PARA TAMU YANG MULIA, SELAMAT BERKUNJUNG اهلا و سهلا مرحبا بكم جميعا

DISINI, KITA (MUSLIMIN SEJATI) BERBAGI INFORMASI ISLAMI UNTUK KEJAYAAN ISLAM SEJATI



DI TEPI PANTAI ATLANTIK

Rabu, 25 Januari 2012

TUJUAN PERAYAAN MAULID

Perbuatan baik yang berwarna syari’at dengan dipicu oleh niat yang tidak sesuai kaidah-kaidah syari’at, hasilnyapun tidak baik pula. Dikatakan baik dalam agama selama ia masih berada dalam ruang-lingkup anjuran: wajib dan sunat. Menela’ah aktivitas Maulid dalam tradisi Aceh seperti di atas, dengan tidak ragu-ragu, kita mengatakan: minimalnya masih dalam koridor sunat. Semuanya dengan dalil yang seterang matahari tanpa mendung, juga tidak dipaksa-paksakan. Tetapi mengalir apa adanya, seperti penafsiran para ulama terdahulu dalam lembaran-lembaran sejarah. Sekarang tinggallah menjaring maksud di balik semua kegiatan tersebut, baik dan buruknya, sesuai dan tidaknya dengan norma-norma Islam. Hal inilah yang sangat sulit dicari tahu, karena menyangkut urusan hati. Tetapi manusia punya mulut untuk mengungkap rahasia hatinya, walau tidak selamanya lidah mengucap kata-kata kebenaran. Sebagai catatan penting dalam hal ini, kita sendiri pelaku-pelaku perayaan Maulid. Setidaknya, niat kita sendiri kita jadikan sebagai patokan mengapa Maulid diadakan. Lagi pula, suatu perkara baik tidak harus dihentikan hanya karena niat pelakunya yang tidak benar, tetapi niatnya saja yang diluruskan. Sama halnya dengan pelaksanaanya yang kurang tertib dan sempurna, sehingga menimbulkan beberapa maksiat

Ada orang, seperti Rasyid Ridha dalam Majallah Al-Manarnya,  melarang Maulid karena dalam prakteknya mengandung unsure-unsur maksiat, semisal bercampur-baur pria dan wanita, makanan mengotori lantai mesjid, banyak makanan yang mubazir, merokok dalam ruangan mesjid. Artinya, secara tersirat mengakui kebolehan Maulid, hanya mempermasalahkan unsure dosa dalam pelaksanaannya. Aneh bin ajaibnya, karena kesalahan elemen ‘aridhiy’ (perkara di luar maksud inti yang tidak ada sangkut-pautnya dengan inti) sampai membantai perkara ‘zdatiy’ (inti). Abu Mustafa mengomentari: “kalau ada orang yang salah dalam melakukan shalat jangan melarang shalatnya, tapi perbaiki kesalahannya!!!

Adapun maksud utama dari pelaksanaan Maulid, seperti yang kita niatkan dan terungkap dari perkataan banyak orang, bergembira dan mensyukuri serta menampakkan rasa cinta atas kelahiran Nabi Muhammad saw sebagai nikmat terbesar dalam sejarah manusia, bahkan di sebahagian Negara Islam dijadikan sebagai hari raya, yang mengakibatkan libur seluruh aktivitas dalam negeri, karena perhatian masyarakat terkonsentrasi kepada seputar masalah Maulid. Sanak-family jauh di luar daerah pulang kampong ikut ambil bahagian dalam perayaan ini. Berbagai macam harta-benda telah disiapkan jauh-jauh hari menjelang hari H tersebut. Banyak karunia Allah swt dimohonkan hanya untuk Maulid. Benar-benar menakjubkan efek yang ditimbulkan oleh Maulid. Kasihan orang-orang yang tidak melihat ini sebagai suatu kebaikan, malah sesat dalam gelapnya kacamata mereka.

Bergembira atas kelahiran Nabi Muhammad saw
قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ
Katakanlah: "Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan".[1]
وأخرج أبو الشيخ عن ابن عباس رضي الله عنهما في الآية قال : فضل الله العلم ، ورحمته محمد صلى الله عليه وسلم
Abu Syaikh mengeluarkan hadits dari Ibnu ‘Abbas ra tentang tafsir ayat di atas berkata: karunia Allah swt ditafsirkan dengan ilmu dan rahmat ditafsirkan dengan Muhammad saw’. [2]

Semakin meyakinkan penafsiran ayat di atas dengan ayat berikut:
وما أرسلناك إلا رحمة للعالمين
“Tidaklah kami utus engkau kecuali sebagai rahmat untuk seluruh alam”.[3]

Kelahiran Nabi saw sebagai rahmat tidak perlu disangsikan lagi dengan terhamparnya dalil-dalil di atas. Dan mensyukuri setiap rahmat itupun suatu keyakinan dalam setiap dada kaum Muslimin, walau tidak bergelut banyak dengan referensi-referensi. Karena begitu banyak ayat dan hadits, begitu banyak orang menyampaikannya dalam setiap kesempatan, termasuk diskusi debat kusir. Singkat kata, dia perkara dharury, mudah diketahui. Diantaranya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ[4]
Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah”.

Menelusuri dalil di atas satu persatu, membanding-bandingkan, membuka penafsiaran ayat-ayat dari kitab-kitab ulama Salaf dan Khalaf, memahami secara utuh sebagai satu kesatuan syari’at, sampailah  pada keyakinan, bahwa bergembira atas kelahiran Nabi saw adalah perintah Allah swt, bukan dhalalah seperti yang dipersepsikan oleh segelintir orang. Lalu masalah belum juga reda, bergembira atas kelahiran Nabi saw berarti menciptakan dan menambah hari raya yang telah disyari’atkan menjadi tiga, selain Idul Fitri dan Idul Adhha. Persoalan ini bisa dijawab dengan dua jawaban berikut:

  1. Setiap kegembiraan tidak harus diidentikkan dengan hari raya, karena nikmat bisa saja diperoleh dan dirayakan oleh siapapun dan kapanpun. Bisa saja seseorang mendapat hadiah satu mobil dari seorang dermawan, lalu mengadakan acara syukuran dengan hidangan makanan kepada fakir-miskin atas kesenangannya mendapat hadiah tersebut, apakah itu berarti dia telah menciptakan hari raya baru dalam Islam? Orang yang berpikir jernih dan jauh dari fanatisme sekte akan menjawab: bukan!
  2. Kalau kita mengiyakan tuduhan dangkal di atas, lantas ada apa lagi? Apakah kita sudah jadi Nabi sehingga berhak menambah jumlah hari raya dalam Islam? Sikap sinisme ini diluruskan oleh Abu Mustafa dengan ayat berikut:
قَالَ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا أَنزِلْ عَلَيْنَا مَآئِدَةً مِّنَ السَّمَاء تَكُونُ
 لَنَا عِيداً لِّأَوَّلِنَا وَآخِرِنَا
Isa putera Maryam berdoa: "Ya Tuhan kami turunkanlah kiranya kepada kami suatu hidangan dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari raya bagi kami yaitu orang-orang yang bersama kami dan yang datang sesudah kami."

Ternyata permohonan menjadikan hari turunnya rahmat sebagai hari raya untuk mensyukuri dan mengenang hari sangat bersejarah tersebut, tidak dicela dan tidak dilarang oleh Allah swt. Bukankah itu sebagai pertanda baik dan sekaligus sebagai salah satu cara mensyukuri nikmat Allah swt? Sebagai Nabi dan Rasul, Isa putra Maryam sangat tahu baik-buruk suatu permintaan dari kaumnya. Kalau itu tidak baik untuk beliau dan umatnya atau ada pilar ketauhidan yang telah dihancurkan atau mengandung unsure syirik di dalamnya, tentu beliau lebih tahu dan segera mengecam permintaan tersebut. Tetapi ternyata tidak, malah beliau langsung berdoa dan doanya dikabulkan. Turunlah hidangan dan jadilah hari itu sebagai hari raya. Benar-benar petunjuk dan pedoman paling berharga untuk umat manusia. Hanya manusia kabur saja yang tidak bisa melihatnya.
Mencintai Rasulullah saw
والذي نفسي بيده لا يؤمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من والده وولده
Demi zat yang jiwaku berada dalam kekuasaanNya, tidak beriman seseorang kamu sehingga aku lebih dicintainya dari orangtua dan anaknya sendiri.[5]

Mencermati hadits mulia ini, kita menemukan dua kata yang saling diikatkan, iman dan cinta Rasul. Berarti cinta Rasul menempati posisi sebagai salah satu asas dan fondasi Islam, yang dengan dialah sah-tidaknya iman seseorang. Berbicara soal cinta berarti berbicara soal hati. Dan, tumbuh dan bersemi serta berkembangnya cinta diawali dengan mengenal sang kekasih, yang dalam hal ini  sosok Rasul. Katakanlah orang yang merayakan Maulid tidak mengenal Rasul sama sekali, sehingga Maulidnya dia hanya ikut-ikutan belaka. Tetapi dengan Maulid minimal menjadi ajang pengenalan dan pembelajaran mencintai Rasul bagi dia, dimana Rasul disebut-sebut dalam acara tersebut. Kisah beliau dialunkan dengan suara merdu dalam dua bahasa, Arab dan Aceh, membuat pendengar terkesima dan ikut larut dalam detik-detik perjuangan beliau seolah-olah suasana alam padang pasir dipertontonkan kembali pada setiap acara Maulid diadakan, disamping lantunan wahyu mendayu-mendayu syahdu di tengah keramaian pengunjung, menyusup ke relung-relung sanubari mereka. Semuanya ini mengandung nilai-nilai yang tidak ada taranya untuk kebaikan setiap individu dan kemajuan Islam. Dan, dengan ini dapat menepis segala praduga, bahwa orang-orang yang menyelenggarakan Maulid bukan karena mencintai Nabi , karena mereka bukan pelaku-pelaku syari’at. Boleh jadi, tapi ada nilai lain yang tidak kalah pentingnya, belajar mencintai.
Apalagi kalau di dasarkan kepada, cinta tidak selamanya meninggalkan bekas dalam hati seseorang sehingga bisa membias dalam kesehariannya. Pada saat seorang anak tidak mematuhi orangtuanya, bukan berarti rasa cintanya kepada mereka telah sirna, tapi karena perasaan cintanya yang begitu tipis sekali.

Abu Mustafa Paloh Gadeng membagi cinta kepada tiga tingkatan:
1.      Cinta sejati, dimana seluruh perasaan dan kekuatan jiwa tervokus dan terkonsentrasi hanya kepada satu obyek, tidak sedikitpun terbagi kepada selainnya, sehingga tidak secuilpun perhatian jiwa tersisa untuk yang lain. Kekuatan cinta seperti ini banyak dimiliki oleh pemeluk-pemeluk Islam awal. Cinta mereka kepada Allah dan Rasul mengalahkan segalanya, sehingga mampu merubah prilaku mereka. Prilaku mereka persis seperti fotocopy Al-Quran dan tingkah laku Rasulullah. Pernah suatu ketika Rasul duduk di tepi sumur dengan menyingkap kain hingga nampak betis. Menyaksikan ini, semua sahabat melakukan hal yang sama. Tak ubahnya seperti orang maniak bola, kekuatan cinta hati tercurah via mata hanya kepada permaianan di lapangan, sehingga larut dalam permainan seakan-akan dia salah satu dari kesebelasan, sampai-sampai menendang benda-benda di sekitarnya tanpa menyadarinya. Beginilah cinta sejati yang hakiki yang sanggup mengikuti idola yang dicintainya tanpa pamrih dan tanpa menggugat apapun.
2.      Cinta separoh hati, dimana hati hanya terisi sebahagian cinta saja, sebahagian lagi mungkin belum atau dipenuhi oleh cinta yang lain. Cinta model ini tidak mungkin sepenuhnya terpengaruh dan menurut kepada sang kekasih. Dalam konteks rejilius, hanya separoh saja mengikuti Al-Quran atau prilaku Nabi saw sesuai dengan kekuatam cinta yang dimilikinya untuk mengambil dan mengaplikasikan nilai-nilai agamis dalam kehidupannya. Meskipun demikian, tetap juga ini disebut cinta.
3.      Cinta setipis kulit ari, dimana cinta baru dimulai atau lebih besar cinta yang lain, sehingga dalam kehidupan nyatanya lebih cendrung dan tertarik kepada yang lebih kuat daya tarik hatinya. Inilah cintanya orang awam dalam beragama, yang terlihat jelas betapa tipis kepeduliannya pada hal-hal berbau agama, untuk tidak mengatakan nihil sama sekali.  

 Dalam konteks Maulid, cinta versi ketiga boleh jadi ikut Maulid hanya sebatas ikut-ikutan atau hana meu’oh, karena daya sinyal hatinya kepada agama secara umum atau Maulid secara khusus, yang sangat lemah tidak mungkin terinspirasi akan hal-hal yang lebih besar rasa tidak cintanya. Karena itu pulalah, walaupun ikut Maulid dengan alakadar cinta yang dimilikinya, maka daya ikut meniru akhlak Nabi saw pun alakadar sealakadar cintanya. Mengatakan, bahwa orang-orang       merayakan Maulid karena mencinta Nabi saw tapi tidak terobsesi dengan Nabi adalah dusta, tidak sepenuhnya benar, untuk tidak mengatakan salah kaprah. Karena sulit rasanya melukiskan satu gambaran untuk mempertautkan antara tidak cinta dengan melakukan yang tidak dicintai. Di satu sisi yang kasat mata, dia melakukan Maulid. Di sisi yang lain, tidak mencintai Nabi saw. Bagaimana mencari benang merah antara keduanya? Satu-satunya yang terpikirkan, karena terpaksa, seperti lebih memilih sekolah dari dayah karena dipaksa orangtua. Kira-kira apa unsure keterpaksaan orang awam untuk ikut perayaan Maulid? Alangkah indah ungkapan berikut: kekuatan anda untuk melakukan sesuatu adalah sebesar cintu anda kepada sesuatu itu.



[1] QS:Yunus:58.
[2] Lihat juga redaksi berikut:
قُلْ بِفَضْلِ الله وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُواْ أي بتوحيده ونبيه محمد صلى الله عليه وسلم ( الكتاب تفسير التستري المؤلف : أبو محمد سهل بن عبد الله بن يونس بن رفيع التستري (المتوفى : 283هـ
[3] QS:Al-Anbiya’:107.
[4] QS:Al-Baqarah:172
[5] HR. Bukhari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar