Perbuatan baik yang berwarna syari’at dengan dipicu
oleh niat yang tidak sesuai kaidah-kaidah syari’at, hasilnyapun tidak baik
pula. Dikatakan baik dalam agama selama ia masih berada dalam ruang-lingkup
anjuran: wajib dan sunat. Menela’ah aktivitas Maulid dalam tradisi Aceh seperti
di atas, dengan tidak ragu-ragu, kita mengatakan: minimalnya masih dalam
koridor sunat. Semuanya dengan dalil yang seterang matahari tanpa mendung, juga
tidak dipaksa-paksakan. Tetapi mengalir apa adanya, seperti penafsiran para
ulama terdahulu dalam lembaran-lembaran sejarah. Sekarang tinggallah menjaring
maksud di balik semua kegiatan tersebut, baik dan buruknya, sesuai dan tidaknya
dengan norma-norma Islam. Hal inilah yang sangat sulit dicari tahu, karena
menyangkut urusan hati. Tetapi manusia punya mulut untuk mengungkap rahasia
hatinya, walau tidak selamanya lidah mengucap kata-kata kebenaran. Sebagai
catatan penting dalam hal ini, kita sendiri pelaku-pelaku perayaan Maulid.
Setidaknya, niat kita sendiri kita jadikan sebagai patokan mengapa Maulid
diadakan. Lagi pula, suatu perkara baik tidak harus dihentikan hanya karena
niat pelakunya yang tidak benar, tetapi niatnya saja yang diluruskan. Sama
halnya dengan pelaksanaanya yang kurang tertib dan sempurna, sehingga
menimbulkan beberapa maksiat
Ada orang, seperti Rasyid Ridha dalam Majallah
Al-Manarnya, melarang Maulid
karena dalam prakteknya mengandung unsure-unsur maksiat, semisal
bercampur-baur pria dan wanita, makanan mengotori lantai mesjid, banyak
makanan yang mubazir, merokok dalam ruangan mesjid. Artinya, secara tersirat
mengakui kebolehan Maulid, hanya mempermasalahkan unsure dosa dalam
pelaksanaannya. Aneh bin ajaibnya, karena kesalahan elemen ‘aridhiy’ (perkara
di luar maksud inti yang tidak ada sangkut-pautnya dengan inti) sampai
membantai perkara ‘zdatiy’ (inti). Abu Mustafa mengomentari: “kalau
ada orang yang salah dalam melakukan shalat jangan melarang shalatnya, tapi
perbaiki kesalahannya!!!
|
Adapun maksud utama dari pelaksanaan Maulid, seperti
yang kita niatkan dan terungkap dari perkataan banyak orang, bergembira dan
mensyukuri serta menampakkan rasa cinta atas kelahiran Nabi Muhammad saw
sebagai nikmat terbesar dalam sejarah manusia, bahkan di sebahagian Negara
Islam dijadikan sebagai hari raya, yang mengakibatkan libur seluruh aktivitas
dalam negeri, karena perhatian masyarakat terkonsentrasi kepada seputar masalah
Maulid. Sanak-family jauh di luar daerah pulang kampong ikut ambil bahagian
dalam perayaan ini. Berbagai macam harta-benda telah disiapkan jauh-jauh hari
menjelang hari H tersebut. Banyak karunia Allah swt dimohonkan hanya untuk
Maulid. Benar-benar menakjubkan efek yang ditimbulkan oleh Maulid. Kasihan
orang-orang yang tidak melihat ini sebagai suatu kebaikan, malah sesat dalam gelapnya
kacamata mereka.
Bergembira atas kelahiran Nabi Muhammad saw
قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا
هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ
Katakanlah: "Dengan kurnia Allah dan
rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya
itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan".[1]
وأخرج أبو الشيخ عن ابن عباس رضي الله عنهما في
الآية قال : فضل الله العلم ، ورحمته محمد صلى الله عليه وسلم
Abu Syaikh mengeluarkan hadits dari Ibnu ‘Abbas ra
tentang tafsir ayat di atas berkata: ‘karunia Allah swt ditafsirkan
dengan ilmu dan rahmat ditafsirkan dengan
Muhammad saw’. [2]
Semakin meyakinkan penafsiran ayat di atas dengan ayat
berikut:
وما أرسلناك إلا رحمة للعالمين
“Tidaklah kami utus engkau kecuali sebagai rahmat untuk seluruh alam”.[3]
Kelahiran Nabi saw sebagai rahmat tidak perlu disangsikan lagi dengan
terhamparnya dalil-dalil di atas. Dan mensyukuri setiap rahmat itupun suatu
keyakinan dalam setiap dada kaum Muslimin, walau tidak bergelut banyak dengan
referensi-referensi. Karena begitu banyak ayat dan hadits, begitu banyak orang
menyampaikannya dalam setiap kesempatan, termasuk diskusi debat kusir. Singkat
kata, dia perkara dharury, mudah diketahui. Diantaranya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا
كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ
تَعْبُدُونَ[4]
“Hai orang-orang yang beriman,
makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan
bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah”.
Menelusuri dalil di atas satu persatu, membanding-bandingkan, membuka
penafsiaran ayat-ayat dari kitab-kitab ulama Salaf dan Khalaf, memahami secara
utuh sebagai satu kesatuan syari’at, sampailah
pada keyakinan, bahwa bergembira atas kelahiran Nabi saw adalah perintah
Allah swt, bukan dhalalah seperti yang dipersepsikan oleh segelintir
orang. Lalu masalah belum juga reda, bergembira atas kelahiran Nabi saw berarti
menciptakan dan menambah hari raya yang telah disyari’atkan menjadi tiga,
selain Idul Fitri dan Idul Adhha. Persoalan ini bisa dijawab dengan dua jawaban
berikut:
قَالَ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ
اللَّهُمَّ رَبَّنَا أَنزِلْ عَلَيْنَا مَآئِدَةً مِّنَ السَّمَاء تَكُونُ
لَنَا عِيداً لِّأَوَّلِنَا
وَآخِرِنَا
Isa putera Maryam
berdoa: "Ya Tuhan kami turunkanlah kiranya kepada kami suatu hidangan
dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari raya bagi kami yaitu
orang-orang yang bersama kami dan yang datang sesudah kami."
|
Ternyata permohonan menjadikan hari turunnya rahmat sebagai hari raya
untuk mensyukuri dan mengenang hari sangat bersejarah tersebut, tidak dicela
dan tidak dilarang oleh Allah swt. Bukankah itu sebagai pertanda baik dan
sekaligus sebagai salah satu cara mensyukuri nikmat Allah swt? Sebagai Nabi dan
Rasul, Isa putra Maryam sangat tahu baik-buruk suatu permintaan dari kaumnya.
Kalau itu tidak baik untuk beliau dan umatnya atau ada pilar ketauhidan yang
telah dihancurkan atau mengandung unsure syirik di dalamnya, tentu beliau lebih
tahu dan segera mengecam permintaan tersebut. Tetapi ternyata tidak, malah
beliau langsung berdoa dan doanya dikabulkan. Turunlah hidangan dan jadilah
hari itu sebagai hari raya. Benar-benar petunjuk dan pedoman paling berharga
untuk umat manusia. Hanya manusia kabur saja yang tidak bisa melihatnya.
Mencintai Rasulullah saw
والذي نفسي بيده لا يؤمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من والده وولده
Demi zat yang jiwaku berada dalam kekuasaanNya, tidak beriman seseorang
kamu sehingga aku lebih dicintainya dari orangtua dan anaknya sendiri.[5]
Mencermati hadits mulia ini, kita menemukan dua kata yang saling
diikatkan, iman dan cinta Rasul. Berarti cinta Rasul menempati
posisi sebagai salah satu asas dan fondasi Islam, yang dengan dialah
sah-tidaknya iman seseorang. Berbicara soal cinta berarti berbicara soal hati.
Dan, tumbuh dan bersemi serta berkembangnya cinta diawali dengan mengenal sang
kekasih, yang dalam hal ini sosok Rasul.
Katakanlah orang yang merayakan Maulid tidak mengenal Rasul sama sekali,
sehingga Maulidnya dia hanya ikut-ikutan belaka. Tetapi dengan Maulid minimal
menjadi ajang pengenalan dan pembelajaran mencintai Rasul bagi dia, dimana
Rasul disebut-sebut dalam acara tersebut. Kisah beliau dialunkan dengan suara
merdu dalam dua bahasa, Arab dan Aceh, membuat pendengar terkesima dan ikut
larut dalam detik-detik perjuangan beliau seolah-olah suasana alam padang pasir
dipertontonkan kembali pada setiap acara Maulid diadakan, disamping lantunan
wahyu mendayu-mendayu syahdu di tengah keramaian pengunjung, menyusup ke
relung-relung sanubari mereka. Semuanya ini mengandung nilai-nilai yang tidak
ada taranya untuk kebaikan setiap individu dan kemajuan Islam. Dan, dengan ini
dapat menepis segala praduga, bahwa orang-orang yang menyelenggarakan Maulid
bukan karena mencintai Nabi , karena mereka bukan pelaku-pelaku syari’at. Boleh
jadi, tapi ada nilai lain yang tidak kalah pentingnya, belajar mencintai.
Apalagi kalau di dasarkan kepada, cinta tidak selamanya meninggalkan
bekas dalam hati seseorang sehingga bisa membias dalam kesehariannya. Pada saat
seorang anak tidak mematuhi orangtuanya, bukan berarti rasa cintanya kepada
mereka telah sirna, tapi karena perasaan cintanya yang begitu tipis sekali.
Abu Mustafa Paloh Gadeng membagi cinta kepada tiga tingkatan:
1.
Cinta
sejati, dimana seluruh perasaan dan kekuatan jiwa tervokus
dan terkonsentrasi hanya kepada satu obyek, tidak sedikitpun terbagi kepada
selainnya, sehingga tidak secuilpun perhatian jiwa tersisa untuk yang lain.
Kekuatan cinta seperti ini banyak dimiliki oleh pemeluk-pemeluk Islam awal.
Cinta mereka kepada Allah dan Rasul mengalahkan segalanya, sehingga mampu
merubah prilaku mereka. Prilaku mereka persis seperti fotocopy Al-Quran dan tingkah
laku Rasulullah. Pernah suatu ketika Rasul duduk di tepi sumur dengan
menyingkap kain hingga nampak betis. Menyaksikan ini, semua sahabat melakukan
hal yang sama. Tak ubahnya seperti orang maniak bola, kekuatan cinta hati
tercurah via mata hanya kepada permaianan di lapangan, sehingga larut dalam
permainan seakan-akan dia salah satu dari kesebelasan, sampai-sampai
menendang benda-benda di sekitarnya tanpa menyadarinya. Beginilah cinta
sejati yang hakiki yang sanggup mengikuti idola yang dicintainya tanpa pamrih
dan tanpa menggugat apapun.
2.
Cinta
separoh hati, dimana hati hanya terisi sebahagian cinta saja,
sebahagian lagi mungkin belum atau dipenuhi oleh cinta yang lain. Cinta model
ini tidak mungkin sepenuhnya terpengaruh dan menurut kepada sang kekasih.
Dalam konteks rejilius, hanya separoh saja mengikuti Al-Quran atau prilaku
Nabi saw sesuai dengan kekuatam cinta yang dimilikinya untuk mengambil dan
mengaplikasikan nilai-nilai agamis dalam kehidupannya. Meskipun demikian,
tetap juga ini disebut cinta.
3.
Cinta
setipis kulit ari, dimana cinta baru dimulai atau lebih besar cinta
yang lain, sehingga dalam kehidupan nyatanya lebih cendrung dan tertarik
kepada yang lebih kuat daya tarik hatinya. Inilah cintanya orang awam dalam
beragama, yang terlihat jelas betapa tipis kepeduliannya pada hal-hal berbau
agama, untuk tidak mengatakan nihil sama sekali.
|
Dalam konteks Maulid, cinta versi
ketiga boleh jadi ikut Maulid hanya sebatas ikut-ikutan atau hana meu’oh,
karena daya sinyal hatinya kepada agama secara umum atau Maulid secara khusus,
yang sangat lemah tidak mungkin terinspirasi akan hal-hal yang lebih besar rasa
tidak cintanya. Karena itu pulalah, walaupun ikut Maulid dengan alakadar cinta
yang dimilikinya, maka daya ikut meniru akhlak Nabi saw pun alakadar sealakadar
cintanya. Mengatakan, bahwa orang-orang
merayakan Maulid karena mencinta Nabi saw tapi tidak terobsesi dengan
Nabi adalah dusta, tidak sepenuhnya benar, untuk tidak mengatakan salah kaprah.
Karena sulit rasanya melukiskan satu gambaran untuk mempertautkan antara tidak
cinta dengan melakukan yang tidak dicintai. Di satu sisi yang kasat
mata, dia melakukan Maulid. Di sisi yang lain, tidak mencintai Nabi saw.
Bagaimana mencari benang merah antara keduanya? Satu-satunya yang terpikirkan,
karena terpaksa, seperti lebih memilih sekolah dari dayah karena dipaksa
orangtua. Kira-kira apa unsure keterpaksaan orang awam untuk ikut perayaan Maulid?
Alangkah indah ungkapan berikut: kekuatan anda untuk melakukan sesuatu
adalah sebesar cintu anda kepada sesuatu itu.
[1] QS:Yunus:58.
[2] Lihat
juga redaksi berikut:
قُلْ
بِفَضْلِ الله وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُواْ أي بتوحيده ونبيه محمد صلى
الله عليه وسلم ( الكتاب تفسير التستري المؤلف : أبو محمد سهل بن عبد الله بن يونس
بن رفيع التستري (المتوفى : 283هـ
[3] QS:Al-Anbiya’:107.
[4] QS:Al-Baqarah:172
[5] HR. Bukhari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar