
Jibriel Dan Tugasnya…………………………………………...76
Mikail as Dan Tugasnya………………………………………..78
Malakul Maut as Dan Tugasnya……………………………….79
Israfil as Dan Tugasnya………………………………………..80
Kema’shuman Malaikat………………………………………..80




الحمد لله مجيب الداعين ومثيب الساعين ومعطي الطالبين ومرضي الراغبين ومنجد الهالكين ومرشد السالكين صلى الله عليه وعلى آله وصحبة صلاة وسلاما دائمين إلى يوم الجزاء  
MUQADDIMAH
L
embaran warkah di tangan Anda sekarang ini adalah sebuah usaha penyebaran ilmu-ilmu Islam ke tengah-tengah jantung komunitas Islam sendiri. Sedianya, tulisan ini untuk memenuhi permintaan Redaktur Buletin An-Nidak, wadah dakwah Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Utara, tempat penulis juga bernaung di bawahnya. Kemudian penulis merasa perlu menjilidkannya, disamping ada segelintir permintaan dari jama’ah pengajian, yang penulis terlibat di dalamnya, juga untuk membuat dakwah Islam semakin menyentuh kalangan terpelajar yang terus ‘dinina-bobokan’ oleh aktivitas sekulernya, jauh dari ‘himmah’ (hasrat) hakikat kehidupan yang akan dijumpai setelah bayang-bayang kehidupan ini.
Di dalam warkah kecil ini, penulis menyimpan tiga untaian artikel: duanya bernuansa ketauhidan bertajuk ‘Dibalik Keghaiban Malaikat’ dan ‘Meyakini Sifat-Sifat Rasul’ . Dan satunya lagi berwarna kental akhlak kehidupan (Tashawwuf) kaum Muslimin berjudul ‘Efek Jelek Makanan Haram’. Kedua-duanya, seperti telah penulis sindir di atas, merupakan artikel untuk MPU.
Tiga artikel ini, penulis persembahkan kepada sidang pembaca untuk ‘menikmatinya’, agar dengannya kita semua (penulis dan para pembaca) bisa ‘menikmati’ nikmat yang paling agung kelak di ‘yaumil mahsyar’, di mana hanya itulah satu-satunya nikmat yang tersedia. Dan, penulis juga menginginkan tulisan ini dikritik, baik gaya penulisan atau isi kandungannya, agar dapat disempurnakan di lain waktu. Kekurangan adalah hal yang sudah pasti ada, mengingat penulis bukan orang yang sudah ‘berkarat’ dalam wilayah ini, apalagi mau dikatakan sangat ahli sekali. Karena, secara personal dan internal, penulis berada dalam habitat yang sangat jauh dari dunia kepenulisan, yaitu di bawah birunya langit kedayahan dan di atas hijaunya rerumputan kain sarung ‘aneuk meudagang’ serta beruang-lingkup hanya cagar alam yang nyaris punah dari peredaran ‘Nangroe Aceh’, sekalipun dialah yang  membuat Aceh lahir dan terus bertahan sampai hari ini di ‘tanoh indatu’.          
Dengan latar belakang ‘segelap’ ini, mustahil bisa diharapkan akan berdaya menelurkan sebuah kesempurnaan. Tetapi, sesungguhnya penulis memang tidak bermaksud ke sana, karena itu wilayahnya uluhiyyah, hanya mencoba berdakwah melalui tetesan tinta semata, kalau-kalau ada manfaatnya, khususnya untuk kehidupan selanjutnya.
Maka, kekurangan adalah hal wajar sekali. Dan, sangat wajar pula untuk terus berupaya menimpalinya dengan perbaikan-perbaikan yang kontinyu, dari siapapun dan darimanapun, agar tidak terklasifikasi dalam lumpur kesengajaan yang berujung ke salah satu ngarai neraka.
Amin.
Silahkan membaca.


                                                  Darul Huda, 8 Juli 2011
                                                               Penulis
                                                     




MEYAKINI SIFAT-SIFAT RASUL
S
alah satu pilar utama keimanan dalam Islam adalah meyakini adanya sifat wajib, mustahil dan jaiz pada diri seorang Rasul. Dalam ranah i’tiqady, hukum ‘wajib’, ‘mustahil’ dan ‘jaiz’ (harus) mempunyai pengertian tersendiri yang lain dari lain. Karena ketiga hukum di atas adalah lebih bersifat untuk meyakinkan para mukallaf, maka yang bisa mendesak agar para mukallaf tidak bisa menghindari dari meyakini tentang yang wajib, mustahil dan harus pada Rasul adalah ‘akal’ mereka sendiri. Sementara ‘akal’ menghukum hanya dalam dua kata: ‘boleh’ atau ‘tidak’ (boleh). ‘Boleh’ (ada atau tidak) disebut ‘jaiz’ (harus). Sedangkan ‘tidak’ (boleh tidak ada) dinamakan dengan ‘wajib’. Dan, ‘tidak’ (boleh ada) diistilahkan dengan ‘mustahil’. Tidak ada hukum keempat yang dapat diproduksi oleh akal manusia, karena itu berarti keluar dari rumus: ‘boleh atau tidak’. Sedangkan akal hanya berkisar antara keduanya.
Rasul dalam kontek  keimanan, didefinisikan dengan:
هو انسان ذكر حر بعثه الله تعالي للخلق ليبلغهم ما اوحي اليه
Artinya: Rasul adalah seorang laki-laki merdeka yang diutus oleh Allah swt kepada makhluk untuk menyampaikan wahyuNya kepada mereka.
Rasul sebagai manusia pilihan Allah swt sudah barang tentu memiliki kelayakan untuk menempati posisi sangat terhormat tersebut. Dan, yang mengirimkannyapun tidak akan sembarang memilih dan main comot tanpa perhitungan, agar tujuan dia diutus bisa mencapai sasaran yang diharapkan. Suatu keharusan bagi sipengutus menetapkan criteria tertentu yang membuat pilihannya benar-benar tepat. Semua criteria yang dimaksud telah tercakup dalam definisi di atas. Pertama, persyaratan seorang rasul adalah berjenis manusia (orang), yang dengan ini maka tidak pernah Allah swt mengirim utusanNya dari golongan Jin atau Malaikat untuk menyampaikan wahyuNya kepada makhluk. Dan, kekhususan ini merupakan suatu kehormatan dan kemuliaan bagi golongan manusia.
Kedua, seorang laki-laki. Jenis makhluk yang satu ini mendapat kepercayaan dari Allah swt untuk mengemban ‘risalah’, karena, baik fisik maupun mental, mempunyai keunggulan dibandingkan dengan jenis-jenis yang lain. Karena, seperti dimaklumi, tugas seorang Rasul begitu berat sekali dan mendapat tantangan paling dahsyat dan teror dari manusia-manusia bejat pada zamannya. Menghadapi semua ini sangat dibutuhkan mental baja dan ketahanan fisik yang prima, yang umumnya hanya di dapat pada diri seorang laki-laki sejati.
Ketiga, merdeka dari perbudakan. Seorang budak, disamping membelenggu kebebasan menjalankan tugas-tugas kerasulan karena lebih terikat secara horizontal kepada yang memperbudakkannya daripada terikat kepada Allah swt secara vertical, juga perbudakan merupakan kasta manusia yang paling rendah yang tidak layak ada pada seorang duta Allah swt, sebagaimana yang akan kita bentangkan lebih luas lagi pada pembahasan sifat jaiz pada Rasul ke depan nantinya, insyaallah.
Keempat, menyampaikan wahyu kepada makhluk. Poin ini secara lahiriyyah bukanlah suatu keharusan secara mutlak mesti terpenuhi, tetapi lebih kepada untuk membedakan antara Rasul dan Nabi. Karena Nabi memang tidak diperintahkan meneruskan wahyu kepada makhluk, seperti juga Rasul tidak selamanya setiap wahyu wajib didistribusikan kepada makhluk. Tetapi secara tersirat kalimat: ‘menyampaikan wahyu kepada makhluk’ mengharuskan beberapa sifat lain yang menjadi landasan tercapainya maksud tersebut. Yaitu, seorang Rasul Allah swt wajib diyakini punya sifat Shidiq (benar), Amanah (dapat dipercaya), Tabligh (menyampaikan) dan Fathanah (kecerdasan).





PENGERTIAN SHIDIQ

الصدق هو مطابقة الخبر للواقع
A
rtinya: Benar adalah kesesuaian berita dengan hakikat kejadiannya.
Bersikap benar dalam hal ini lebih dititikberatkan kepada pengakuannya sebagai utusan dari sang Pemilik alam raya ini dan penisbatan perkataannya sebagai wahyu Tuhan. Karena konteknya lebih mengarah kepada dua hal tersebut itu. Ketika dia mengatakan, bahwa saya ini utusan dari ‘rabbul ‘alamin, itu memang benar-benar berasal dari suatu kenyataan yang sesungguhnya, yaitu informasi dari Allah swt. Demikian juga saat dia menyifatkan kalamnya adalah wahyu, itu pula memang berangkat dari kalam kiriman yang Maha Kuasa. Keakuratan berita yang disampaikannya dengan kenyataan sebenarnya merupakan suatu kewajiban bagi seorang Rasul dan kewajiban meyakini adanya kebenaran tersebut bagi kita selaku umatnya. Artinya, kewajiban di pihak Rasul dengan makna ‘tidak ada satu logika sehatpun yang sanggup menafikan akan adanya sikap kebenaran pada diri seorang Rasul’ dan kewajiban di pihak kita dengan pengertian  ‘berdosa kita kalau tidak mengakui dan meyakini kebenaran sang Rasulullah saw’. Ini adalah salah satu dari konsekwensi masuknya kita dalam Islam.
Konsekwensi ini, yaitu wajib meyakini kebenaran Rasul, bukan karena Islam memaksakan kehendaknya kepada kita sebagai umatnya, tetapi karena didukung dan didesak oleh akal sehat kita sendiri. Dimana kalau kita berpikir dari sudut pandangan Zat Yang Mengutus, kita akan menemukan hakikat kebenaran, bahwa tidak mungkin seseorang dalam kapasitasnya sebagai pengirim seorang utusan mengirim sembarang orang untuk mewakilinya dalam suatu acara tertentu, apalagi orangnya sangat jauh dari sikap objektif dalam penyampaian wahyu Tuhan. Kepastian Tuhan memilih seseorang Rasul yang jiwanya ‘bermalkah’ dengan kebenaran adalah persoalan yang tidak perlu diragukan sedikitpun dan sangat-sangat mustahil terjadi kebalikannya. Dimana saja di setiap jengkal sudut bumi ini, tidak akan ditemukan seseorangpun yang berlogika rusak seperti berikut ini: ‘ingin mewakilkan untuk menangani suatu programnya kepada orang yang sangat berpotensi tidak akan menyukseskannya’.
Disamping dengan logika di atas, Rasul juga membawa sesuatu yang sangat istimewa untuk menopang kebenaran pengakuan kerasulannya, yaitu mukjizat. Mukjizat yang secara harfiyyah berarti ‘melemahkan’ pihak-pihak lain, yang secara istilah bermakna:
       امر خارق للعادة مقرون بالتحدي مع عدم المعارضة
Artinya: ‘Muncul suatu perkara yang merobek (menyalahi) adat-istiadat pada saat menyatakan dirinya sebagai Rasul dan tidak ada yang sanggup melawannya’.
Sebagai bagian dari komunitas manusia, seorang Rasul mustahil memiliki kemampuan yang tidak dimiliki oleh manusia lainnya kecuali karena ada kekuatan Yang Maha Kuasa meng’support’ di belakangnya. Kekuatan luar biasa ini diberikan Allah swt kepadanya untuk membenarkan pengakuan sang Rasul, bahwa dia benar-benar utusan Allah swt. Seandainya dalam perbendaharaan ilmuNya terdeteksi kebohongan pengakuan kerasulan dari seseorang, lalu dikirim pembenaran dengan suatu mukjizat, itu juga adalah kebohongan yang nyata. Karena membenarkan kebohongan adalah kebohongan. Menuduh Allah swt berbohong itu merupakan kemusyrikan. Karena , disamping Allah swt tidak mendapat keuntungan dari kebohongannya, juga berarti menyifatkanNya dengan sifat kekurangan. Padahal pada zat yang telah ‘tsabit’ ketuhanan dengan ‘haqqul yaqin’ mustahil diiringi dengan kekurangan-kekurangan.
Sebuah mukjizat yang diturunkan Allah swt kepada seorang Rasul, apalagi mukjizat bersifat abadi sepanjang masa semisal kitab suci Al-Quran, menempati posisi sebagai firmanNya yang berikut ini:
صدق عبدي في كل ما يبلغ عني
Artinya: ‘Benarlah hambaKu tentang seluruh apa yang disampaikannya dariKu’.
Karena mukjizat yang datang seolah memberi sebuah pernyataan dan pengakuan, bahwa orang ini benar sebagai Rasul. Karena, yang disebut dengan nama mukjizat, ia mesti berasal dari Yang Maha Perkasa. Mustahil seorang insan secara pribadi punya kesanggupan membangun sebuah peristiwa dahsyat sebesar mukjizat, apalagi ditambah dengan ketidakberdayaan manusia di hadapan mukjizat. Semuanya ini menyampaikan suatu pesan dalam batin kita, sesungguhnya para Rasul adalah benar dalam setiap penyampaian mereka. Disinilah letak perbedaannya dengan sihir, dimana sihir walau mempunyai sifat mencabik-cabik tradsi manusia, tetapi ada kekuatan super power lain yang bisa menunduk dan mengalahkannya.
Pernah Musailamah Al-Kadzdzab mencoba mencari keberuntungan lewat pengakuan dan memproklamir mengangkat dirinya sebagai Rasul pada saat dan sesudah wafat Rasulullah saw. Tetapi, akhirnya, ‘mimpinya’ itu mentah dan jadi bahan olokan saja oleh setiap orang pada zamannya. Itu dikarenakan ikrar kerasulannya tidak ditopang oleh suatu peristiwa luar biasa yang berasal dari sang Maha Pencipta. Pada suatu saat dia juga pernah berusaha menipu orang-orang awam pengikutnya dengan ‘merakit’ apa yang disebutnya sebagai firman yang mirip dan untuk menandingi Surah Al-Kautsar yang belum lama diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Inipun bernasib sama seperti pengakuan kerasulannya, hambar dan hilang ditelan tertawa olok-olokan khas padang pasir. Hal ini semakin menguatkan dan meyakinkan, bahwa Al-Quran dalam kapasitasnya sebagai mukjizat untuk membenarkan Muhammad, memang tidak bisa ditandingi oleh siapapun, karena dia bukan produk manusia, tetapi firman Allah swt yang datang sebagai bukti bisu kerasulan Muhammad swt.   


PENGERTIAN AMANAH

S
ecara literal ‘amanah’ berarti ‘dapat dipercaya’. Dalam kontek sifat Rasul, amanah bermakna ‘menjaga dirinya dari terjerembab dalam lembah hitam  perbuatan makruh dan haram, baik yang berakibat kepada dosa besar ataupun kecil’. Sebaliknya, mustahil seorang Rasul mengkhianati Allah swt dengan berkecimpung dalam dosa-dosa dan pekerjaan makruh. Logikanya, Allah swt menyuruh kita mengikuti jejak-jejak para Rasul dalam seluruh sisi kehidupan mereka, berbentuk qauliy atau bukan. Kalau mereka menjalani kehidupan jauh dari tuntunan Allah swt, secara otomatis kitapun mengekor persis di belakang mereka sebagai konsekwensi dari perintah Allah swt pula. Saat itu terjadi, maka seluruh hakikat jadi amburadul, haram dan makruh menjadi wajib dan wajib serta sunat bertukar menjadi haram. Peristiwa pembelokan hakikat seperti ini mustahil tidak diketahui oleh Allah swt sebagai pemilik hakikat itu sendiri. Ketika akibat dari suatu peristiwa sudah terhukum mustahil, maka peristiwa itupun menjadi tidak logis pula. Dan, akhirnya, ditetapkanlah amanah dalam diri seorang Rasul merupakan kewajiban secara rasio yang sehat. Allah swt berfirman:

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(QS;Ali Imram:31)
Dalam ayat lain Allah swt juga berfirman:
الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الْأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا عِنْدَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ
(yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, Nabi yang Ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, (QS;Al-A’raf:157).
 Dua ayat di atas secara sharih menganjurkan mengikuti Rasul dengan berbagai imbalan yang dijanjikan Allah swt. Para sahabat Nabi saw, orang yang paling dekat dan lebih tahu tentang seuntai wahyu, mengikuti beliau dalam segala hal tanpa mencoba mempersoalkan dan menggugat darimana sumbernya, valid atau tidak. Sampai-sampai ketika Nabi saw menanggalkan sandal, mereka ramai-ramai ikut melepaskannya pula. Ketika beliau membuka cincinnya, mereka ikut-ikutan melakukan hal sama juga. Pernah Abu Bakar ra, Umar ra dan Utsman ra menyingkap kain sebatas lutut hingga terlihat betis sesampainya mereka dan duduk di atas sumur yang bernama ‘Aris’ dekat kota Medinah, hanya karena Nabi saw pernah melakukannya. Kita saksikan perkataan Umar ra yang menggambarkan bagaimana meneladani Rasul saw tentang Hajar Aswad tanpa mengkritisinya sedikitpun: 
إني أعلم أنك حجر لا تضر ولا تنفع ولولا أني رأيت رسول الله صلى الله عليه و سلم قبلك ما قبلتك ثم قبله
Artinya: ‘Aku tahu, sesungguhnya kamu (Hajar Aswad) hanya sebongkah batu yang tidak sanggup memberi mudharat dan manfaat. Seandainya aku tidak melihat Rasulullah saw mengecupmu, maka akupun tidak melakukannya juga’. Kemudian beliau mengecupnya.
Kepercayaan yang begitu besar diberikan para sahabat kepada Nabi saw adalah indikasi sangat kuat mengarah kepada kewajiban mempercayai beliau dalam segala hal. Mereka adalah orang-orang yang menyaksikan langsung prosesi wahyu dibawakan dari langit diserahkan kepada Rasul. Kalau saja ada sesuatu yang mencurigakan berlangsung dihadapan mereka, penipuan dari Nabi saw misalnya atau telah terjadi ketidakberesan, mereka tidak segan-segan menggugat dan mengkritik. Tetapi, ternyata mereka tidak melakukannya, itu berarti membuktikan tidak ada gejala dusta apapun. Seumpama Abu Hurairah ra yang selalu mendapat sanjungan dari Nabi saw: ‘aku sudah menduga kamu akan menanyakan ini’, kata-kata ini menunjukkan beliau seorang yang haus akan ilmu sekaligus menaruh kepercayaan sangat tinggi kepada Rasul saw dalam setiap persoalan, apalagi dalam hal-hal ghaib. Ini semua membuktikan akan satu hal: Rasul wajib dan layak mendapat kepercayaan lebih dari siapapun juga.












Oval: Hanya dengan selalu bertadabbur kita bisa sampai kepada suatu keyakinan




















PENGERTIAN TABLIGH
S
ecara bahasa (etimology) bermakna ‘meneruskan’ atau ‘menyampaikan’. Sedangkan secara terminology (istilah):
التبليغ هو تبليغ ما امروا بتبليغه للخلق
Artinya: ‘Tabligh adalah meneruskan apapun yang diperintahkan menyampaikan kepada makhluk (umat)’.
Wahyu yang dikirim oleh Allah kadang-kadang bersifat personality (pribadi), hanya untuk konsumsi sang pribadi Rasul. Terkadang, ini paling banyak, wahyu bersifat umum untuk konsumsi public sebagai syariat untuk umat manusia.  Pada bagian ini, informasi yang telah diterima mustahi bagi Rasul untuk tidak mentransferkannya kepada umat. Karena, kecuali para Rasul tidak menganjurkan kepada kita (umat) untuk bersikap menyembunyikan ilmu (informasi) dari Allah swt, juga ‘peukateun’ mereka mustahil tidak terdeteksi dalam luasnya lautan ilmu Allah swt. Pengaruh dari kalau Rasul mengkhianati Allah swt, kalau memang ini ada, adalah Rasul selalu lebih mengutamakan berkhianat daripada menyampaikan ilmu kepada orang lain. Namun, ternyata sepanjang usia Islam tidak didapati nash yang memerintahkan berkhianat dan menyembunyikan ilmu. Malah sebaliknya, ditemukan nash mengecam dan mengancam pelaku-pelaku penyembunyi ilmu Allah swt:

مَنْ كَتَمَ عِلْماً ، أَلْجَمَهُ الله تَعَالَى يَوْمَ القِيَامَةِ بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ
Artinya: ‘Barang siapa menyembunyikan suatu ilmu, maka Allah swt akan merantai dia dengan rantai dari api neraka pada hari kiamat kelak’.HR. Ibnu Majah.
Logikanya, kalau sudah keluar sebuah ancaman bagi penyembunyi ilmu Allah swt dari mulut seseorang mustahil dia berkelakuan yang masuk dalam kategori ancaman itu sendiri. Lagi pula, kalau seorang Rasul mengambil sikap menutup berbagai berita dari Allah swt, tentu saja kita tidak menemukan aneka macam bentuk syariat yang kita laksanakan pada hari ini. Tetapi, ternyata hari ini kita saksikan bersama-sama kehidupan kita yang selalu diwarnai oleh syariat dalam seluruh sisi kehidupan kita. Kenyataan seperti ini mustahil bisa kita dapatkan seandainya Rasul tidak meneruskan kepada kita apa yang diambilnya dari ‘Shahibusy Syariah’. Dan, kenyataan ini pula mengantarkan dan meyakinkan kita, bahwa para Rasul telah benar-benar bersikap objektif-realistis.
Banyak kita dapatkan dalam ‘furu’-furu’ syariat berbagai kewajiban, yang secara naluriahnya manusia sangat memberatkan sekali, semisal jihad fi sabilillah, menunaikan zakat, mengunjungi Baitullah dan berbagai aturan lain yang sangat memberatkan jiwa manusia, termasuk jiwa Rasul di dalamnya. Nah, semua itu seharusnya ditutup-tutupi oleh Rasul, agar tidak membebani jiwanya juga. Tetapi, ketika beliau meneruskannya dan terlibat langsung dalamnya, itu hanya mengarah kepada satu hal: beliau harus menyampaikan apa yang seharusnya disampaikan. Kalau bukan karena iman sangat tidak mungkin semua hal yang memberatkan jiwa kita niscaya tidak akan terlaksana dengan sempurna.
Disamping argument-argumen di atas, kita juga mesti meneliti dan mengoreksi aspek keuntungan di balik kemungkinan tidak diteruskannya furu’-furu’ syariat kepada umat. Secara klasik, materilah andalan yang sanggup merubah manusia menjadi jahat dan membuat manusia berkelakuan jelek seperti berbohong dan menyembunyikan apa tidak menguntungkan dirinya dalam hal material. Kenyataan sejarah tidak mendukung asumsi ini, malah sebaliknya. Kehidupan para Rasul umumnya tidak jauh dari yang namanya kemiskinan, berkutat dengan penderitaan ketidakberkecukupan dalam kehidupan mereka. Seperti Nabi Muhammad saw, beliau tidak pernah bisa mengenyangkan perutnya selama tiga hari berturut-turut selama kehidupan beliau di Madinah, karena tidak tersedia makanan di rumahtangga beliau.
Mungkin argument ini bisa dipatahkan dengan mengatakan: realitas beliau memang miskin, karena tidak terpenuhinya misi yang beliau canangkan, yaitu tidak berjalan sesuai target beliau. Padahal beliau telah menargetkan keuntungan material yang banyak sekali. ‘Buruk sangka’ ini masih bisa dibenarkan, mengingat misi tidak selamanya menjadi realitas yang diharapkan. Tetapi bila ini kita benarkan, kita telah melupakan sabda beliau berikut ini:
إن الصدقة لا تحل لمحمد ولا لآل محمد، إنما هي أوساخ الناس
Artinya: ‘sesungguhnya sedekah tidak halal bagi Muhammad dan keluarganya. Sesungguhnya sedekah itu hanya kotoran (daki) manusia. HR.Muslem.
Pemasukan material yang mengagumkan dalam furu’ syariat adalah melalui sedekah, wajib dan sunat. Tetapi ketetapan telah dikeluarkan, bahwa Muhammad dan keluarga besarnya haram menerima sedekah dalam bentuk apapun juga. Mari kita berandai-andai. Seandainya beliau memang menyembunyikan titah Allah swt, semestinya sector sedekah yang lebih menjanjikan material untuk tidak disampaikan kepada umat, agar beliau tidak terhalang untuk menerimanya. Hidup dalam kemiskinan dan haram mengambil sedekah adalah dua hal yang kontraproduktif. Di satu sisi sangat membutuhkan, di sisi yang lain menghempang datangnya rezeki. Analisis ini dengan sangat meyakin kita, bahwa kita memang wajib mengimani para Rasul telah menyampaikan seluruh wahyu yang diperintah-sampaikan kepada makhluk.




                                                        



PENGERTIAN FATHANAH
H
arfiyyah fathanah bermakna ‘cerdik’ atau ‘pemikiran brilian’. Adapun dalam wilayah keyakinan berkenaan dengan sifat Rasul yang wajib diimani oleh setiap mukallaf berarti:
اي الذكاء و الحذق بحيث يكون فيهم قدرة علي الزام الخصوم محاججتهم وابطال دواعيهم
Artinya: ‘kecerdikan dan kejeniusan, yang mana mereka mampu memaksakan dan mengokohkan hujjah-hujjah serta sanggup mematahkan alasan lawan-lawan mereka’.
Umumnya kehadiran seorang Rasul mendapat tantangan yang dahsyat dari komunitas masyarakat yang ingin diperbaiki akhlaknya. Tantangan yang dimaksud boleh jadi berbentuk teror fisik ataupun mental. Semua kisah Rasul selalu diawali dan diwarnai dengan penolakan umat bersangkutan, walaupun akhirnya terkadang ditutup dengan keberhasilan. Teror fisik berupa penganiayaan terhadap diri dan keluarga Rasul. Sementara teror mental adalah berbentuk ancaman terhadap keselamatan jiwa mereka. Ada juga berbentuk perdebatan terhadap keabsahan apa yang dibawanya. Biasanya model ini datang dari para intelektual umat mereka. Menggugat dengan hujjah-hujjah tandingan hendak membabat dan, kalau mungkin, membatal sama sekali misi sang Rasul. Hal ini banyak dipraktekkan oleh Yahudi dan Nasrani untuk menghambat laju Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Mereka mengunjungi Nabi saw dengan mengutip ayat-ayat Taurat dan Injil. Sangkaan mereka, Muhammad saw akan terkalahkan, karena mereka tahu beliau seorang ‘ummiy’ (buta aksara) yang tidak pernah melihat, apalagi membaca, dua kitab tersebut.
Allah swt Maha Tahu Segalanya, kemana Muhammad akan diutus, siapa saja umat yang akan dihadapi beliau. Karena itu, mustahil Allah swt tidak membekali para RasulNya dengan ‘malkah’ kecerdikan. Karena, kecuali untuk mematahkan hujjah-hujjah lawan dan meneguhkan ‘burhan-burhan’ sendiri, juga dibutuhkan kebijakan dalam penyampaian wahyu Allah swt. Kondisional dan situasional juga berperan menyukseskan sebuah misi. Ilmu seperti ini hanya mungkin ada pada akal-pikiran yang brilian. Contoh yang paling santer kita dengar, kejeniusan Muhammad saw terkait peletakan kembali Hajar Aswad pada tempatnya setelah disapu air bah. Nyaris darah memerahkan lembah Makkah kala itu kalau kebijakan beliau tidak segara memecahkan masalah. Hanya dengan selembar kain yang diletakkan Hajar Aswad di atasnya lalu diboyong bersama-sama, telah terhindari menetesnya darah manusia. Hanya kebijakan kecil untuk menghindari persoalan yang besar. Sulit membayangkan buah pikiran jenius ini terbit dari orang yang idiot atau bodoh.
Kejeniusan para Rasul juga terilustrasikan dari ucapan-ucapan mereka yang tidak hanya mengakomodir persoalan pada masanya, tetapi juga menjangkau jauh ke masa depan. Kita sering mendapatkan sabda mereka bernada: ‘akan datang suatu masa kepada umatku’ atau ‘akan terjadi begini’ atau ‘akan tertimpa kepada umatku’. Nada sabda begini, menunjukkan hanya satu hal: kecerdikan memprediksi persoalan. Karena semua prediksi ini akhirnya menjadi kenyataan. Adakah kejeniusan di atas kejeniusan ini? Dalam alam modern sekarang ini, manusia mencoba mengetahui perkara-perkara akan datang. Tetapi tidak seorangpun mengatakannya dengan kata pasti. Paling-paling hanya mengungkap ‘ramalan cuaca’ atau ‘menurut prakiraan cuaca’ dan lain-lain yang senada. Semua ini secara tersirat manusia ingin mengatakan: ‘kami tidak tahu’. Karena kelemahan manusia, selain Rasul tentunya, pada membaca dan menerjemahkan tanda-tanda alam. Beda dengan Rasul, kecerdasan mereka merupakan suatu kewajiban dan kewajiban pula bagi kita untuk meyakininya. Karena akal kita sendiri yang mendorong dan memang tidak jalan lain selain terdesak meyakininya. Mengabaikan desakan hati sendiri berarti memungkiri kenyataan yang paling hakiki. Dan, itu abnormal sekali.

























PENGERTIAN JAIZ (HARUS)

J
aiz pada lughawiy berarti ‘boleh’. Dalam istilah Mutakallimin, seperti tersebut di atas pada awal pembahasan, didefinisikan dengan:
ما يصح في العقل وجوده وعدمه
Artinya: ‘perkara-perkara yang secara akal boleh ada dan boleh tidak’.
Dalam kaitannya dengan Rasul, sifat jaiz bukanlah patokan sah-tidaknya seseorang menjadi Rasul, sehingga ia menjadi sifat wajib atau mustahil bagi mereka. Tetapi lebih kepada pertimbangan mereka sebagai ‘manusia’ dan ‘utusan Allah swt’. Dalam kapasitasnya sebagai manusia, mereka layak memiliki sifat-sifat yang biasa disandang manusia lainnya. Dan dalam predikat mereka sebagai utusan Allah swt, mereka hanya boleh menyifati sifat-sifat yang tidak menghambat dan membabat arti perutusan mereka. Dua sudut pandang ini, manusia dan utusan Allah swt, saling mengkompromi dan akhirnya terkonsentrasi pada kalimat berikut:  
يجوز في حقهم الأعراض البشرية التي لا تؤدي إلى نقص في مراتبهم العلية
Artinya: ‘Dalam kapasitasnya sebagai Rasul, mereka boleh mempunyai sifat-sifat kemanusiaan yang tidak mengakibatkan runtuhnya ketinggian (kemuliaan) mertabat mereka’.
Sudut ‘kemanusiaan’ mereka, menuntut layak adanya berbagai kebiasaan manusia melengket pada diri mereka, seperti makan, minum, kawin, bersenda-gurau, tertawa, menangis, miskin, kaya, sakit, sehat dan lain-lain sebagainya. Sedangkan sisi ‘utusan Allah swt’, meminta tidak semua sifat-sifat manusia layak disifati mereka, seperti buta, tuli, gila, epilepsy, lepra dan lain-lain seumpamanya. Karena, kalau salah satu dari sifat-sifat ini ada pada mereka, dapat dipastikan fungsi kerasulan mereka akan tidak berarti sama sekali. Antara gila, misalnya, dengan kerasulan adalah dua hal yang saling bermusuhan dan tidak mungkin berkumpul pada satu tubuh seperti kegelapan dan cahaya. Pada saat gila merajalela, dia akan mengusir sifat kerasulannya. Demikian sebaliknya, kalau prediket kerasulan berkuasa dia juga akan menghambat masuk sifat kegilaan. Artinya, seluruh sifat kemanusiaan layak disandang oleh para Rasul, tetapi kemudian sifat ‘kerasulan’ yang dianugrahi Allah swt kepada mereka membatasinya, hanya sifat-sifat kemanusiaan yang cocok dan tidak berpotensi merusak dengan kerasulan mereka saja.
Tersebut dalam beberapa buku tentang kisah Nabi Ayyub as yang dijauhi dan dihindari oleh umatnya, karena beliau menderita suatu penyakit. Katakanlah cerita ini benar adanya, lalu mungkinkah dalam keadaan berpenyakit yang membuat umatnya  lari seperti itu beliau menjalankan fungsinya sebagai Rasul? Bukankah beliau diutus untuk memperbaiki akhlak mereka? Bagaimana mungkin mendakwahkan mereka kepada jalan yang benar sementara mereka lari tunggang-langgang? Harus diakui, bahwa setiap Rasul memang dimusuhi dan dijauhi. Tetapi aib pemicunya bukan di pihak beliau, namun lebih karena ‘ke’inadan’ dan keingkaran di pihak umatnya.        
Sosok Rasul memang unik, ‘manusia’ sekaligus ‘utusan Allah swt’. Dua sifat yang melekat pada diri mereka ini tidak saling menafikan, apalagi hendak dikatakan mustahil terjadi. Kedua-duanya wajib diseimbangkan ketika mencoba memahami sosok mereka. Manusia yang utusan Allah swt atau utusan Allah swt yang berjenis manusia. Berpadunya dua sifat tersebut, menjadikan mereka sebagai figure yang istimewa di kalangan makhluk. Manusia yang mempunyai mertabat lebih tinggi dari makhluk yang lainnya, tetapi ‘keistimewaan’ dan ‘kelebihan’ yang mereka miliki tidak lantas meninggalkan sifat-sifat ‘kemanusiaan’ mereka sehingga derajat mereka meroket tinggi setara dengan Allah swt. Dan, tidak juga dengan sifat ‘kemanusiaannya’ mereka meluncur bebas sehingga berada pada serendah-rendah kasta mertabat manusia. Mereka menempati posisi ‘tawassuth’ (perantara) antara manusia dan Allah swt. Dengan sifat kemanusiaannya menghadapi dan membenahi manusia. Dan, dengan sifat keagungan akhlaknya berhubungan dengan Allah swt. Jadi, mereka bukan seperti manusia kebanyakan, seperti dakwaan Yahudi kepada Rasul mereka. Bukan juga terbang ke level sangat tinggi setara dengan Allah swt, seperti tuduhan Nasrani kepada Nabi Isa, subhanallah
Adapun benar-tidaknya para Rasul telah bertabiat seperti tabiat manusia lainnya, itu telah dibuktikan dan disaksikan oleh para sahabat secara langsung. Hasil penyaksian mereka telah dipindahkan ke generasi selanjutnya hingga kepada kita pada hari ini. Ada yang bercorak ‘tawatur’ ada juga secara ‘ahad’. Katakanlah nukilan berita melalui teori ‘ahad’ tidak sampai kepada mengharuskan ‘i’tiqady, tapi hanya mewajibkan amal, namun melalui teori ‘tawatur’[1] masih banyak yang mengabarkan tentang Nabi Muhammad saw melakoni kehidupan penuh dengan sifat-sifat kemanusiaannya. Termasuk juga ayat-ayat kitab suci Al-Quran yang mengatur mengenai pakaian istri-istri beliau, salah satu dari sisi kemanusiaannya. Dan masih banyak lagi kesaksian-kesaksian Al-Quran dalam hal ini, seperti yang sudah kita maklumi.
Sebenarnya para Rasul memiliki sifat-sifat manusia merupakan salah satu sarana penunjang kerasulan mereka, disamping hikmah-hikmah lain yang justru menguatkan kebolehan mereka memiliki sifat-sifat tersebut. Para ulama telah membahas seputaran masalah hikmah ini panjang lebar dalam kitab-kitab mereka. Sebagai sampel, kita ambil redaksi kitab ‘Matan Sanusi’. Minimalnya ada empat hikmah dibalik diriasnya para Rasul dengan dandanan kemanusiaan:





  1. TA’DLIMUL UJUR (MENAMBAH PAHALA)

S
ekalipun para Rasul telah dikaruniai posisi sangat tinggi, namun mereka masih juga masuk dalam kategori ‘mukallaf’, seorang hamba yang menjadikan kehidupan ini sebagai ajang pengumpulan pahala sebanyak-banyaknya, agar kehidupan negeri akhirat menjadi lebih baik. Salah satu dari cara mencapai tujuan agung ini adalah dengan  bersabar kalau mengalami suatu penyakit. Makan-minum, kawin yang diniatkan ibadah, menahan diri dari segala godaan nafsu. Semuanya ini hanya mungkin diraih apabila pada diri mereka ditempati oleh sifat-sifat yang lazim ada pada manusia. Kalau satu tubuh kebal terhadap suatu penyakit, seperti zat Malaikat, mustahil mengalami sakit. Dan, sudah barang tentu lewat kesempatan untuk menggapai pahala dengan bersabar terhadap penyakit. Seandainya para Rasul tidak ditanam nafsu dalam tubuhnya, niscaya tidak mungkin mereka kawin dan makan-minum, misalnya. Itu suatu kepastian juga mereka tidak punya kans mendapatkan pahala besar dalam hal tersebut.
Atas analisa di atas, apakah Allah swt tidak mungkin memberi pahala kepada mereka tanpa melalui sifat-sifat kemanusiaan? Toh, mereka orang terdekat Allah swt, konon lagi mereka sebagai RasulNya. Allah swt Maha Kuasa, kuasa memberi apapun tanpa melalui apapun juga. Juga kuasa mengaitkan penganugerahan pahalaNya dengan apapun juga, termasuk menyodorkan pahala melalui kesabaran. Karena itulah keluar sebutir sabda dari mulut yang mulia berikut ini:
أشدكم بلاء الأنبياء ثم الأولياء ثم الأمثل فالأمثل
Artinya: ‘Cobaan yang paling berat adalah kepada para Nabi, kemudian kepada para Aulia, selanjutnya kepada tokoh agama, maka tokoh sesudahnya



  1. TASYRI’ (PENSYARIATAN)

S
eperti telah dimaklumi, para Rasul diutus untuk menjelaskan hukum-hukum Allah swt kepada umat manusia. Untuk tugas mulia ini, para Rasul dapat menempuh beberapa metode ‘tasyri’ (pensyariatan), baik menyampaikan melalui lisan langsung atau dengan mempraktekkan bentuk-bentuk syariat dipertontonkan kepada mereka. Kondisi dan situasi menuntut metode pengajaran dan penyampaian ikut bervariasi pula. Seorang pengajar akan mengamati lapangan, lalu memutuskan metode apa yang lebih cocok dan mengena dengan sempurna kepada sasaran. Tidak selamanya metode lisan lebih efektif dari metode praktek. Demikian sebaliknya. Tingkat kecerdasan umat sebagai objek pengajaran juga alternative lain yang menuntut metode mesti dipilih-pilih. Ketika menyaksikan Rasul melangsungkan pernikahan, misalnya, umat dengan mudah bisa memahami syariat tentang perkawinan. Saat Rasul dilanda oleh suatu penyakit, umat menjadi tahu bagaimana tatacara shalat orang sakit. Demikian juga ketika Rasul tiba-tiba lupa dalam shalat, umat jadi mengerti solusi yang seharusnya dilakukan. Dan seterusnya.


Oval: Tidak ada keberhasilan tanpa keyakinan dan usaha











  1. ‘TASALLY ‘ANID-DUNYA’(MENAHAN DIRI DARI DUNIA)

K
etika menela’ah kehidupan para Rasul yang penuh dengan kekurangan material dalam seluruh waktu kehidupan mereka, yang notabenenya seorang kekasih Allah swt, umat akhirnya sampai kepada kesimpulan, bahwa meraih kehidupan dunia benar-benar suatu keaiban yang mesti dijauhkan, dan Allah swt tidak menyukai itu. Suatu pelajaran sangat berharga bagi umat, kalau kehidupan di negeri duniawi ini diridhai Allah swt tentu kehidupan para kekasihNya akan lebih berjaya dari siapapun juga. Nyatanya dan kasat matanya, kondisi kehidupan para Rasul sangat jauh dari berkecukupan, untuk tidak mengatakan tidak berpunya sama sekali. Dalam kondisi morat-marit seperti ini, mereka masih menatap hidup dengan kebahagian dan optimis yang tinggi. Tidak larut dan sibuk dalam pemenuhan kebutuhan mereka semata-mata. Mereka tidak mengeluh atas kekurangan-kekurangan yang menerjang mereka. Tugas kerasulan mereka tidak terbengkalai hanya gara-gara kemiskinan. Inilah ‘mau’idlah’ sangat berharga bagi umat mereka, sehingga bila umat mampu bergembira atas kemiskinan dan kealpaan dunia mereka, mereka sudah dinobatkan setara dengan Rasul. 








  1. TAMBIH LI KHISSATIHA (PERINGATAN ATAS HINANYA DUNIA)

P
enempatan sifat-sifat kemanusiaan kepada Rasul adalah juga agar Allah swt dapat menjadikan peringatan dari bagi umat manusia, bahwa dunia tidak seharusnya dianggap sebagai ‘bidadari’ yang mesti dikejar kemana-mana, karena memang tidak ada nilainya disisiNya. Logikanya, para Rasul adalah makhluk paling elit dalam pandangan Allah swt, tapi ternyata tidak diikuti oleh pernik-pernik kehidupan yang layak se-elit derajat mereka. Artinya, untuk makhluk terbaik tidak dipersembahkan dengan fasilitas terbaik di dunia ini dari Allah swt. Ini menunjukkan, bahwa Allah swt akan menghargai keagungan mertabat mereka dengan sesuatu yang lebih cocok, dan itu adanya di akhirat kelak, bukan di dunia yang serba kekurangan ini. Ini pulalah yang dilukiskan oleh Rasul dalam sabda berikut ini:
الدنيا جيفة وطالبها كلاب الا ترى كيف احب ما ابغضه الله وأي خطيئه اشد جرما من هذا
Artinya: ‘Dunia itu bangkai, dan para pencarinya anjing. Adakah tidak kamu lihat, bagaimana dia menyukai perkara-perkara yang dimurkai oleh Allah swt? Adakah kesalahan yang sangat besar dosanya dibandingkan daripada ini? (kitab Mishbah Syari’ah).
Ungkapan ini adalah penggambaran hakikat sebenarnya dari dunia ini. Keindahannya semu, orang yang menguber-ngubernyapun keliru. Hakikat sesuatu lebih diketahui oleh Allah swt dan para RasulNya. Seandainya Rasul tidak dibekali dengan sifat-sifat kemanusiaannya, maka mustahil mereka bisa merasakan dan menilai apa sebenarnya dunia ini. Dan umatpun tidak mungkin meneladani mereka dalam hal dunawi. Padahal, kadang-kadang memberi pengajaran lewat tindakan atau perbuatan lebih mengena dari hanya sekedar berkata-kata. Karena, sebuah nasehat yang tidak berpotensi untuk dikomplin karena tidak kontras dengan keadaan sipengajar, dapat dipastikan pelajaran itu sangat berguna. Apalagi seia-sekata perbuatan dengan kata-kata. Kita simak sabda Nabi saw berikut ini:
لَوْ كانَتِ الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ الله جَنَاحَ بَعُوضَةٍ مَا سَقَى كافِراً مِنْهَا شَرْبَةَ مَاءٍ
Artinya: ‘Seandainya dunia ini punya harga seharga sayap unggaspun di sisi Allah swt, sungguh tidak akan diberikan kepada orang-orang kafir seteguk airpun juga’.(HR. Tarmizi).





                                                       













KESIMPULAN

B
anyak menela’ah bukti tentang sifat-sifat wajib, mustahil dan harus pada Rasul serta banyak menyesakinya dalam pikiran, dapat mengantar seorang mukallaf kepada keyakinan akan keberadaan para Rasul. Berpikir secara objektif dan argumentative bisa menguatkan akan keyakinan yang telah bersemi. Dan itu adalah modal yang sangat berharga di tengah-tengah masa yang lebih bersikap apatis terhadap isi hati, karena lebih mengutamakan isi otak dalam rangka untuk lebih memudahkan kehidupan di sini dan mengabaikan kehidupan yang abadi kelak.
Apalagi ditambah dengan usaha-usaha menjauhkan umat Islam dari ‘akidah dan syariatnya dengan berbagai aliran sesat yang banyak bermunculan di mana-mana. Mulai dari aliran sesat yang berakar kuat dalam ‘hutan’ sampai aliran yang bersifat eklusif merasuki lembaga-lembaga pendidikan yang bermarkas di tengah-tengah kota. Atas nama virus kebebasan, umat Islam digiring melecehkan Nabinya sendiri, menafsirkan Al-Quran dengan metode pesanan kuffar, hermeunetik. Banyak menjungkalkan kaidah-kaidah yang tumbuh yang rumpun Islam. Terpedaya dengan pesona permukaan kebudayaan kaum kuffar yang keropos di dalam, sehingga satu-satunya yang sempat terpikirkan oleh mereka hanya, bagaimana menanggalkan Islam serta atributnya dan berpola pikir tidak lagi berlandaskan padang pasir kurma yang sudah kuno ditelan masa.
Mengokohkan ‘akidah, khususnya tentang kenabian, dapat memagari nilai-nilai moral islami, yang keyakinan ini secara ‘syar’an’ dan ‘aqlan’ sangat didesak untuk diyakini. Artinya, tidak ada ruang sesempit apapun untuk bisa menghindar agar tidak meyakini keberadaan Nabi serta perangkat-perangkatnya. Wallahu a’lam bish-shawab.   





Oval: Berikut ini artikel tentang akhlak kaum muslimin terkait konsumsi makanan yang diperbolehkan agama









PENGARUH MAKANAN HARAM
يَا أَيُّهَا النَّاسُكُلُو ا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
A
rtinya: ‘Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu’.(QS:Al-Baqarah:168)
Dalam perspektif  Islam, makan lebih dimaksudkan sebagai energy ‘ubudiyyah yang menjadi alasan satu-satunya manusia dan jin diciptakan. Makanan yang disuap melewati kerongkongan lalu bermarkas dalam usus. Dalam proses penghancuran, makanan berubah menjadi zat-zat penting bagi tubuh menurut potensi yang dimilikinya.  Dari asupan zat inilah tubuh sanggup mempertahankan kebugaran dan kejayaannya, sehingga mampu diajak beraktivitas kembali, baik aktivitas baik ataupun jelek.
Kegiatan pendistribusian vitamin ke seluruh tubuh ini, dinilai dalam Islam sebagai bagian dari ibadah juga. Karena kegiatan ini dianggap sebagai ‘wasilah’ menuju ke ibadah mahdhah, seperti shalat dan lain-lainnya. Sulit membayangkan shalat keluar dari tubuh yang lemah-lunglai tanpa kekuatan. Tetapi, memasukannya dalam kategori ibadah tentu mempunyai criteria-kriteria tertentu sesuai dengan keinginan Pemilik Syariat Islam. Salah satunya seperti kandungan ayat di atas, ‘halal lagi baik’.  ‘Halal lagi baik’ inipun mesti dipahami versiNya juga, bukan menurut hasil pemikiran manusia. Karena dalam wilayah hukum syariat tidak berlaku hasil olahan pikiran.
Ayat di atas juga menganjurkan makan yang halal bagi seluruh umat manusia, muslim dan kafir. Karena efek baik-buruknya makanan bukan hanya menerpa sebagian manusia sebagiannya tidak. Makanan baik dalam kacamata Islam diistilahkan dengan ‘halal’. Sedangkan kebalikannya disebut ‘haram’.  Mengetahui yang haram akhirnya juga akan mengetahui yang halal. Dari pembahasan  para ulama dipahami haram ada dua:


Oval: Dengan pemasokan yang halal, maka akan melahirkan niat, perkataan, dan tindakan yang halal pula
















a.      HARAM  LIZATIH (HARAM KARENA ZATNYA)

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِالأَزْلامِ ذَلِكُمْ فِسْقٌ الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ دِينِكُمْ فَلا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْن

D
iharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku (QS:Al-Maidah:3)

Penegasan ayat ini lebih kepada penguraian benda-benda yang diharamkan secara syar’i. Memasukkan salah satu benda ini ke bawah kunyahan lidah, sekalipun menimbulkan efek lezat yang luar biasa, itulah memakan yang haram. Jarang-jarang memang ada kasus yang terbetik berita seseorang mengumpulkan darah untuk diminum, tetapi bukan perkara langka orang mengkonsumsi ikan dan daging, misalnya, yang tidak memenuhi kaifiat penyucian syariat.  Demikian juga dengan daging dan lemak babi, tidak mungkin seorang muslim memburu babi untuk dikonsumsi. Tetapi makanan-makanan  yang diolah dengan alat bekas pengolahan babi tidaklah jaminan dapat dipastikan tidak ada sama sekali, apalagi makanan produk para kuffar. Dan, akhirnya, tidak dapat pula mengelak dari memakan yang haram. Disinilah sangat dikhawatir kita memasuki daerah ‘syubhat’.
Menariknya lagi ayat di atas, pengharaman benda-benda tertentu ditutup dengan ungkapan: ‘pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu’. Ada apa ini? Boleh jadi salah satu perangkat mesin perang yang diandalkan para kuffar sekarang ini untuk mengalahkan kaum Muslimin adalah melancarkan serangan dengan membanjiri produk-produk makanan ala kuffar ke jantung pasar konsumsi Muslimin. Walaupun halal secara syar’i, karena kita tidak mengetahui hakikat kebenarannya, namun efeknya sebagai najis menjijikkan yang mempengaruhi dan menimbulkan kejelekan, mental dan fisik, kepada pengonsumsinyapun tidak dapat dielakkan juga.
[Type a quote from the document or the summary of an interesting point. You can position the t





xt box anywhere in the document. Use the Text Box Tools tab to change the formatting of the pull quote teOval: Makananlah yang akan menentukan langkah Anda ke depan, baik atau jelek.

b.      HARAM LIGHAIRIH (KARENA FAKTOR EX)

P
enyabab keharamannya bukan benda itu sendiri, tapi lebih karena factor eksternal yang mempengaruhinya, seperti penjelasan ayat berikut:
لاَ تأكلوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بالباطل إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنْكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. (QS:An-Nisak:29)
Sesuatu yang disebut harta dia sudah tentu tidak berasal dari najis, karena najis tidak ada kepemilikan atasnya. Pelarangan dalam ayat ini lebih mengarah dan tervokus kepada ‘batil’nya. Artinya, bukan makan secara mutlak yang diharamkan, tetapi meraih sesuatu secara batil yang dimurkai Allah swt. Maksudnya, peralihan kekuasaan atas suatu harta  bukanlah dengan salah satu jalan yang telah disyariatkan oleh agama, seperti perniagaan, misalnya, sebagaimana disinggung oleh ayat di atas. Syariat-syariat perpindahan harta dari satu tangan ke tangan lainnya, cukup melimpah tersedia dalam Islam. Diantaranya, jual-beli, sedekah, hibah, hadiah, hiwalah, jual-beli salam (pesanan) dan lain-lain sebagainya. Menempuh salah satu jalan di atas untuk memindahkan harta antar sesama manusia menetapkan harta tetap berstatus halal.  Dan, ketika memasukkannya melewati kerongkongan, diolah oleh ‘maiddah’ menjadi energy, tidak akan membias menjadi kejahatan dalam hidup seseorang. Energy ini akan selalu menarik dan mengajak pemiliknya ke arah ‘shirathal mustaqim’. Karena yang baik akan malahirkan yang baik pula. Menyemai bulir-bulir gabah akan bertunas menghijau dan tumbuh gabah pula.
Menyimak realitas perpindahan kekuasaan atas harta pada masa sekarang ini lebih didominasi oleh cara-cara tidak islami, keluar dari garis-garis syariat. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa beralihnya harta dari satu tangan ke tangan lainnya lebih banyak melalui ‘syariat’ sogok-menyogok, ‘ghulul’ (pengkhianatan kepercayaan), rapat-rapat ‘gelap’ pengalihan hak mustahiq yang telah ditentukan, proyek-proyek ‘hantu’ fiktif dan lain-lain yang seumpama. Mendapatkan kekayaan melalui salah satu ‘syariat-syariat’ ini adalah beberapa gelintir  dari ribuan ‘sunnah’ untuk merubah status harta yang sedianya halal menjadi haram terlaknat. Sate daging kambing yang disuapi ke mulut adalah telah bertitel hukum setara dengan daging anjing. Mobil yang dikendarai sebenarnya mengendarai babi pada hakikatnya.  Karena peralihan harta tidak melalui aturan-aturan yang diizinkan agama.
Keinginan kuat memiliki lebih dari yang telah diporsikan setiap bulannya adalah salah satu pemicu sangat potensial merambah ‘syariat-syariat’ peralihan illegal yang menyebabkan banyak harta berstatus haram. Malah lebih parah dari itu, karena benda yang telah diharamkan, semisal daging babi, biasanya menimbulkan perasaan menjijikkan, sehingga godaan untuk mengonsumsinyapun bisa diusir sejauh-jauhnya. Beda dengan fulus yang diperoleh dengan jurus korupsi atau manipulasi, hasrat memiliki dan menelannya jauh sangat menggoda. Karena dia tidak berbentuk seekor bangkai yang sedang mengeluarkan ulat-ulat menjijikkan, walaupun tingkat keharamannya berada pada level setinggi-tingginya.
Demikian juga, hasil yang didapatkan dari pengkhianatan terhadap kepercayaan yang dilimpahkan oleh masyarakat untuk mengelola sejumlah dana, yang kemudian dialihkan ke pos-pos siluman yang bergentayangan, menjadi semakin mudah dan menggiurkan. Hasil penyelewengan ini tidaklah menyerupai tumpukan kotoran kerbau yang berbau menyengat, sampai-sampai perlu dihindari karena takut kecipratan busuknya, sekalipun kebusukannya melebihi apapun dalam pandangan syariat. Disinilah fitnah terbesar dalam kehidupan manusia, sesuatu yang sangat diharamkan oleh agama tapi tidak ditampilkan dalam bentuk dan aroma yang menjijikkan seperti bangkai seekor anjing. Hanya dengan mengenakan kacamata syariat, benda-benda yang diharamknnya akan menjelma dalam wujud aslinya, busuk menjijikkan beraroma bangkai babi.
Apalagi ditambah dengan tidak turunnya hukuman Allah swt secara langsung kepada pemakan-pemakan harta busuk tersebut. Koruptor tidak pernah disambar petir gara-gara mengonsumsi hasil jarahan mereka. Malah, kasat matanya, mereka semakin jaya, semakin meroket taraf hidupnya, semakin bergaya cara hidupnya, semakin bertingkat dan bermotif rumah yang dimilikinya, semakin bermerek mobil yang dinaikinya, semakin bervariasi menu makanan yang bisa dikunyahnya. Semuanya ini, semakin menambah ‘spirit keangkara-murkaannya’ untuk terus memburu fulus-fulus yang dianggap busuk oleh agama, tapi beraroma wangi semerbak dalam pandangannya. Hal ini akan terus memerangkapkannya dalam lingkaran hitam setan, dan akan sulit keluar daripadanya sepanjang hidupnya.
Selanjutnya, tidak hanya sampai di situ, tapi hidupnya akan selalu diwarnai catatan-catatan hitam panjang yang semakin menjauhkannya dari kehidupan religious. Begitu penuh kesukaran menatap hal-hal berbau keagamaan. Membenci setiap kaidah-kaidah syariat, apalagi yang mengusik ketentramannya dalam operasional mengumpul semakin banyak material busuk menjijikkan. Hal ini terpahami dari sabda berikut: 
كل لحم نبت من حرام فالنار أولى به
Artinya: ‘Setiap daging yang tumbuh dari sesuatu yang diharamkan maka neraka lebih baik (cocok) untuknya’. (HR.Baihaqy)
Ketika ‘daging yang bersumber dari yang haram’ dihubungkan dengan ‘neraka’, itu sebagai penegasan, bahwa antara keduanya memiliki benang merah yang sulit untuk dipisahkan. Dan, sudah barang tentu antara keduanya juga berkolaborasi sejak disini (dunia) hingga puncaknya di kehidupan selanjutnya (akhirat). Dalam arti kata, dari daging dan darah yang tercipta dari makanan-makanan haram, mustahil akan terbit kebaikan-kebaikan yang muara akhirnya kelak ke dalam surga. Dikatakan mustahil, karena memang tidak ada sekecil apapun ‘titian’ yang dapat dihubungkan antara makanan haram dan kenikmatan surga. Keduanya tidak mungkin dipertemukan dalam satu kondisi secara bersamaan. Tidak mungkin ada ‘shalat maqbulah’, misalnya, dari tubuh yang tumbuh dari harta-harta haram. Pikiran-pikiran yang dialiri oleh darah dan gizi dari makanan-makanan yang haram akan mengeluarkan buah-buah brilian mengikuti alur menuju ke Jahannam. Karena antara keduanya memiliki hubungan yang sangat erat, sulit dipisahkan. Artinya, hasil produksi akan mengikuti material yang dipasok. Ibarat mesin penggiling bulir-bulir padi, suatu keniscayaan akan memuntahkan butir-butir beras.
Karena itulah, sangat sulit menemukan suatu perbuatan yang bermuatan nilai-nilai ibadah dari seorang pencuri, kelas teri ataupun kelas berdasi. Kalaupun dia, misalnya, kadang-kadang mengunjungi Baitullah, itu dapat dipastikan bukan kunjungan menghasilkan (mabrur), tetapi hanya sebatas tour biasa tanpa membawa nama Allah swt di dalamnya. Apabila menginfakkan harta pada jalan yang mirip jalan ibadah, itu hanya bernilai ‘sebuah jabatan’, bukan seperti tampilan lahirnya. Demikian halnya, seandai dia menghadiri pengajian-pengajian, tak lebih tak kurang hanya bermuatan ‘politis’, bukan karena berlandaskan ‘lillahi ta’ala’.
Dampak kebusukan dari harta haram ini, tidak hanya melanda pelaku-pelakunya saja, tetapi juga berimbas kepada orang-orang yang mendapat aliran harta haram tersebut, semisal isteri dan anak-anaknya. Seorang isteri yang seharusnya menaati suaminya, boleh jadi, karena selalu mendapat pasokan dari yang haram-haram, menyebabkan dia ‘nusyuz’ dari mematuhi suami. ‘Nusyuz’ adalah suatu kegiatan merintis jalan ke neraka. Karena memang tubuhnya layaknya ke neraka. Tidak mungkin seonggok daging yang punya potensi sangat disukai oleh Jahannam melakukan kegiatan-kegiatan yang mendapat imbalan ke surga. Tubuh akan meniti hidup sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Kalau kita memiliki tubuh menjadi dambaan surga, karena memang bagian-bagiannya bersih dari noda harta haram, dia akan memilih jalur kehidupan yang mengantarkannya sampai ke kenikmatan surgawi.
Hal yang sama persis kita katakan kepada anak-anak yang tumbuh dari nafkah yang diperoleh dari cara-cara yang diharamkan agama. Diawali dengan pembibitan dari sel-sel yang haram, lalu pertumbuhan dari asupan gizi dan nutrisi yang haram pula, maka menjelmalah dia sebagai sosok yang seutuhnya berasal dari yang haram. Dan, sosok yang proses pertumbuhannya seperti ini mustahil akan menjalani hidup dengan warna agama yang diharapkan setiap orangtua.  Kenakalannya bukan merupakan pernik-pernik masa pubertas seorang remaja, tetapi adalah potensi asli mengawali sejarah hidupnya dengan dan dari sebuah kebusukan. Karena dia sedang merintis jalan menuju jurang Jahannam, sesuai dengan bawaan badannya yang sangat ‘jihawa’ oleh neraka. Mengharapkannya, seperti harapan semua orangtua, agar menempuh jejak-jejak yang berujung ke surga, rasa-rasanya hanya bisa berlangsung dalam mimpi. Artinya, mendambakannya akan terjadi dalam alam nyata memiliki kemungkinan sangat kecil sekali. Mencoba mengarahkannya ke jalur pendidikan agama, dia akan membelot ke lorong hitam narkoba, misalnya. Karena dia mempunyai bakat alamiah hanya di jalur itu semata-mata, yaitu jalur yang akan mengantarkannya ke neraka. Semua orangtua, pemakan harta haram atau bukan, menginginkan juniornya memilih koridor baik-baik, jauh dari kemaksiatan yang dapat menyengsarakannya dunia-akhirat. Namun keinginannya itu akan kandas oleh infaknya akan harta-harta yang busuk kepada juniornya, yang akhirnya dia hanya memilih yang sesuai dengan bakat tubuhnya sendiri, yaitu gang gelap yang bermuara ke neraka. Hal ini pernah disinyalir oleh Rasul saw dalam haditsnya:
كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلى الفِطْرَةِ حَتَّى يَكُونَ أَبَواهُ هُمَا اللذانِ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنْصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
Artinya: ‘Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (punya potensi kebaikan), sehingga ibu-bapaknyalah yang meyahudikan, menasranikan atau memajusikannya.  (HR. Bukhari-Muslem).
Menafkahkan harta-harta haram kepada anak-anak berarti merubah potensi dasar kebaikan  yang telah dikaruniai kepadanya, disamping menciptakan batu loncatan untuk ‘kemakmuran’ kemaksiatannya di masa depan kelak. Dan, yang lebih parah dari itu semua, menambah kredit dosa kepada orangtua, walau telah mati sekalipun, dari setiap tindakan jahat yang dilakukan oleh mereka.

















Oval: Malu kepada (Allah swt agar tidak melakukan hal-hal mungkar) adalah sebagian dari iman




BEBERAPA MAKANAN HARAM

وَيُحِلُّ لَهُمْ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمْ الْخَبَائِثَ
“M
enghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk”.(QS:Al-A’raf:157).
Seperti telah disinggung sebelumnya, sumber energy manusia disuplay lewat impor makanan ke dalam ‘ma’iddah’ untuk diolah dan selanjutnya didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh menurut keperluan masing-masing. Sekalipun jagat raya dan isinya ini diciptakan untuk kepentingan manusia, namun Sang Maha Pencipta mendirikan tembok pemisah antara halal dan haram, agar manusia memilah-milah ketika mengonsumsikannya demi mendapat manfaat yang baik untuk fisik dan mentalnya, khususnya demi kelangsungan kehidupan religiusnya, agar selalu mengikuti koridor yang diridhaiNya. Bersikap apatis terhadap ‘tembok’ bentukan Allah swt, sehingga menganut system kebebasan seluas-luasnya dalam memandang sebuah makanan tanpa mengindahkan rambu-rambuNya, dapat mendatangkan kemudharatan dan ketimpangan dalam praktek keagamaannya. Ketimpangan, atau dalam term keagamaan disebut ‘Atsar’ (efek), boleh jadi melanda naluri mental kesuciannya yang memiliki potensi baik, atau mengefek ke fisik lahiriyyahnya. Penulis akan menurunkan beberapa diantaranya:







a.       TERTOLAKNYA AMAL IBADAH

M
enjalankan rutinitas ibadah, kecuali sebagai upaya ‘menggugurkan’ beban taklif yang disandang oleh setiap manusia yang diikrarkannya dalam alam zurriat, juga sebagai arena menabur benih untuk memanenkan hasilnya di hari kedua kelak, akhirat. ‘Panenan’ yang merupakan karunia terindah dari Allah swt, yang selalu dijanjikan dan diikat dengan amal ibadah tertentu , adalah target utama dari sebuah ibadah, yang tentu saja dimaksudkan sebagai penyeimbang tapak kaki atas titian Shirathal Mustaqim dan akhirnya sebagai tiket mengetuk pintuk surga.  Anugerah ‘ceudah’ dari Allah swt ini mempunyai kans yang sama untuk diraih oleh setiap manusia, kecuali karena simanusianya menghempang sendiri untuk mendapatkannya, seperti singgungan hadits berikut ini:

( من اشترى ثوبا بعشرة دراهم وفيه درهم حرام لم يقبل الله له صلاة ما دام عليه )
“Barangsiapa membeli sehelai pakaian dengan harga sepuluh dirham, yang satu diantaranya berasal dari yang haram, maka Allah swt tidak menerima shalatnya selama pakaian itu masih melengket padanya”. (HR.Ahmad).
Shalat sebagai ibadah utama dalam rangkaian syariat Islam tentu menjanjikan imbalan yang mengiurkan setara dengan keutamaannya. Tetapi imbalan ini mudah teranulir hanya oleh perkara sepele, unsure haram dalam hartanya. Boleh jadi karena pengadaan busana oleh sebuah instansi ‘dicuri’ dari hak-hak yang telah diplot ke pos yang lain. Atau, baju seragam korp dari hasil budaya ‘penyunatan’, atau, dari hasil ‘merobek’ sebuah kepercayaan public. Ada juga busana yang melekat di badan dari sumber mengemis ‘kasih-sayang’ masyarakat, yang selalu diancam urusan mereka. Bila semua pakaian ini  disandang saat menghadap kiblat atau sedang menunai detik-detik hari puasa Ramadhan, maka imbalan yang luar biasa besarnya bisa terlepas begitu saja, disamping terus menumpuk lembaran-lembaran hitam catatan dosa yang kian membukit dari hari ke hari, seperti sabda berikut ini:     
( من اشترى سرقة  هو يعلم أنها سرقة فقد شرك في عارها واثمها )
“Barangsiapa membeli sebuah barang curian, yang diketahuinya itu memang hasil curian, sesungguhnya dia telah bersekutu pada kehinaan dan dosa mencuri”. (Lihat kitab ‘Taisir bi Syarhil Jami’ish Shaghir’).
Membeli suatu barang yang diketahuinya sebagai hasil curian, sudah cukup mengantarkannya untuk menambah tumpukan dosa. Ini baru sebatas level ‘mengetahui ada pencurian’, bagaimana kalau meningkat ke level ‘aktor pencurian’? ‘Mencuri’ adalah kosa-kata lama dalam ranah bahasa Melayu. Dalam perkembangannya, cukup banyak padanan kata ‘mencuri’ bermunculan seiring gaya dan tehnik mencuripun semakin canggih. Kata ‘manipulasi’ adalah salah satu kata asing yang merengsek masuk ke dalam bahasa kita untuk menghaluskan, atau bahkan untuk menyembunyikan kesan kebiadaban mencuri. ‘Proyek fiktif’ juga salah satu model mencuri yang cukup marak di negeri ini, disamping istilah ‘pembekakan harga’pun merajalela dimana-mana. Semua kata samar-samar ini bermuara ke satu ujung yang sama: ‘aktivitas mengambil yang bukan haknya sendiri’. Dan, nilainyapun sama: mencuri!
Lebih parah dari itu semua adalah menyuapkan hasil nyolong ke dalam mulut, karena mempunyai efek jelek ganda di dalamnya. Disamping berdosa yang merupakan suatu keniscayaan, seperti sabda berikut:
عن أبي هريرة من أكلها وهو يعلم انها سرقة فقد أشرك في اثم سرقتها رواه الطبراني

Dari Abu Hurairah ra: “Barangsiapa memakan (hasil curian) yang diketahuinya itu hasil curian, sesungguhnya dia telah berkomplot dalam dosa mencuri”. (HR. Thabrani)
Juga berimbas kepada mengabadikan kedurhakaan kepada Allah swt dengan berusaha menanamkan potensi ‘jahat’ mengalir di setiap urat dalam dirinya. Artinya, hakikat memakan hasil korupsi, istilah lain dari mencuri, bukan hanya sekedar kesenangan sesaat, tetapi juga mengajak berbagai kemaksiatan merapat ke kepribadian seseorang. Boleh jadi setiap menit sisa hidupnya adalah kemungkaran. Karena dalam kondisi jasad masih bersemayam harta haram tidak mungkin ada kebaikan bernilai kebaikan, tidak mungkin ada ibadah patut dihargai sebagai ibadah. Kita lihat penegasan Rasul saw berikut:

وإذا خرج الرجلُ بالنفقة الخبيثة ، فوضع رجله في الغَرْزِ ، فنادى : لبَّيكَ اللهمَّ لبَّيك ، ناداه منادٍ من السَّماء : لا لبَّيْكَ ولا سَعْدَيك ، زادُك حرام ، ونفقتُك حرام ، وحجُّكَ غيرُ مبرورٍ

Bila seorang laki-laki keluar menunai ibadah haji dengan biaya yang jelek (haram), lalu menginjakkan kakinya pada tempat injakan, sambil berseru: “Aku penuhi panggilanMu ya, Allah, telah aku penuhi!”,maka suara dari langit menyahut: “Kamu tidak diterima, tidak diterima! Perbekalanmu haram! Biayamu Haram! Dan hajimu ditolak!(Lihat kitab ‘Mu’jam Ausath).
Sungguh sangat mengenaskan sekali! Ibadah haji yang dijanjikan diujungnya berjumpa dengan ‘mabrur’ yang hanya sebanding dengan nilai ‘taubat nashuha’, ternyata menjadi seharga sampah hanya gara-gara bekal pelaksanaaannya berasal dari yang diharamkan. Berbaurnya kepemilikan harta antara halal dan haram, mencampuri najis dengan suci, menyebabkan harta secara kolektif menjadi hanya satu warna menyeramkan: haram. Apapun yang dilakukan dengan harta tersebut, juga mengikuti warna aslinya: hitam. Kalau harta ini dijadikan sebagai bekal dalam menunaikan sebuah ibadah, maka menghasilkan atribut kegelapan pula, yaitu nihil dari nilai kebaikan, sehingga mustahil mendatangkan limpahan pahala yang telah dipaketkan di dalamnya. Dalam kontek haji yang dibekali dengan biaya yang bersumber dari hasil jarahan hak rakyat, misalnya, memustahilkan mabrur yang tersimpan di dalamnya, kecuali penambahan gelar ‘haji’ di belakang namanya tetap juga ditabalkan sebagai aksesoris pernah melakukan tour ke kandang unta di kampung Nabi saw. Sementara mabrur yang mengindikasikan seseorang selalu memilih ‘jalan kanan’ sepulangnya dari mengunjungi Baitullah, yang berharga melebihi dunia dan isinya, bukanlah sesuatu yang boleh dharapkan. Karena, seperti ungkapan hadits di atas, mabrurnya ditolak dengan tegas oleh Allah swt. Pasalnya, mabrur sebagai penyucian dari dosa mesti dengan umpan pancing yang suci pula. Tidak mungkin kotoran tahi dibersihkan dengan air kencing! Rhah ek ngon i’k? Mustahil.  Dalam hal ini seorang ulama besar berkata:

قال سفيان الثوري : من أنفق الحرام في الطاعة كمن طهر الثوب بالبول و الثوب لا يطهره إلا الماء و الذنب لا يكفره إلا الحلال

Sufyan Ats-Tsaury berkata: “Barang siapa menginfakkan harta haram dalam ibadahnya, itu persis ibarat menyucikan pakaian dengan kencing. Padahal pakaian tidak akan suci selain dengan air, dan dosa tidak akan tertutupi kecuali dengan yang halal. (Lihat kitab ‘Al-Kaba-ir’)

Maka, hajinya,misalnya,  bermakna hanya merobek-robek puluhan juta lembaran rupiah haram, disamping energy terbuang percuma di bawah bakaran dahsyat matahari padang pasir. Kasus yang sama juga terjadi pada ibadah paling utama dalam Islam, shalat. Hadits  berikut ini membeberkannya:    
روى أبو يحيى القتات عن مجاهد ، عن ابن عباس ، قال : لا يقبل الله صلاة امريءٍ في جوفه حرام
Abu Yahya Al-Quttat meriwayat dari Mujahid dari Ibnu ‘Abbas ra, beliau berkata: “Allah swt tidak menerima shalat seseorang yang di dalam perutnya ada makanan haram”.
Seperti telah sedikit disinggung di atas, shalat dalam kapasitasnya sebagai ibadah tiang agama, tentu menghadirkan limpahan imbalan yang mewah. Tetapi perut yang diisi dengan makanan haram mengganjal semua itu. Tragis memang. Sekaligus menyedihkan. Padahal mengosong ‘jauf’ (rongga perut) dari sesuatu yang haram demi meraih keutamaan shalat, bukanlah perkara mustahil. Hanya diperlukan sedikit tekad dalam jiwa, agar selalu menghindari harta-harta yang tidak jelas juntrungnya, agar tidak membiasakan diri dengan ‘uang kopi’ yang selalu menggelapkan mata hati, agar menahan diri dari terlalu mengharapkan porsi lebih dari yang telah diporsikan tiap bulannya.  Masih terlalu melimpah yang baik-baik tersedia dalam alam jagat raya ini untuk menjaga agar jiwa tetap berada dalam kefitrahannya.
Salah satu yang sangat didambakan dari dampak baik shalat adalah menjauhkan mushalli dari segala bentuk kemungkaran, sebagaimana pernyataan Allah swt berikut ini:

إِنَّ الصلاة تنهى عَنِ الفحشآء والمنكروَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ
Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS:Al-‘Ankabut:45).
Keutamaan yang sangat agung dan telah ditargetkan dari mendirikan shalat ini, tidak semua orang bisa mendapatkannya. Terbukti dari kenyataan, bahwa tidaklah setiap orang yang mau menunaikan shalat terjauhi dan terhindari dari setiap kekejian. Salah satu dari factor penyebabnya, dan ini merupakan yang paling berat dan utama, adalah menjalarnya harta-harta haram dalam aliran darahnya. Darah dan gizi yang bersumber dari harta haram menjadikan shalat tidak bermakna sama sekali dan tidak mempengaruhi para mushallinya. Karena kekejian akan melahirkan kekejian pula. Mustahil kekejian menerbitkan kebaikan. Dan yang sangat mengerikan sekali adalah ketika telah berada di akhirat, yang mana seluruh amal ibadah luruh tidak berarti sama sekali, seperti tulisan Muhammad bin Utsman Azd-Dzahaby dalam kitab ‘Al-Kaba-ir’:

روي عن رسول الله صلى الله عليه و سلم أنه قال  يؤتى يوم القيامة بأناس معهم من الحسنات كأمثال جبل تهامة حتى إذا جيء بهم جعلها الله هباء منثورا ثم يقذف بهم في النار فقيل يا رسول الله : كيف ذلك ؟ قال : كانوا يصلون و يصومون و يزكون و يحجون غير أنهم كانوا إذا عرض لهم شيء من الحرام أخذوه فأحبط الله أعمالهم )الكبائر – الذهبي(
Diriwayatkan dari Rasul saw, sesungguhnya beliau bersabda: “Pada hari kiamat nanti, seluruh manusia dihadirkan bersama-sama dengan kebaikan mereka yang sebesar gunung di daerah Tuhamah. Tetapi, ketika semua kebaikan itu dibawa ke hadapan mereka, Allah swt menjadikannya debu yang berhamburan, dan dilemparkannya bersama-sama dengan pemiliknya ke dalam neraka”. Ada yang bertanya: “Ya, Rasulullah saw, mengapa seperti itu?” Rasul saw menjawab: “Sekalipun mereka mengerjakan shalat, menunaikan zakat dan melaksanakan haji, tetapi apabila dibawakan sesuatu yang haram kepada mereka, mereka mengambilnya juga. Karena itu, seluruh amal mereka dihapus oleh Allah swt”.
Nah, dampak sangat luar biasa ini hanya disebabkan oleh perkara yang telah mentradisi dalam kalangan manusia, kebanggaan atas harta haram. Tradisi dan kebanggaan ini bukanlah perkara yang mustahil ditinggalkan, hanya dibutuhkan sedikit tekad, lebih-lebih kalau mau membayangkan efek yang sangat dahsyat seperti paparan di atas.
قد روي عن يوسف بن أسباط رحمه الله قال : إن الشاب إذا تعبد قال الشيطان لأعوانه : انظروا من أين مطعمه فإن كان مطعم سوء قال : دعوه يتعب و يجتهد فقد كفاكم نفسه إن إجهاده مع أكل الحرام لا ينفعه
Sesungguhnya telah diriwayatkan dari Yusuf bin Asbath rh: bahwa seorang pemuda apabila melakukan suatu ibadah, setan memerintahkan kepada anak buahnya: “periksalah, darimana makanannya?”. Kalau kebetulan makanannya busuk (haram), setan berkata lagi: “biarkanlah dia, dia hanya bermain-main dan bersungguh-sungguh. Telah cukup hanya dengan dirinya sendiri, karena sesungguhnya kesungguhannya dengan makanan haram tidak mendatangkan manfaat apapun baginya. (Lihat kitab ‘Al-Kaba-ir’).
Lihatlah, setan saja tahu, bagaimana pengaruh makanan haram bagi ibadah yang dilakukan oleh manusia, sampai-sampai setan merasa terbantu dan ringan dalam mengemban tugasnya merusak ibadah manusia, sehingga orang-orang pengunyah harta haram tidak perlu lagi dirayu untuk dihancurkan nilai ‘ubudiyyahnya yang agung, cukup sudah dengan makanan haramnya sebagai penghancur seluruh ketaatannya kepada Allah swt. Artinya, pemakan harta haram telah sejalur dan semisi dengan setan. 






  1. TERTOLAKNYA SEDEKAH

K
erugian memakan harta haram bukan hanya merusak pahala sebagian ibadah saja, tetapi mencakup seluruh aspek ibadah. Berikut kita lihat kenyataannya:
لا يقبل الله صلاة بغير طهور، ولا صدقة من غلول )) رواه مسلم
Allah swt tidak menerima shalat yang tidak dalam keadaan suci dan tidak menerima sedekah dari harta hasil pengkhianatan (korupsi). (HR. Muslim).
Masalahnya, ketika harta haram merasuki dan mengotori harta halal, semuanya telah berstatus haram selama belum dipisahkan yang haramnya. Lalu kemudian, menginfakkannya untuk mendapat kelebihan bersedekah dengan niat akan memetiknya di akhirat kelak. Disinilah berlaku pepatah indatu: ‘lage tapreh boh ara hanyot’. Sangkaan, bahwa dapat meraih keuntungan ganda kelak, sama sekali kosong melompong. Sangat menyedihkan sekali. Atau, dengan sedekah yang dijanjikan dapat suaka dari turunnya musibah, malah mungkin sebaliknya. Musibah akan datang menghakimi kepencuriannya. Hukuman yang diberikan kadang-kadang menimpa mentalnya, dimana dia selalu dirasuki perasaan tidak cukup di seluruh jengkal hidupnya, sehingga seluruh daya otot dan otaknya dikerahkan memenuhi kebutuhan yang telah terpenuhi. Inilah sebesar-besar malapetaka untuk umat manusia, seperti pernah Allah swt timpakan kepada bangsa Yahudi. Kadang-kadang musibah menyerang fisiknya, dimana penyakit kelebihan gizi merongrong sisa hidupnya. Duo manis, darah dan kencing, menerkam imunitas tubuhnya, disertai juga implikasinya, seperti diabetes mellitus, strok dan lain-lain.
Semua kemudharatan ini boleh jadi bersumber dari harta haram, disamping menghambat datangnya pahala yang cukup menggiurkan. Pahala yang kita butuhkan kelak saat kita menjalani kehidupan abadi di akhirat adalah keniscayaan mengumpulkannya sekarang ini. Untuk tujuan itu, Allah swt telah merangkai syariat yang selalu berujung dan membuahkan pahala. Tetapi tubuh yang tumbuh dari harta haram, haram mendapatkan anugerah pahala dariNya. Menyikapi ini, Imam Ghazali membuat suatu perumpamaan yang indah:    
قال الغزالي العبادة مع أكل الحرام أو لبسه كالبنيان على الرمل
Imam Ghazali berkata: ‘Ibadah yang disertai makanan atau pakaian haram adalah ibarat mendirikan bangunan atas tumpukan pasir’. (Lihat kitab ‘Taisir bi Syarhil Jami’ish Shaghir’).
Kita bisa membayangkan hal-ihwal bangunan di atas hamparan pasir, selalu oleng dan tidak kokoh menancap. Suatu saat nanti bangunan akan roboh dan ambruk terkapar atas tanah. Tidak menyisakan apapun selain penyesalan. Penyesalan akan kekejian perbuatan diri, yang tidak mengindahkan rambu-rambu Allah swt dalam pemilahan makanan halal dan haram. Bangunan di atas pasir adalah ilustrasi ibadah yang tak berguna sama sekali bagi pelakunya, hanya kesia-siaan belaka. Dan, pelakunya termasuk ‘orang tidak akur’, karena mau bersusah-payah dan menghambur-hamburkan uang untuk membangun bangunan atas ‘anoe gasui’, yang siapapun bisa memprediksi bangunan itu tidak akan bertahan sedetikpun.








  1. JAHATNYA POLA PIKIR

N
ah, ketidakberesan ini adalah cerminan jiwanya yang dipengaruhi oleh pengonsumsiannya akan makanan yang haram. Artinya, makanan yang haram melahirkan ide-ide yang haram pula, mustahil muncul pikiran brilian yang bermanfaat untuk kehidupannya, lebih-lebih kehidupan keagamaan dan akhiratnya. Seorang pemakan riba (bunga bank, misalnya), tidak mungkin terpikirkan hal-hal produktif-agamis, semisal membantu pembangunan dayah atau balai pengajian. Karena ide baik ini tidak mungkin terbit dari lumpur anyir harta haram, karena memang tidak ada relevansi antara keduanya. Pernahkah seekor, maaf, babi melahirkan anak sapi?
Kita lihat gubahan indah seorang ulama tentang bagaimana pemikiran seseorang yang dirasuki oleh makanan haram:

وقال سيدي علي الخواص رضي الله عنه: (اعلم أن المدد الذي لم يزل فياضاً على قلب كل إنسان ويتلون بحسب القلب، والقلب يتلون بحسبه هو بحسب صلاح الطعمة وفسادها

Saidy ‘Ali Al-Khawash ra berkata: ‘Ketahuikanlah, material yang senantiasa mempengaruhi hati setiap manusia, yang manusia selalu membaca menurut hatinya, yang hati selalu membaca menurut dorongan tersebut adalah tergantung baik-buruk makanannya. (Lihat kitab ‘Taisir bi Syarhil Jami’ish Shaghir’).

Ternyata pola pikir sangat bergantung kepada asupan dan supplay gizi kepada otak dari makanan yang dikonsumsi setiap insan. Jalur pikir seseorang dibentuk oleh pola makannya. Baik (halal) dia makan baik pula jalan pikirannya. Sebaliknya, buruk (haram) makanannya buruk dan jahat pula arah perjalanan otaknya. Makanya, dalam sebuah musyawarah mengenai kemeslihatan masyarakat tidak akan menyimpulkan poin-poin keberpihakan kepada masyarakat bila para peserta musyawarahnya adalah mereka yang sibuk mencari solusi bagaimana menambah harta haram lebih banyak lagi. Kalaupun tetap mengatasnamakan masyarakat, itu hanya sekedar ‘lempar batu sembunyi tangan’. Bukan kepentingan rakyat banyak, tapi untuk kebutuhan ‘rakyat’ (dalam tanda kutip) yang telah terjamin kebutuhannya oleh rakyat dan Negara. Bukan kepentingan rakyat yang dimusyawarahkan, tapi rakyat yang bermusyawarah. Banyak program yang bertitel rakyat diluncurkan, namun tetap tidak terlepas dari ‘ada udang di balik batu’. Sekalipun setiap bulan mendapat jatah hidangan sate kambing yang disembelih secara syariat sebagai konpensasi dari kerjanya, tetapi masih juga terasa lebih enak sate bangkai kambing yang dijajakan dalam lorong-lorong kegelapan. Pertanyaan menggelitiknya adalah, mengapa keanehan dan ketidaklogisan ini sampai terjadi? Atau, mengapa pemikiran selalu mengarah ke kejahatan? Jawaban salah satunya adalah pola pikirnya telah digerakkan oleh aliran darah dan gizi haram yang memenuhi otaknya. Kita bisa melanjutkan pertanyaan yang senada. Mengapa tidak terpikirkan muatan agamanya dalam setiap kebijakan di bumi syariat? Ada apa dengan seseorang yang mengikrarkan keislamannya tapi tidak berorientasi kepada Islam? Mengapa ketika, katanya, sedang  terjadi kekeringan anggaran, tapi hanya berlaku untuk pos-pos keagamaan, sedangkan pos-pos non-agama kebanjiran dana? Temukan jawaban salah satunya, harta haram bergentayangan dalam setiap sudut tubuh manusia. Ini pula yang disinyalir oleh hadits Rasul saw berikut ini:
عن أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ قَالَ: قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَخَطَبَ النَّاسَ فَقَالَ لَا وَاللَّهِ مَا أَخْشَى عَلَيْكُمْ أَيُّهَا النَّاسُ إِلَّا مَا يُخْرِجُ اللَّهُ لَكُمْ مِنْ زَهْرَةِ الدُّنْيَا فَقَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَأْتِي الْخَيْرُ بِالشَّرِّ فَصَمَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَاعَةً ثُمَّ قَالَ كَيْفَ قُلْتَ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَأْتِي الْخَيْرُ بِالشَّرِّ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْخَيْرَ لَا يَأْتِي إِلَّا بِخَيْرٍ أَوَ خَيْرٌ هُوَ إِنَّ كُلَّ مَا يُنْبِتُ الرَّبِيعُ يَقْتُلُ حَبَطًا أَوْ يُلِمُّ إِلَّا آكِلَةَ الْخَضِرِ أَكَلَتْ حَتَّى إِذَا امْتَلَأَتْ خَاصِرَتَاهَا اسْتَقْبَلَتْ الشَّمْسَ ثَلَطَتْ أَوْ بَالَتْ ثُمَّ اجْتَرَّتْ فَعَادَتْ فَأَكَلَتْ فَمَنْ يَأْخُذْ مَالًا بِحَقِّهِ يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ وَمَنْ يَأْخُذْ مَالًا بِغَيْرِ حَقِّهِ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الَّذِي يَأْكُلُ وَلَا يَشْبَعُ. البخاري
Dari Abu Sa’id Al-Khudry ra, beliau mengisahkan: Rasulullah saw berdiri berpidato kepada manusia, maka beliau bersabda: “Tidak! Demi Allah! Tidaklah aku takuti menimpa atas kalian kecuali keindahan dunia yang dikeluarkan oleh Allah swt bagi kalian semua”. Seorang laki-laki bertanya: “Ya, Rasulullah saw, apakah akan datang kebaikan dengan keburukan?”. Rasul saw terdiam sejenak. Lalu bertanya: “Bagaimana kamu tanya barusan?”. “Tadi aku bertanya, apakah akan datang kebaikan dengan keburukan?” jawab laki-laki tadi. Rasul saw menjawab: “Sesungguhnya kebaikan tidak akan melahirkan kecuali kebaikan. Apakah kebaikan adalah kebaikan? Sesungguhnya setiap tanaman yang ditumbuhkan air hujan dapat atau nyaris menghancurkan pencernaan seseorang, kecuali binatang pemakan dedaunan hijau, yang apabila menyantap sampai memenuhi dua lambungnya dia menghadap matahari, lalu berak dan kencinglah. Setelah itu, melakukan mamahbiak, mengulangi dan makan lagi. Maka, barangsiapa yang mengambil harta haknya, hartanya menjadi berkat untuknya. Dan, siapa yang mengambil bukan haknya, itu ibarat (binatang) yang selalu makan tapi tidak pernah kenyang. (H.R Bukhari)  
Kalimat ‘Sesungguhnya kebaikan tidak akan melahirkan kecuali kebaikan menunjuk kepada, bahwa kebaikan hanya mungkin keluar dari kebaikan pula. Sulit sekali rasanya mengharapkan kebijakan religious bisa ditelorkan oleh mereka yang bergelimang harta haram. Tidak akan terpikirkan oleh orang yang terlanjur korupsi kecuali korupsi selanjutnya. Dan, kelanjutan korupsi ini tidak akan pernah berhenti, seperti ungkapan Nabi saw di atas: ‘Dan, siapa yang mengambil bukan haknya, itu ibarat (binatang) yang selalu makan tapi tidak pernah kenyang’. Inilah malapetaka yang sangat dahsyat!




d.      KABURNYA BISIKAN HATI
A
kibat yang paling parah melanda pemakan-pemakan harta haram adalah ketika tidak sanggup lagi membedakan suara hati, mana yang baik dan mana yang jahat, seperti yang disimpulkan berikut:    
قال بعضهم: (من لا يعرف ما يدخل بطنه لا يفرق بين الخواطر الربانية والشيطانية).
Beberapa ulama berkata: ‘Orang-orang yang tidak tahu makanan apa (halal atau haram) yang masuk dalam perutnya, maka dia tidak sanggup membedakan antara ‘khathir rabbaniy’ (bisikan jiwa dari Tuhan = ilham) dan ‘khathir syaithaniy’ (bisikan setan). (Lihat kitab ‘Taisir bi Syarhil Jami’ish Shaghir’).
Ketidaktahuannya dipicu oleh karena berbaur hartanya antara halal dan haram, sehingga sangat sulit dibedakan antara keduanya. Sedianya hartanya begitu jauh dari kekotoran. Namun dalam perjalanan selanjutnya, hartanya telah terkontaminasi dengan kebanggaan masa kini, harta haram. Maka, seluruh kekayaannya berstatus haram, kecuali dipisahkan dulu seukuran haramnya, agar yang tersisa bisa disebut halal dengan meyakinkan. Kalau tidak, maka setiap suap berarti menelan harta haram. Akibat fatalnya, tidak punya kemampuan menentukan nilai impulse (suara hati)nya, apakah dorongan baik atau jelek, apakah berasal dari ilham atau tipuan setan. Semuanya menjadi samar-samar. Padahal manusia bergerak selalu dimotori oleh suara jiwanya. Akhirnya, karena tidak mampu memilah lagi, segala ‘khatir’ hatinya dijadikan pedoman dan pemandu menggerakkan seluruh anggota badannya. Dan, pada saat terjerumus dalam kemungkaran dari bisikan hatinya, dia tidak menyadarinya itu adalah kemurkaan Allah swt. Karena penilaiannya telah menjadi kabur dikaburkan oleh konsumsinya akan harta haram yang menyerang jantung hatinya. Dan, dengan itu meredupkan kemilau nur iman dari hati sanubarinya. 
Lebih jauh lagi, dalam kitab Tafsir ‘Al-Bahrul Madid’ dilukiskan akibat dari memakan harta haram sebagaimana berikut ini:
“Orang-orang yang memakan makanan haram, seperti riba dan semisalnya, tidak akan melakukan aktivitasnya yang hak kecuali melakoninya persis orang gila yang dipermainkan oleh setan, yang tidak mengerti apa yang dikatakannya dan yang dikatakan kepadanya. Haram bagi mereka merasakan kelezatan ‘munajah’ (mengadu kepada Allah swt) dan kemanisan ihklas beramal”.
Selanjutnya ditulis:
“Diantara perlakuan Allah swt kepada hambaNya, barangsiapa mencari lebih pada urusan lahir (fisik)nya, maka Allah swt akan meredupkan cahaya batin (iman)nya. Dan, siapa saja yang mencegah lebih pada materi lahiriyyahnya, maka Allah swt akan menguatkan segala materi batinya”.
Pada bagian lain kitab itu, termaktub:
“Fondasi utama kebersihan aktivitas seseorang adalah bergantung kepada kesucian setiap suapannya. Siapa saja yang bersih makanannya, maka suci kegiatannya. Siapa saja bersih kegiatannya, maka kebersihannya itu mempengaruhi hatinya. Apabila keruh suapannya, keruh pula aktivitasnya. Dan, orang yang keruh aktivitasnnya, maka keruh pula hatinya”.
Dalam kitab itu, dinukilkan pula:
Segelintir ulama berpendapat: “Barangsiapa memakan yang halal, maka dia akan senantiasa taat kepada Allah swt, suka atau tidak. Dan, orang-rang yang memakan yang haram, dia senantiasa mungkar kepadaNya, suka atau tidak”.
Berbagai kenyataan di atas, mengantarkan kita kepada sebuah pemahaman, bahwa bahaya yang dititipkan makanan haram dalam tubuh manusia sungguh sangat mengerikan sekali. Kecuali sanggup merubah tingkah polah seseorang ke arah kemungkaran yang sangat dahsyat sekali, juga men’scent’kan setiap hati dan pikiran untuk selalu mengambil jalan yang dipenuhi oleh ‘khatir syaithaniy’, na’uzubillah minzalik. Ini pula yang disinggung oleh Rasul saw dalam sabdanya berikut ini:
  عن أبي هريرة رضي اللّه عنه عن النّبيّ صلّى اللّه عليه وسلّم قال ليأتينّ على النّاس زمان لا يبالي المرء بما أخذ المال، أمن الحلال أم من حرام( البخاري
Dari Abu Hurairah ra dari Nabi saw bersabda: “Akan datang suatu masa melanda manusia, di mana mereka tidak menghiraukan lagi harta apa yang diambilnya, apakah bersumber dari yang halal atau yang haram”. (HR. Bukhari). 
Rasul saw telah memprediksikan ‘peukateun’ umatnya pada ujung masa kelak. Sesuatu yang telah masuk dalam ‘ramalan’ beliau adalah perkara yang mengerikan yang mesti diwaspadai oleh umatnya. Kalau tidak, tidak ada gunanya beliau memperingatkannya terlalu dini sebelum saatnya tiba. Artinya, bersikap apatis terhadap status harta, halal atau haram, akan menusuk tradisi keislaman umat beliau suatu saat nanti. Setelah seribu lima ratus tahun beliau wafat, kenyataannya tidak meleset sedikitpun dari sabdanya. Sekarang, dimana-mana mengejar harta dengan meminggirkan penilaian, halal atau haram? Selama dia bernama harta, selama itu pula selalu akan dimiliki, dikantongi, dimakan dan ditumpuk-tumpuk. Perkara, apakah halal atau haram, bukanlah merupakan suatu yang mesti dan penting dipertimbangkan. Dari pikiran seperti inilah lahirnya motto sesat menyesatkan: ‘Jangankan yang halal, yang haram saja sulit diperoleh’. Motto ini, kecuali berpotensi memadamkan nur keimanannya, juga gambaran dari teori yang terpahami dari hadits ‘tidak ada yang keluar dari haram kecuali keharaman’. Sekali memakan yang haram selamanya akan memburu yang haram.




e.       TERTOLAKNYA DOA
D
ampak dari makan harta haram, belum akan berhenti sampai disitu. Tetapi juga akan terus bergelinding meluluh-lantakkan sisi-sisi kehidupan keagamaan yang lainnya. Doa, yang merupakan ‘otaknya ibadah’, juga tidak luput dari efek dahsyatnya harta haram. Kita ikuti paparan Rasul saw di bawah ini:
وقال: يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّباتِ ما رَزَقْناكُمْ (البقرة/ 172) ثمّ ذكر الرّجل يطيل السّفر. أشعث أغبر. يمدّ يديه إلى السّماء. يا ربّ! يا ربّ! ومطعمه حرام، ومشربه حرام، وملبسه حرام، وغذي بالحرام، فأنّى يستجاب لذلك؟مسلم
Rasulullah saw mengutip firman: ‘Wahai, orang-orang beriman, makanlah yang baik-baik (halal) dari apa yang telah kami rezekikan kepada kamu’ (QS:Al-Baqarah:172). Lalu beliau menyebut kisah seorang laki-laki yang telah menempuh perjalanan panjang. Rambutnya kusut dan tubuhnya penuh debu. Lalu menadahkan tangannya ke langit, dan berkata: “Ya, Rabbi, ya, Rabbi!”. Padahal, makanannya, minumannya, pakaiannya dan kenyangnya dengan harta haram, bagaimana mungkin doanya bisa dikabulkan? (HR.Muslim).
Katakanlah dengan fasilitas hidup yang dimilikinya, doa-doa kurang dibutuhkan dan jarang dilakukan. Tetapi, akan ada kondisi dimana doa hanya menjadi andalan satu-satunya. Saat itu, harta tidak bisa berbicara banyak, jaringan social yang pernah digagas tidak bisa membantu. Jasa yang pernah ditebarkan tidak juga mendatangkan manfaat. Salah satunya, saat sakit kronis menimpa, misalnya. Dokter ahli caliber duniapun sudah tidak sanggup menolong lagi, dan berkata: ‘pasrahkan saja dan banyak berdoa’. Disini seorang dokter juga mengeluarkan naluri asli setiap manusia: ketidakberdayaan. Dan, dia memberi resep terakhir: berdoalah. Hanya doa yang bisa diharapkan ketika hanya kursi roda yang sangat dibutuhkan dan satu-satunya yang berguna diantara tumpukan kekayaan. Panjatan doa adalah kegiatan rutin mengiringi hari-hari menanti tibanya vonis sang dokter, bahwa penyakit Anda mustahil bisa disembuhkan secara medis.
Dan, alangkah tidak beruntungnya seseorang, disadari atau tidak, bila ternyata doanyapun yang sangat diandalkan tidak bermanfaat sama sekali baginya hanya gara-gara kehidupan masa lalunya sibuk dengan menjarah, menjarah dan menjarah yang bukan haknya. Dalam kondisi sakit-sakitan sebenarnya seseorang kalau berdoa sangat ikhlas dan khusyu’ dan benar-benar muncul rasa ingin taubat dari hatinya yang paling dalam. Tetapi doa dan taubatnya ditolak dan terhalang oleh harta kekayaannya yang nyaris semuanya haram. Bagaimana mungkin doa yang keluar dari hati, meluncur dari mulut, memanjat dari rumah, terbit dari balik pakaian yang semuanya berasal dari harta yang haram? Sedangkan doanya yang diharapkan akan diijabahkan oleh Yang Maha Baik keluar dari tumpukan kebusukan. Mana mungkin menghidangkan bangkai kepada seorang ulama, misalnya. Ketidakmakbulan doa telah dipastikan juga oleh Ibnu Rajab.  
قال ابن رجب رحمه اللّه «أكل الحرام وشربه ولبسه والتّغذّي به سبب موجب لعدم إجابة الدّعاء
Ibnu Rajab ra berkata: ‘Memakan, meminum, mengenakan pakaian dan kenyang dengan harta haram adalah suatu keniscayaan sebab doa tidak diijabah’.
Harapan akan diterimanya doa telah sirna selamanya selama masih ada setetes darah haram mengalir dalam tubuh seorang mukmin. Dan, itu berarti melewatkan dan mengabaikan kesempatan bertaubat selamanya. Karena taubat adalah salah satu dari bentuk permintaan (doa) hamba kepada sang Khalik. Lebih jelasnya, kita lihat sabda ini:
وروي أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : "ثلاثة لا يستجاب دعاؤهم : آكل الحرام ، ومكثر الغيبة ، ومن كان في قلبه غل أو حسد للمسلمين الكتاب : الجامع لأحكام القرآن
Dan diriwayatkan, bahwa Rasulullah saw bersabda: “Tiga orang tidak diterimanya doa mereka; pemakan haram, yang banyak mengupat dan orang yang dalam hatinya ada dendam atau dengki bagi muslimin”. (Lihat kitab ‘Jami’ lil Ahkam Al-Quran).
Pemakan harta haram berada pada posisi nomor satu dalam deretan orang-orang yang tidak dikabulkan doanya, suatu indikasi yang juga merupakan nomor satu pembawa kerusakan akan amal ibadah manusia. Indikasi kontraproduktif ini menjadi sangat meyakinkan manakala Rasulullah saw menjadikan ‘makanan haram’ sebagai satu-satunya penghalang doa memanjat ke langit dalam hadits berikut ini:
عن أنس رضي الله عنه قال قلت يا رسول الله : ادع الله أن يجعلني مستجاب الدعوة فقال صلى الله عليه و سلم : يا أنس أطب كسبك تجب دعوتك فإن الرجل ليرفع اللقمة من الحرام إلى فيه فلا يستجاب له دعوة أربعين يوما الطبراني
Dari Anas ra berkata: aku berkata kepada Rasul saw, ”ya, Rasulullah saw, mintalah kepada Allah swt agar aku dijadikan sebagai orang yang dikabulkan doa”. Rasul saw menjawab: “wahai, Anas, baguskan penghasilanmu maka doamu akan diterima, karena sesungguhnya seorang laki-laki yang mengangkat sesuap makanan haram ke mulutnya tidak akan diijabahkan doanya selama 40 hari lamanya”. (HR. Tabrany).
Vonis yang dijatuhkan Rasulullah saw ini sangat merugikan bagi mereka yang mengidap penyakit kronis mencintai harta haram, sehingga kesembuhannyapun sangat sulit diupayakan, karena ketika suatu penyakit yang telah berada pada stadium kronis dan orangnya tidak menganggap itu sebagai penyakit mengerikan, maka tidak mungkin mereka berdiri pada posisi seorang pesakitan, malah sebaliknya, berkeyakinan sedang berada pada puncak kesehatan yang prima. Rasa-rasanya, kalau seperti ini terus-menerus, mustahil keluar dari lingkaran setan harta haram. Selanjutnya, na’uzubillah, tinggal hanya mengambil satu pojok dari belantara neraka.

f.       TERJAMINYA TEMPAT DALAM NERAKA
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْماً إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَاراً وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيراً
S
esungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). (QS: An-Nisak:10).
Memakan harta anak yatim, salah satu harta yang diharamkan oleh agama, berarti telah membangun satu tempat gratis dalam neraka, suatu tempat yang diperintah Allah swt untuk dijauhi sejauh-jauhnya. Semua orang sepakat, setelah mengetahui ilustrasi neraka dari informasi Allah swt dalam Al-Quran, bahwa neraka, dengan seluruh jurang di dalamnya, sangat mengerikan sekali. Dan, sepakat pula mesti dihindari secara naluri kemanusiaan. Tetapi jarang disepakati untuk tidak menempuh jalan-jalan yang bermuara ke jurang neraka. Sehingga, banyak orang yang sangat takut kepada neraka, tapi sangat gembira, malah berpesta, dengan makan makanan haram. Padahal, sekalipun makanan haram bukan api membara seperti neraka, tapi merupakan sedang merintis jalan ke salah satu lembah gelap neraka. Dan, konsekwensinya, surga menjadi sesuatu yang haram diperolehnya, sementara atau abadi selamanya. Ini terpahami dari hadits Rasul berikut:

عَنْ أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ حَفِظَ مَا بَيْنَ فُقْمَيْهِ وَفَرْجَهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ الحاكم(
Dari Abu Musa Al-Asy’ary, beliau berkata: Bersabda Rasulullah saw: “Barang siapa yang mampu menjaga organ diantara dua dagunya (mulut dari yang haram) dan kemaluannya (dari zina), maka dia masuk surga”. (HR. Hakim).

Mafhum mukhalafah’ (pengertian tersirat) dari hadits ini, tidak mampu menjaga dua organ, mulut dan kemaluan dari yang diharamkan, berarti menyeberang jalan ke neraka, karena tidak ada tempat ketiga di akhirat kelak selain surga dan neraka. Menyuap najis ke mulut sama dengan memilih menjadi penghuni neraka. Menandatangani selembar kertas berisi daftar pembekakan harga itu sama persis dengan sedang mengisi formulir pendaftaran masuk neraka. Mengerjakan proyek jalan yang jauh dari butir-butir draf yang telah disediakan, itu pula berarti mengerjakan proyek jalan menuju ke neraka. Lebih tegas Rasu saw dari hadits di atas, beliau bersabda:   

و في صحيح البخاري : أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال إن رجالا يتخوضون في مال الله بغير حق فلهم النار يوم القيامة
Dalam kitab Sahih Bukhari: sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya orang-orang yang ‘menyelam’ dalam harta karunia Allah swt yang bukan haknya, baginya neraka jahannam di hari kiamat kelak”.
Hadits ini sangat jelas tentang didapatkannya satu tiket jatah neraka oleh orang yang berjaya dan membiaya hidupnya dengan bukan miliknya. Kepemilikan atas hartanya melalui jalur illegal secara syariat, mengantarkannya ke ‘kenyamanan’ neraka yang ‘didambakan’ oleh akal-pikiran yang sehat. Meragukan kedahsyatan azab neraka, pertama, keluar dari keteduhan Islam. Kedua, keluar dari kecerdikan seorang manusia yang diunggulkan atas makhluk lain. Karena, logika manusia berbicara, katakanlah sebuah informasi bersifat memperingati kurang dapat dipercayai dengan berdasar atas segala dalihnya, lalu apa ruginya untuk memberi sedikit perhatian kalau-kalau memang ada benarnya, karena ketidakjadiannyapun bukan suatu perkara yang pasti pula. Keragu-raguan sebenarnya bisa ditepis dengan melihat membanjirnya berita tentang hal yang sama. Salah satunya, untuk meyakinkan kita, hadits berikut:     
عن كعب بن عجرة رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم لا يدخل الجنة جسد غذي بالحرام و إسناده صحيح قال العلماء رحمهم الله : و يدخل في هذا الباب : المكاس و الخاتن و الزغلي و السارق و البطال و آكل الربا و موكله و آكل مال اليتيم و شاهد الزور و من استعار شيئا فجحده و آكل الرشوة و منقص الكيل و الوزن و من باع شيئا فيه عيب فغطاه و المقامر و الساحر و المنجم و المصور و الزانية و النائحة  و الدلال إذا أخذ أجرته بغير إذن من البائع و مخبر المشتري بالزائد و من باع حرا فأكل ثمنه الكتاب : الكبائر المؤلف : محمد بن عثمان الذهبي

Dari Ka’ab bin ‘Ujrah ra, berkata: bersabda Rasulullah saw: “Tidak akan masuk surga seonggok badan yang dikenyangkan dengan yang haram. Sanad hadits ini sahih. Beberapa ulama, semoga Allah swt merahmati mereka, mengomentari hadits ini: ‘masuk dalam bab ini (makanan haram) pemungut pajak illegal, pengkhianat kepercayaan (para koruptor), penipu (pelaku hipnotis, misalnya), pencuri (mengambil tidak diketahui pemiliknya), preman (pemerasan), pemakan riba (bunga bank atau melebih pembayaran utang, misalnya), penyuruh melaksanakan riba, pemakan harta anak yatim, saksi palsu yang diupah, orang yang meminjam lalu mengingkarinya, pemakan sogok (jajaran birokrasi, misalnya), orang yang mengurangi takaran dan timbangan, penjual barang rusak yang ditutup-tutupi, para penjudi, penyihir (orang ‘meurajah’ dengan kerasukan, misalnya), tukang ramal, tukang ukir (pembuat patung, misalnya), para pelacur (menjual jasa kemaluan), orang meratapi mayat, makelar (agen) yang mengambil uang jasa tanpa izin dari penjual (pemilik)nya dan tidak memberitahukan pembeli atas harga yang lebih, penjual manusia merdeka (trafficking) lalu memakan harganya. (Lihat kitab ‘Al-Kaba-ir’).
Melihat deretan alur yang mengaliri harta-harta haram yang begitu banyak, dan semuanya mengepung kehidupan kita, sungguh-sungguh sangat mengkhawatirkan kita kalau-kalau kita terjerumus ke salah satunya. Hampir-hampir mustahil kita dapat terhindar dari perangkap-perangkap Iblis itu. Apalagi kita yang hidup di ujung zaman ini, di mana kosa kata ‘haram’ nyaris hilang dari wilayah percakapan manusia. Dan, kalau sesekali kata itu terucap lidah manusia, itu hanya dialamatkan kepada daging babi dan anjing saja, bukan kepada hasil korupsi, manipulasi ataupun hasil jarahan-jarahan yang lain. Tetapi, Allah swt Maha Bijaksana, tidak mungkin melarang sesuatu yang sukar dihindari, apalagi sampai ke tingkat ‘mustahil’ terjadi. Tidak.
Hanya tergantung kepada bagaimana dan dengan apa kita melihat objek harta haram, apakah sebagai sesuatu yang harus diraih, dan apakah dengan kacamata ketamakan, atau sebagai momok yang menakutkan yang mesti dijauhi, dan dengan kacamata iman yang bahwa rezeki telah dibagi-bagi menurut forsi masing-masing, bahwa rezeki ada yang halal dan juga ada yang haram. Mari kita lihat sudut pandang para sahabat terhadap harta atau makanan yang haram:
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال : لأن يجعل أحدكم في فيه ترابا خير من أن يجعل في فيه حراما
Dari Abu Hurairah ra, beliau berkata: “Sungguh seseorang kamu menjadikan (menyuap) tanah ke mulut, itu lebih baik daripada menyuapkan harta haram”. (Lihat kitab ‘Al-Kaba-ir’).
Perkataan sahabat yang mulia ini boleh dimaknai secara lahiriyyahnya, bahwa daripada memakan makanan haram masih lebih baik memenuhi mulut dengan bongkahan tanah hitam menjijikkan sekalipun. Karena penalaran mereka menjangkau jauh ke depan, ke efek yang ditimbulkannya, baik di dunia ataupun di akhirat. Pikiran brilian mereka tidak sangat mementingkan kejayaan sesaat di kehidupan ini, tapi dalam alam pikiran mereka terlukis gambaran-gambaran kehidupan abadi kelak setelah terjadi kebangkitan secara massal. Karena, di sanalah hakikat kehidupan menunggu setiap manusia.
Boleh juga maksud dari Abu Hurairah ra diartikan dengan makna kiasannya, bahwa tanah adalah symbol kematian, seperti ungkapan ‘berkalang tanah’, yang menunjukkan beliau lebih memilih mati daripada memakan harta haram. Sikap beliau ini sangat kontras dengan kelakuan umat Islam sekarang ini, ‘lebih baik hidup walau dengan harta haram’. Mengapa sesama umat Islam bisa berbeda anutan seperti cahaya dan kegelapan? Karena berbeda ‘kacamata’ yang dikenakan. Abu Hurairah ra lebih memilih dan menyukai kacamata iman daripada kacamata reben berwarna hitam ketamakan.
Kacamata favorit Abu Hurairah ra adalah juga andalan Abu Bakar ra. Hal ini terlukis dari suatu kisah tentang keutamaan beliau termaktub dalam kitab ‘Al-Kaba-ir’ karya Muhammad bin ‘Utsman Azd-Zdahaby:  
Dari Zaid bin Arqam, beliau bercerita: Abu Bakar memiliki seorang budak yang selalu menyetor pajak kepada beliau (setelah ada kesepakatan antara keduanya, agar budak menebus kemerdekaannya dengan sejumlah harta). Dan, setiap hari sibudak datang membawa setoran pajak, Abu Bakar ra selalu bertanya menyelidiki: “Darimana kamu bawakan ini semua?” Setelah itu, bila beliau mau, beliau memakannya. Bila tidak, beliau membiarkannya. Suatu malam, sibudak membawa makanan. Abu Bakar ra, yang biasanya berpuasa, berbuka puasa dengan sesuap makanan itu. Saat itu, beliau lupa menanyakan asal makanan tersebut. Baru setelah menelannya, beliau ingat pertanyaan biasanya: “Darimana kamu bawakan ini semua?” Sibudak menjawab: “Aku selalu meramal untuk manusia pada masa Jahiliyyah. Padahal aku bukan seorang ahli ramal, melainkan hanya menipu, dan makanan ini adalah dari meramal itu”. Abu Bakar ra terkesima dan berujar: “His, enyah kamu, kamu tipu aku, kamu celakakan aku!” Lalu beliau memasukkan jari-jarinya ke mulut, hingga beliau muntah-muntah, tetapi makanan itu tidak juga kunjung keluar.  Seseorang berkata: “Tidak akan keluar kecuali dengan air”. Beliau minta air dan minum sebanyak-banyaknya, sampai akhirnya beliau memuntahkan seluruh isi perutnya. Seseorang berkata: “Semoga engkau dirahmati oleh Allah swt, apakah semua ini hanya gara-gara sesuap makanan itu?” Abu Bakar ra menimpali: “Kalau saja makanan itu tidak keluar kecuali bersama nyawaku, maka sungguh akan kulakukan juga, karena aku mendengar Rasulullah saw bersabda:
    كل جسد نبت من سحت فالنار أولى به
(“Setiap badan yang tumbuh berkembang dari yang haram, maka neraka sangat layak baginya”). Dan aku sangat takut sekali kalau makanan haram ini akan berkembang dalam badanku”.(Lihat kitab ‘Al-Kaba-ir’).

Menyimak ketegasan Abu Hurairah ra dan menyaksikan perjuangan Abu Bakar ra untuk menghindari makanan haram, sudah cukup bagi siapapun untuk meluruskan jalan hidup dan menyucikan pola pikirnya dari kemungkaran berkelanjutan tanpa batas akhir hingga hayat berakhir. Dan, perjuangan gigih yang mereka perankan juga membuktikan, bahwa makanan haram yang berasal dari harta haram bukanlah perkara sepele yang boleh dianggap sepele pula, apalagi bersikap apatis. Bahwa budaya sekarang yang menganut kebebasan mutlak persis seperti hewan, termasuk dalam hal makanan, bukanlah original tamaddun Islam, tetapi hasil susupan dari makhluk ‘maghdhubi’ dan ‘dhallin’, seperti penegasan ayat berikut:

يُرِيدُونَ أَنْ يُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبَى اللَّهُ إِلَّا أَنْ يُتِمَّ نُورَهُ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ
Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan- ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahayaNya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai. (QS:At-Taubah:32).

Orang-orang kuffar menela’ah Islam dan menemukan titik kelemahan Islam. Dengan itu, mereka menyerang dan melemahkan kekuatan ibadah kaum Muslimin. Seperti Iblis, mereka juga sangat paham, bahwa ‘ma’unah’ Allah swt akan turun kepada Kaum Muslimin kalau mereka beribadah dengan benar atau makbul disisiNya. Para kuffar mendapat gelar ‘doctor’ dengan disertasi pengungkapan sisi-sisi kelemahan Islam. Atau, meraih kehormatan ‘profesor’ untuk tulisan pembeberan poin-poin kejatuhan penganut Islam. Karena itu, jangan syakwasangka kalau kuffar tidak tahu, bahwa senjata paling ampuh menjauhkan umat Islam dari syariat Islam adalah makanan haram. Dengan makanan najis ini, secara otomatis kaum Muslimin akan menghindari sendiri setiap perangkat berwarna Islam, sehingga, seperti kata Iblis, biarkanlah mereka  tetap saja beribadah. Toh, ‘ubudiyyah mereka tidak bernilai sebagai ibadah.
Lihatlah, bagaimana pasar-pasar dibanjiri produk-produk makanan impor, khususnya dari negeri-negeri kafir, laknatillah. Apakah ini semua hanya bermuatan ekonomis semata? Ayat di atas membuka hakikat masalah, juga bermuatan agamis. Dengan makanan haram, tugas keiblisan dan kekafiran menjadi sangat ringan, karena naluri kaum Muslimin sendiri terpanggil untuk memadamkan cayaha Allah swt, baik secara personal seperti enggan melakukan shalat dan lain-lain, ataupun secara kolektif terbatas seperti kesepakatan untuk tidak mengaplikasikan syariat di bumi syariat.










Oval: Ingat!
Kita tidak hanya hidup di dunia ini, tapi ada kehidupan lain yang sedang mengintip!













KESIMPULAN

H
arta-harta haram, karena cara memperolehnya bukan dengan salah satu syariat yang diperbolehkan oleh agama, yang sekarang begitu mudah bahkan sangat membudaya dalam kehidupan umat manusia mempunyai efek jelek mengajak manusia menyusuri jalan ke kiri, menjauh dari tuntunan agama dan menempuh jalan berliku penuh kegelapan yang akan berakhir ke salah satu jurang terjal neraka. Bukan hanya sekedar bertanggungjawab kepada lembaga Pemberantas Maling se-Indonesia, tapi juga menyeret manusianya menapaki jalan-jalan angkara-murka, disamping juga otak tidak mungkin diajak memikirkan hal-hal baik yang sesuai petunjuk agama.
Ketika sebuah badan susah payah dibawa ke tempat-tempat ibadah, pengajian misalnya, faktor penyebab yang mendominasinya adalah badan banyak menelan makanan haram. Sebagai seorang muslim sejati, mengapa begitu membenci pelaksanaan syariat Islam, sehingga Qanun-Qanun pendukungnyapun tidak kunjung dirancang dan dilahirkan? Kemungkinan terbesarnya boleh jadi energi yang terkandung dalam badan orang bersangkutan berasal dari harta-harta haram. Akibatnya, mustahil dia melakukan perkara-perkara baik yang beraroma wangi surgawi.
Kejauhan seorang isteri atau anak dari tuntunan agama dan lebih memilih jalan hidup melakukan kemungkaran kepada Allah swt, barangkali itu semua berangkat dari karena pasokan makanan mereka dari nafkah yang haram. Dan, mereka meniti hidup sesuai dengan potensi yang dimilikinya, yaitu mengarah ke neraka. Dan, itu berarti ‘keharusan’ bagi mereka mengambil segala bentuk kemaksiatan, agar memuluskan jalan menuju ke sana.
Ingat! Tubuh yang tumbuh dari harta haram lebih baik memang ke neraka. Na’uzubillahi minha!











Oval: BERIKUT ARTIKEL MENGENAI IMAN KEPADA KEBERADAAN MALAIKAT
























DIBALIK KEGHAIBAN MALAIKAT
الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
“(Yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka”. (QS: Al-Baqarah:3).
Salah satu tonggak keimanan dalam ranah Islam adalah meyakini hal-hal ghaib, yaitu perkara-perkara yang hanya bergantung atas informasi dari Allah swt akan keberadaannya. Dan itu, masuk di dalamnya tentang Malaikat dan hal-ihwalnya, tentang neraka dan surga serta kondisinya, dan lain-lain. Dalam kalangan manusia, hanya para Rasul saja yang pernah berjumpa dan berdialog dengan Malaikat, sehingga tidak mungkin bagi selain mereka membuktikan secara ‘hissy’ (indra) akan adanya mereka. Maka, persoalan ini sebulat-bulatnya dikembalikan dan mengandalkan petunjuk dari Allah swt semata. Allah swt berfirman:
آمَنَ الرَسولُ بِما أُنزِل إِليهِ مِن رَبِهِ وَالمُؤمِنونَ كُلٌ آَمَنَ بِاللَهِ وَمَلائِكَتِهِ
Rasul telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya,”. (QS: Al-Baqarah:285).
Apa, siapa dan bagaimana hakikat mereka, semuanya tergantung kepada penyifatan Allah swt dan RasulNya tentang mereka. Yang pasti meyakini akan adanya mereka adalah salah satu pilar keimanan dalam Islam, sehingga mengingkarinya mempunyai implikasi ‘dhalal’, sebagaimana penegasan Allah swt:
وَمَن يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَمَلَئاِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الاخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالا بَعِيدًا
Barangsiapa kufur kepada Allah swt, kepada MalaikatNya, kepada kitab-kitabNya, kepada Rasul-RasulNya dan kepada Hari Akhir (kiamat), maka sungguh sangat jelas kesesatannnya (QS;An-Nisak:136).
Vonis kesesatan ini sungguh sangat merugikan keimanan seseorang, persisnya keluar dari jalur hak yang diusung oleh Islam. Karena meragukan, apalagi menafikan keberadaan Malaikat, mendorong kepada meragukan atau menafikan keotentisitas wahyu yang diterima para Rasul. Karena, diantara mereka ada yang ditugaskan mengantarkan wahyu. Nah, ujung-ujungnya nanti dapat dipastikan wahyupun menjadi hambar dalam persepsinya.
As-Said Alawy bin Ahmad As-Saqaf dalam kitab ‘Majmu’ah Sab’ah’, menulis:
“Mengingkari keberadaan Malaikat hukumnya kafir, karena bertentangan dengan dalil-dalil qath’iyyah dari Al-Quran dan Hadits, disamping karena dapat dimaklumi dengan mudah dari agama”. (Lihat kitab Majmu’ah Sab’ah’ hal.179).
Membedah masalah Malaikat, kita akan meruang-lingkupinya dalam empat poin pembahasan, seperti tersebut dalam kitab ‘Majmu’ah Sab’ah’:
  1. DEFINISI MALAIKAT
S
ecara lektikal (lughawy), kata ‘Malaikat’ merupakan bentuk jamak dari ‘malak’ yang berarti ‘utusan’, sesuai dengan fungsi mereka sebagai ‘utusan Allah swt’. Sedangkan grametikalnya (isthilahiy), didefinisikan dengan:
هم أجسام نورانية لطيفة، قادرة على التمثل بأنواع مختلفة الشكل كاملة في العلم و القدرة علي الافعال الشاقة (مجموعة سبعة ص 178)
Malaikat adalah sosok  berbentuk cahaya halus yang punya kemampuan merubah diri ke segala bentuk yang berbeda-beda yang sempurna dalam pengetahuan dan kemampuan berbuat perkara-perkara yang sangat sukar. (Lihat kitab ‘Majmu’ah Sab’ah hal.178).
Definisi di atas disandarkan kepada salah satu Hadits berikut ini:
عن عائِشَةَ رضي الله عنها قَالَتْ: َقالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: خُلِقَتْ الْمَلَائِكَةُ مِنْ نُورٍ وَخُلِقَ الْجَانُّ مِنْ َمَارِجٍ مِنْ نَارٍ وَخُلِقَ آدَمُ مِمَّا وُصِفَ لَكُمْ . صحيح مسلم
Dari Aisyah ra berkata: bersabda Rasulullah saw: Diciptakan Malaikat dari cahaya, diciptakan jin dari lidah api, dan diciptakan Adam as dari apa yang telah disifatkan kepada kamu. (Sahih Muslim).
Menurut informasi ini, zat Malaikat diolah oleh Allah swt dari sesuatu yang bernama cahaya, bagaimana bentuk dan darimana sumber cahaya tersebut hanya Allah swt yang MahaTahu, karena tidak terbetik berita lebih dari itu semua. Dan, bukan merupakan suatu kewajiban mencari tahu sedalam-dalamnya tentang hal ini. Karena tidak mungkin kita mengetahui apabila Allah swt tidak membuka hakikat semua itu kepada kita. Jadi, cukup saja kita beriman, bahwa para Malaikat tercipta dari nur, sebagaimana Allah swt telah mengabarkannya melalui RasulNya. Apakah mungkin sosok yang hanya tercipta dari cahaya bisa memiliki kekuatan super, itupun diserahkan kepada Allah swt semata.
Memang harus diakui para ulama berbeda pendapat tentang hakikat Malaikat, sekalipun mereka menyepakati tentang satu hal: ‘Malaikat punya bentuk’. Silang pendapat ini didasari atas berbeda-berbedanya ‘shurah’ dari para Rasul yang telah melihat mereka secara langsung. Misalnya, Jibril as pernah mengunjungi Nabi saw dalam bentuk ‘Dihyatul Kalby’ (bin Khalifah, salah seorang sahabat yang terkenal dengan keberaniannya mengantar surat Rasul saw ke Kaisar Rumawi). Terkadang pula Jibril muncul dalam penampilan seorang Arab Badui seperti dalam Hadits Umar ra. Ini semua menandakan keberadaan mereka adalah perkara yang pasti, disamping sangat meyakinkan mereka punya suatu ‘bentuk’ tertentu, yaitu yang berasal dari cahaya. Tetapi sosok asli Malaikat Jibril tetaplah ‘misteri’, sekalipun Rasul saw telah menyaksikannya, seperti ungkapan Hadits berikut:
وَرَوَى أَبُو نعيم فِي دَلَائِل النُّبُوَّة من حَدِيث سَلمَة بن شبيب ثَنَا أَبُو الْمُغيرَة عَن صَفْوَان بن عَمْرو عَن شُرَيْح بن عبيد عَن النَّبِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ رَأَيْت جِبْرِيل فِي خلقته الَّذِي خلق عَلَيْهِ وَكنت أرَاهُ قبل ذَلِك فِي صور مُخْتَلفَة وَأكْثر مَا كنت أرَاهُ فِي صُورَة دحْيَة الْكَلْبِيّ
Abu Na’im dalam kitab ‘Dala-ilun Nubuyyah’ meriwayat sebuah hadits Salamah bin Syabib dari Mughirah dari ‘Amru dari Syuraih bin ‘Abid dari Nabi saw bersabda: “Aku telah melihat Jibril dalam bentuk asli penciptakannya, sebelumnya aku lihat dalam bentuk yang berbeda-beda. Kebanyakan aku melihat beliau adalah dalam sosok Dihyah Al-Kalby”.
Disini tidak terungkap keaslian sosok Jibril secara khusus dan para Malaikat secara umum, walaupun Rasul saw telah ‘menonton’ Jibril secara langsung dua kali, seperti hadits berikut ini:
 عَن عَائِشَة أَن النَّبِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ رَأَى جِبْرِيل فِي صورته مرَّتَيْنِ رَوَاهُ البُخَارِيّ
Dari Aisyah ra, bahwa Nabi saw telah melihat Jibril as dalam bentuk aslinya sebanyak dua kali. (HR. Bukhari).
Namun tetap saja bagaimana keaslian para Malaikat tidak juga terkuak dari beberapa khabar dari Rasul saw. Tetapi, disinilah keimanan akan Malaikat menjadi lebih ringan, karena tidak seharusnya mengimani sosok asli mereka. Maka, kewajiban atas mukallaf hanya mengimani keberadaan mereka saja.
Seperti halnya persoalan keberadaan mereka, juga wajib diyakini, bahwa para Malaikat itu tidak memiliki jenis kelamin tertentu sebagaimana layaknya manusia dan jin, karena tidak ada satupun informasi dari Allah swt dan Rasulnya saw yang menjelaskan tentang gender mereka, lelaki atau perempuan. Secara aqly atau naqly mereka tidak mungkin berjenis kelamin tertentu, karena gender lebih mengarah kepada suatu sarana untuk menambah populasi yang telah ada. Sedangkan, penambahan jumlah mereka tidak membutuhkan atau melalui kontak fisik antar mereka. Ini terungkap dari Hadits berikut ini:
وأخرج أبو الشيخ عن أبى سعيد عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: )إن في الجنة لنهرا ما يدخله جبريل عليه السلام من دخلة فيخرج فينتفض؛ إلا خلق الله من كل قطرة تقطر منه ملكا
Abu Syaikh mengeluarkan hadits dari Abi Sa’id dari Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya dalam surga ada sebuah sungai, yang tidak masuklah Jibril as lalu keluar menitikkan airnya kecuali Allah swt menciptakan seorang Malaikat dalam setiap tetesnya”. (Lihat kitab ‘Al-Haba-ik fi Akhbaril Mala-ik’ karangan Syaikh Sayuthi, Maktabah Syamilah).
Ternyata proses penciptaan Malaikat tidak melalui organ tubuh selayaknya manusia atau jin, tetapi secara langsung Allah swt menjadikannya, yang salah satunya lewat tetes-tetes air di tubuh Jibril. Ini bermakna, jenis kelamin bagi mereka tidak merupakan suatu keharusan, yang salah satu fungsinya untuk menambah populasi komunitasnya. Tambahan lagi, mereka bukanlah makhluk yang dibekali dengan nafsu, yang padahal alat kelamin itu salah satu saluran pelampiasannya. Mengenai ayat. yang oleh Allah swt mencela pernyataan dan keyakinan musyrikin bahwa para Malaikat anak perempuanNya, sunhanallah, tidaklah mengandung ‘mafhum mukhalafah’, bahwa seharusnya mereka anak lelakiNya. Tetapi, oleh para ulama memahami ayat tersebut dalam konteks penafian keanakan bagi Allah swt, bukan berarti gender mereka lelaki ataupun perempuan. Maka, hasil dari seluruh pelacakan para ulama, tidak ditemukan nash satupun tentang kegenderan mereka. Artinya, tidak seharusnya untuk Malaikat disebut lelaki atau perempuan, karena mereka tidak memiliki kedua-duanya, tidak secara aqly maupun naqly. Lalu persoalan selanjutnya, apakah Malaikat diciptakan sekaligus atau secara berangsur-angsur? Dalam kitab ‘Fatawa Haditsiyyah’ karya Ibnu Hajar Al-Haitamy, tertulis:
“Apakah Malaikat diciptakan sekaligus sekali cipta atau berkali-berkali?”
Beliau menjawab:
“Dari lahiryyah sunnah Rasul saw menunjukkan mereka tidak diciptakan sekaligus. Abdur Razaq mengeluarkan bersama sanadnya dari Jabir bin Abdullah Al-Anshary ra, beliau bertanya kepada Rasul saw: ‘Apa perkara pertama diciptakan sebelum perkara-perkara yang lain’? Rasul saw menjawab: “Ya, Jabir, sesungguhnya perkara pertama diciptakan sebelum perkara-perkara yang lain adalah Nur Nabimu saw. Nur itu berputar ke mana yang dinginkan olehNya. Waktu itu, Luh, Qalam, surga, neraka, Malaikat, langit, matahari, bulan, manusia dan jin, belumlah ada. Pada saat ingin menciptakan makhluk, Allah swt membagi Nur tersebut menjadi empat bagian. Dari bagian pertama, diciptakanlah ‘Hamlah’ (penanggung) ‘Arasy. Bagian kedua diciptakan Kursiy. Bagian ketiga dijadikan seluruh Malaikat. Sedangkan bagian keempat dibagi-bagi menjadi empat bagian lagi. Bagian pertama dijadikan seluruh lapisan langit. Bagian kedua diciptakan seluruh lapisan bumi. Pada bagian ketiga dijadikanlah surga dan neraka. Sementara bagian keempatnya, dibagi-bagi lagi menjadi empat bagian. Bagian pertamanya dijadikan nur penglihatan mukminin. Bagian keduanya diciptakan nur hati mereka, yaitu makrifah Allah swt. Bagian keempatnya dijadikan nur kemanusiaan mereka, yakni ‘tiada tuhan selain Allah swt’ dan ‘Muhammad saw Rasulullah’. (Hadits). ‘Kalau kita menela’ah hadits ini, maka secara jelas kita menemukan, bahwa Malaikat ‘Hamlatul ‘Arsy’ lebih dahulu diciptakan daripada Malaikat yang lainnya’. (‘Fatawa Haditsiyyah’ karya Ibnu Hajar Al-Haitamy, Maktabah Syamilah).
  1. BANYAKNYA MALAIKAT
Keghaiban Malaikat semakin lengkap dengan ketidaktahuan kita tentang jumlah sebenarnya mereka. Ini dipicu oleh karena begitu banyaknya jumlah mereka. Hal inilah yang dimaksud dalam ayat berikut ini:
 وَما يَعلَمُ جُنودَ رَبِك إِلاّ هُو
Tidak ada yang mengetahui tentara-tentara (Malaikat) Tuhanmu kecuali Dia sendiri (Allah swt). (QS:Al-Mudatstsir:31).
Karena jumlah mereka yang tidak terhingga, maka kemampuan otak manusia untuk mengatahuinyapun semakin tidak mungkin pula. Melimpahnya para Malaikat sehingga Rasulullah saw hanya mengungkapkan perbandingannya saja:
وأخرج الدينورى في المجالسة عن عبد الرحمن بن زيد بن أسلم قال: ليس من خلق الله شىء أكثر من الملائكة ليس من بني آدم أحد إلا ومعه ملكان سائق يسوقه وشاهد يشهد عليه فهذا ضعف بني آدم ثم بد ذلك السموات والأرض مكبوسات ومن فوق السموات بعد، الذين حول العرش أكثر مما في السموات.
Ad-Dainury dalam kitab ‘Al-Majalisah’ mengeluarkan satu Hadits dari Abdurrahman bin Zaid bin Aslam berkata: “Tidak ada sesuatupun penciptaan Allah swt yang lebih banyak dari Malaikat, sehingga tidaklah setiap seorang anak Adam kecuali selalu bersama dua orang Malaikat yang jadi pengawas mengawasi mereka dan jadi saksi yang menyaksikan mereka. Ini berarti, Malaikat berlipat ganda dari anak-anak Adam. Kemudian jauh lebih berdesak-desakkan lagi yang di langit dan bumi. Dan, sangat jauh lagi yang di atas langit. Lalu mereka yang di sekeliling ‘Arasy sangat banyak sekali dibandingkan mereka yang ada di langit. (Lihat kitab ‘Al-Haba-ik fi Akhbaril Mala-ik’ karangan Syaikh Sayuthi, Maktabah Syamilah).
Perbandingan yang diungkapkan di atas menjadikan Malaikat sebagai makhluk terbanyak, tetapi belum mengesankan sebagai makhluk ‘super banyak’, tetapi pernyataan perbandingan berikut ini yang ditulis oleh Imam Fakhruddin Ar-Razy dalam kitab tafsirnya, ‘Mafatihul Ghaib’, mengirimkan pesan ‘sangat dahsyat’:
وروي أن بني آدم عشر الجن والجن وبنو آدم عشر حيوانات البروهؤلاء كلهم عشر الطيوروهؤلاء كلهم عشر حيوانات البحروهؤلاء كلهم عشر ملائكة الأرض الموكلين بهاوكل هؤلاء عشر ملائكة سماء الدنياوكل هؤلاء عشر ملائكة السماء الثالثةوعلى هذا الترتيب إلى ملائكة السماء السابعة ثم الكل في مقابلة ملائكة الكرسي نزر قليل ثم كل هؤلاء عشر ملائكة السرادق الواحد من سرادقات العرش التي عددها ستمائة ألف طول كل سرادق وعرضه وسمكه إذا قوبلت به السموات والأرضون وما فيها وما بينها فإنها كلها تكون شيئاً يسيراً وقدراً صغيراًوما من مقدار موضع قدم إلا وفيه ملك ساجد أو راكع أو قائم ، لهم زجل بالتسبيح والتقديس ثم كل هؤلاء في مقابلة الملائكة الذين يحومون حول العرش كالقطرة في البحر ولا يعلم عددهم إلا الله )الكتاب مفاتيح الغيب المؤلف أبو عبد الله محمد بن عمر بن الحسن بن الحسين التيمي الرازي الملقب بفخر الدين الرازي(
Dan diriwayatkan, bahwa total anak-anak Adam as hanya sepuluh persen jin. Total jin dan anak-anak Adam as hanya sepuluh persen hewan darat. Mereka (manusia, jin dan hewan darat) hanya sepuluh persen burung. Semua mereka yang tersebut sebelumnya hanya sepuluh persen hewan laut. Semua mereka yang tersebut sebelumnya hanya sepuluh persen Malaikat yang diwakilkan di bumi. Semua mereka yang tersebut sebelumnya hanya sepuluh persen Malaikat langit dunia. Semua mereka yang tersebut sebelumnya hanya sepuluh persen Malaikat langit yang kedua. Dan seterusnya secara berurutan hingga langit yang ketujuh. Kemudian, semua yang tersebut sebelumnya kalau dibandingkan dengan Malaikat Kursy sangat sedikit sekali. Lalu, semua yang telah tersebut sebelumnya hanya sepuluh persen Malaikat ‘saradiq’ (kemah-kemah). Luas (panjang, lintang dan tinggi) satu kemah Arasy yang berjumlah seluruhnya 600.000 buah adalah, kalau dibandingkan dengan seluruh lapisan langit dan bumi bersama dengan isi keduanya dan jarak antara lapisan-lapisannya sesungguhnya semuanya masih sangat sedikit sekali dan ukuran sangat kecil sekali. Dan, tidak ada tempat seukuran tapak kakipun kecuali disana ada Malaikat yang bersujud atau beruku’ ataupun berdiri dengan suara tasbih yang bergemuruh. Kemudian, semua yang tersebut sebelumnya kalau dibandingkan dengan Malaikat yang berkerumun di sekitar ‘Arasy persis seperti setetes air dalam samudra. Tidak ada yang tahu jumlah mereka kecuali hanya Allah swt sendiri. (Lihat kitab tafsir ‘Mafatih Ghaib’ Karangan Imam Fakhru Razy, Maktabah Syamilah).
Gambaran tentang betapa banyaknya Malaikat dalam Hadits di atas menimbulkan pertanyaan, untuk apa mereka sebegitu banyaknya? Rasulullah saw bersabda seolah menjawab pertanyaan ini:
وأخرج أبو الشيخ من طريق مجاهد عن ابن عباس عن النبي صلى الله عليه وسلم قال ليس من خلق الله أكثر من الملائكة، ما من شىء ينبت إلا وملك موكل به   ) الكتاب : الحبائك في أخبار الملائك(
“Abu Syaikh meriwayatkan dari ‘Thariq’ (jalur) Mujahid dari Ibnu Abbas ra dari Nabi saw, bersabda: “Tidak ada penciptaan Allah swt sebanyak para Malaikat. Tidak ada setiap sesuatu yang tumbuh kecuali ada seorang Malaikat yang mengurusnya”. (Kitab Al-Haba-ik fi Akhbaril Malai-ik, Syaikh Sayuthi, Maktabah Syamilah).
Ternyata mereka ditugaskan menjaga dan memelihara seluruh tumbuhan di dunia ini. Berapa banyak tetumbuhan di muka bumi ini? Wallahu A’lam. Artinya, kalau tetumbuhan saja tidak mungkin terhitung, apalagi jumlah Malaikat yang bukan hanya bertugas pada tetumbuhan saja. Maka, berikut akan kita bahas sekilas tentang tugas-tugas mereka serta ketokohan di antara mereka.

c.       PARA TOKOH MALAIKAT DAN TUGASNYA
Sebagai komunitas yang sangat besar, tentu Allah swt menjadikan Malaikat di bawah kepemimpinan beberapa tokohnya sendiri sebagai coordinator dan pengatur kegiatan di seluruh planet dalam ruang-lingkup ‘Arasy ini. Dalam hal ini, Nabi saw bersabda:
أخرج ابن أبى شيبة وابن أبى حاتم، وأبو الشيخ في العظمة، والبيهقى في الشعب، عن ابن سابط قال: يدبر أمر الدنيا أربعة: جبريل، وميكائيل، وملك الموت، وإسرافيل، فأما جبريل: فموكل بالرياح، والجنود، وأما ميكائيل: فموكل بالقطر، والنبات، وأما ملك الموت: فموكل بقبض الأرواح، وأما إسرافيل: فهو ينزل بالأمر عليهم.

Ibnu Abu Syaibah, Ibnu Abi Hatim dan Abu Syaikh meriwayat dalam ‘Al-‘Adlmah’, Baihaqy dalam ‘Asy-Sya’b’ dari Ibnu Sabith berkata: “Seluruh urusan dunia diatur oleh empat Malaikat: Jibril as, Mikail as, Malakul Maut as dan Israfil as. Jibril as diwakilkan mengurus angin dan tentara. Mikail as mengurus hujan dan tumbuh-tumbuhan. Malakul Maut as mengurus pencabutan nyawa. Dan Israfil as menempati urusan atas mereka (tiup sangka kala).
Dalam Hadits ini hanya empat Malaikat yang disebut sebagai pengurus aktivitas yang akan terjadi di muka bumi ini. Aktivitas ini hanya terkonsentrasi kepada beberapa perkara saja. Namun Hadits lain menyebutkan:
وأخرج أبو الشيخ عن ابن سابط قال: في أم الكتاب كل شىء هو كائن إلى يوم القيامة، ووكل ثلاثة من الملائكة أن يحفظوه، فوكل جبريل بالكتاب أن ينزل به إلى الرسل، ووكل جبريل أيضا بالهلكات إذا أراد الله أن يهلك قوما، ووكله بالنصر عند القتال، ووكل ميكائيل بالحفظ والقطر ونبات الأرض، ووكل ملك الموت بقبض الأنفس، فإذا ذهبت الدنيا جمع من حفظهم وقابل أم الكتاب فيجدونه سواء. رواه ابن أبى شيبة.
Abu Syaikh mengeluarkan Hadits dari Ibnu Sabith, berkata: “Dalam Ummul Kitab (Luh Mahfudl) tercantum seluruh perkara sampai hari kiamat, dan diserahkan kepengurusan menjalankannya kepada tiga Malaikat, Jibril as mengurus pengiriman kitab (wahyu) kepada para Rasul saw dan mengkoordinir pemusnahan apabila Allah swt ingin memusnahkan suatu kaum, disamping memberi pertolongan kepada muslimin dalam peperangan dengan kuffar. Mikail as bertugas dalam bidang pemeliharaan, hujan dan tumbuh-tumbuhan. Sedangkan Malakul Maut as mengelola bagian pencabutan nyawa. Ketika dunia ini hilang (kiamat), mereka bertiga berkumpul dan menghadap Ummul Kitab, maka mereka dapati semuanya sama (sesuai). (HR. Ibnu Abi Syaibah).
Dari Hadits-Hadits di atas tersimpullah, hanya empat Malaikat yang mengurusi segala sesuatunya dengan tugas masing-masing.
1.      Jibriel as dan Tugasnya.
Nama ini berasal dari bahasa Ibrani yang berarti secara harfiyyah ‘Hamba Allah saw’ (karena ‘jib’ bermakna ‘hamba’ dan ‘iel’ berarti ‘Allah swt). Hal ini tersebut dalam Hadits berikut ini:
أخرج ابن جرير، وأبو الشيخ عن علي بن حسين قال: اسم جبريل عبد الله، واسم ميكائيل عبيد الله، وإسرافيل عبد الرحمن، وكل شىء رجع إلى " إيل " فهو معبد لله عز وجل.
Ibnu Jarir dan Abu Syaikh meriwayat dari ‘Ali bin Husain ra, berkata: “Nama Jibriel as adalah ‘Abdullah’ (hamba Allah swt). Mikail as juga bernama ‘Hamba Allah swt’. Israfil as disebut ‘Abdurrahman’. Setiap sesuatu yang kembali (disandarkan) kepada “iel’ itu bermakna ‘Hamba Allah ‘azza wa jalla’. (Kitab Al-Haba-ik fi Akhbaril Malai-ik, Syaikh Sayuthi, Maktabah Syamilah).
Beragam bentuk telah disaksikan oleh Rasul saw tentang Malaikat, dari bentuk asli sampai kepada sosoknya yang dalam keadaan menyamar. Rasul saw bersabda:
وأخرج عن ابن مسعود قال: رأى جبريل في صورته له ستمائة جناح
Diriwayat dari Ibnu Mas’ud ra, beliau berkata: “Jibriel terlihat dalam bentuk aslinya, yang memiliki 600 sayap”. (Kitab Al-Haba-ik fi Akhbaril Malai-ik, Syaikh Sayuthi, Maktabah Syamilah).
Pernah suatu kali Rasul saw meminta untuk melihat sosok asli Jibriel as. Rasul saw berkata:
وأخرج أبو الشيخ عن عائشة رضي الله عنها قالت: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: )وددت لو رأيتك في صورتك قال: وتحب ذلك؟ قال: نعم. قال: موعدك كذا وكذا من الليل بقيع الغرقد، فلقيه موعده، فنشر جناحا من أجنحته فسد أفق السماء حتى ما يرى من السماء شىء
Abu Syaikh meriwayat dari ‘Aisyah ra berkata: bersabda Rasul saw: “Aku punya keinginan melihat engkau dalam sosok asli”. Jibriel berkata: “Kamu inginkan itu”? Jawab Rasul saw: “Ya”. Jibriel as berkata: “Tempat perjanjian kita malam segini dan segini di pekuburan ‘Baqi’ Al-Gharqad’ (nama suatu tempat di Madinah). Lalu Rasul saw menemuinya pada tempat tersebut. Disana, Jibriel as mengepak salah satu sayapnya. Akibatnya, tertutuplah seluruh ufuk langit, sampai-sampai tidak terlihat apapun di langit”. (Kitab Al-Haba-ik fi Akhbaril Malai-ik, Syaikh Sayuthi, Maktabah Syamilah).
Kadang-kadang beliau nampak dalam wujud penyamarannya seperti tersebut dalam Hadits di atas, dalam sosok Dihyah atau Badui. Beliau adalah Malaikat yang paling utama di antara mereka. Ini tercantum dalam hadits berikut:
 وأخرج أبو الشيخ عن أبى موسى بن أبى عائشة قال: بلغني أن جبريل إمام أهل السماء
Abu Syaikh mengeluarkan dari Abu Musa bin Abu ‘Aisyah, berkata: ”Telah sampai berita kepadaku, sesungguhnya Jibriel as adalah imam (pemimpin) penduduk langit”. (Kitab Al-Haba-ik fi Akhbaril Malai-ik, Syaikh Sayuthi, Maktabah Syamilah).
Dalam kitab yang sama, termaktub Hadits lain yang hampir senada:
وأخرج الطبرانى عن ابن عباس قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: )ألا أخبركم بأفضل الملائكة؟ جبريل
Tabrany meriwayat dari Ibnu Abbas ra, berkata: bersabda Rasuullah saw: “Bolehkah aku mengabarkan kepada kalian tentang siapa Malaikat yang paling utama? Ialah Jibriel”. (Idem).
Keutamaannya adalah mengeoordinir seluruh penduduk langit (Malaikat), disamping karena bergelar ‘muqarrabin’ (sangat dekat dengan Allah swt), sehingga beliau disebut dalam kalangan Malaikat dengan “Khadim Rabb”:
وأخرج ابن أبى حاتم، وأبو الشيخ عن عبد العزيز بن عمير قال: اسم جبريل في الملائكة خادم ربه عز وجل
Ibnu Abi Hatim dan Abu Syaikh meriwayat dari Abdul ‘Aziz bin Umar, berkata: “Nama Jibriel as dalam kalangan para Malaikat adalah ‘Khadim (pelayan) Tuhannya ‘azza wa jalla”. (idem).
Adapun tugas Jibriel as, seperti terpahami dari beberapa hadits di atas adalah menyampaikan wahyu dan menghukum kaum-kaum yang diperintahkan untuk dihancurkan sebagaimana pada kisah penghancuran Kaum Nabi Luth as dengan dijungkir-balikkan permukaan tanah ke bawahnya. Juga mengirim pasukan Malaikat untuk membantu pasukan Muslimin yang sedang memerangi pasukan kafir.
2.      Mikail as dan Tugasnya.
Mikail as juga disebut ‘Malakul Qathr’ (Malaikat hujan), karena tugasnya meluruhkan hujan untuk kebaikan alam semesta, disamping juga memelihara tumbuh-tumbuhan. Rasulullah saw menuturkan tentang Malaikat ini:
وأخرج الطبرانى عن أبى الطفيل قال: استأذن ملك القطر بأن يسلم على النبي صلى الله عليه وسلم في بيت أم سلمة فقال: لا يدخل علينا أحد، فجاء الحسين فدخل فقالت أم سلمة: هو الحسين فقال: دعيه، فجعل يعلو رقبة رسول الله ويعبث به، والملك ينظر فقال الملك: أتحبه يا محمد؟ قال: أي والله إني لأحبه قال: أما إن أمتك ستقتله، وإن شئت أرأيتك المكان فقال بيده، فتناول كفا من تراب، فأخذت أم سلمة التراب فصرته في خمارها، فكانوا يرون أن ذلك التراب من كربلاء.
Thabrany meriwayat dari Abu Tufail, berkata: Malakul Qathr minta izin memberi salam kepada Nabi saw dalam rumah Ummu Salamah. Rasul saw bersabda: “Jangan biarkan masuk seorangpun kepada kami”. Lalu, datanglah Husen ra. Ummu Salamah ra memberi tahukan: “Husen ra datang”. Rasul saw bersabda: “Biarkan dia masuk”. Beliau (Husen ra) menggantung di leher Rasul saw dan bersenda gurau. Sedangkan Mikail as menyaksikan saja. “Engkau mencintainya, ya, Muhammad?” “Ya, demi Allah swt, aku sungguh mencintainya”, jawab Rasul saw. “Tapi, umatmu akan membunuhnya. Kalau engkau ingin aku bisa memperlihatkan tempat pembunuhannya. Lalu Nabi saw berkata: ‘Mikail as meraih segenggam tanah dengan tangannya’. Tanah itu kemudian diambil Ummu Salamah ra dan disimpan dalam kerudungnya. Semua orang melihat bahwa tanah itu berasal dari Daerah Karbala (Irak). (idem).
وأخرج ابن جرير عن سعيد بن جبير قال: لما ألقى إبراهيم خليل الرحمن في النار قال الملك خازن المطر: أي رب خليلك إبراهيم. رجى أن يؤذن له فيرسل المطر فكان أمر الله عز وجل أسرع من ذلك.
Ibnu Jarir meriwayat dari Sa’id bin Jabir, berkata: “Tatkala Nabi Ibrahim Khalil Ar-Rahman as dicampakkan dalam api, berkata Malaikat Pengurus Hujan: “Wahai, Tuhanku, kekasih Engkau, Ibrahim as, mengharapkan izin untuknya”. Maka, hendak dikirim hujan, tetapi urusan Allah swt lebih cepat dari itu. (idem).

Sedangkan tugas Malaikat Mikail as, seperti banyak tersebut dalam Hadits sebelumnya, adalah berkaitan dengan hujan dan tumbuh-tumbuhan.

3.      Malakul Maut as dan Tugasnya.
Nama lain beliau adalah ‘Izrail as. Mengenai Malaikat ini Rasul saw bersabda:
وأخرج الديلمي عن زيد بن ثابت قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: )لو رأيتم الأجل ومسيره لأبغضتم الأمل وغروره. وما من أهل بيت إلا وملك الموت يتعاهدهم في كل يوم مرتين، فمن وجده قد انقضى أجله قبض روحه، فإذا بكى أهله وجزعوا قال: لم تبكون؟ ولم تجزعون؟ فوالله ما نقصت لكم عمرا، ولا حبست لكم رزقا، مالي ذنب وإن لي فيكم لعودة، ثم عودة، ثم عودة، حتى لا أبقى منكم أحدا
Ad-Dailamy meriwayat dari Zaid bin Tsabit berkata: bersabda Rasulullah saw: “Kalau kalian meyakini ajal dan datangnya, maka sungguh kalian membenci cita-cita dan tipuannya. Karena, tidaklah setiap penghuni rumah kecuali disantroni Malakul Maut setiap hari dua kali. Bila beliau menemukan orang yang sudah tiba ajalnya, maka dicabutlah nyawanya. Kalau keluarganya menangis dan gundah, beliau berkata: “Mengapa kalian menangis dan bersedih? Demi Allah swt, aku tidak mengurangi umur dan tidak menahan rezeki kalian. Tidaklah aku berbuat dosa. Sesungguhnya aku akan kembali untuk kalian, dan akan kembali dan kembali, sehingga tidak aku sisakan seorangpun”. (idem).
4.      Israfil as dan Tugasnya
Beliau juga dikenal dengan nama ‘Shahibul Shur’ (peniup sangkakala). Tugas ini, sekalipun baru dilaksanakan menjelang kiamat, namun beliau telah siap-siaga semenjak selesai diciptakan. Ini diambil sabda berikut:
وأخرج الحاكم وصححه، وأبو الشيخ، وأبو مردويه عن أبى هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: )إن طرف صاحب الصور مذ وكل به مستعد ينظر حول العرش مخافة أن يؤمر بالصيحة قبل أن يرتد إليه طرفه كأن عينيه كوكبان دريان(.
Hakim meriwayat dan menguatkannya, Abu Syaikh dan Abu Mardawaih dari Abu Hurairah ra berkata: bersabda Rasulullah saw: “Sesungguhnya penglihatan Shahibul Shur sejak diserahkan tugas telah bersiap-siap dan selalu memandang sekaliling ‘Arasy, karena khawatir mendapat perintah meniup sebelum matanya berkedip, dua matanya laksana bintang permata berkilau”. (idem).

  1. KEMA’SHUMAN MALAIKAT
Berkaitan dengan iman kepada Malaikat, wajib pula diyakini, bahwa mereka adalah makhluk yang terjaga tingkah-lakunya, suci dan selalu hanya taat kepada Allah swt. Allah swt berfirman:
 يخافون رَبَّهُمْ مّن فَوْقِهِمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
“Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka dan melaksanakan apa yang diperintahkan kepada mereka”. (QS: An-Nahl:50).
 Mereka adalah hamba-hamba yang tidak mengerjakan selain apa yang diperintahkan Allah swt kepada mereka. Tidak pernah sekalipun mereka merasa ‘besar’ di atas penciptanya sendiri. Ayat dalam surah al-Anbya menggambarkan ini:
لاَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِهِ وَلاَ يَسْتَحْسِرُونَ
“Dan malaikat-malaikat yang di sisi-Nya, mereka tiada mempunyai rasa angkuh untuk menyembah-Nya dan tiada (pula) merasa letih”. (QS: Al-Anbiya:19).
Termaktub dalam kitab ‘Mafatih Ghaib’ karya Imam Fakhrurrazy:
‘Keempat poin di atas adalah suatu keniscayaan menyangkut iman kepada Malaikat, dan suatu logika yang telah menyelam di dalamnya maka keimanannya akan Malaikat menjadi sangat sempurna dan sulit tergoyahkan’. Wallahu a’lam.




















Oval: Teurimoeng geunaseh! Semoga ada manfaatnya untuk 
Geutanyoe bandum
Dan jangan lupa melayangkan kritiknya


















W
allahu a’lam bish-shawab!


[1] Datang berita dari sekelompok orang yang lazimnya tidak mungkin sepakat berdusta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar