bagian 4
PENGAMATAN
YANG SALAH
“Sejauh pengamatan saya tidak pernah disebutkan dalam
kitab-kitab yang ma’ruf, yang bahwa ada penjelasan khusus, bermula khanduri
Maulid itu sunat mu-akkad.. seperti itu…tak ada itu “, kata isi ceramah itu”.
Kalimat ini menjadi landasan dan patokan membahas
persoalan Maulid. Dia berangkat dari observasinya terhadap kitab-kitab untuk
menentukan hukum Maulid, yang konklusi (kesimpulan) hukumnyapun sangat
bergantung kepada kegigihan dan ketersediaan waktunya untuk mengamati rak-rak
pustaka dalam pengapnya ruang kitab, di samping tentu saja sebagai syarat nomor
wahid harus pula membunuh terlebih dahulu rasa kesombongan keberpihakannya akan
referensi-referensi yang tersedia, yang dengan itu biasanya akan memunculkan
sikap paling tercela dalam Islam: hipokritis (kemunafikan) dan akhirnya sangat
sulit untuk tidak berbohong. Karena, kebencian terhadap kitab tertentu
bisa juga bermakna tidak pernah disebutkan, dan itu berarti pula kebohongan
seorang tokoh, yang katanya pejuang sunnah, padahal Nabi saw tidak pernah
menyunnahkan berbohong. Tetapi setelah kemudian dia mempersempit ruang gerak
pengamatannya dengan kata-kata ma’ruf, yang secara literal bermakna dikenal
dan diketahui dan secara istilah keacehan berarti kitab-kitab yang
sudah dikenal luas oleh masyarakat atau kitab-kitab yang tertera dalam
kurikulum kalangan dayah Aceh, maka semakin mudah melacak ada-tidaknya
pembahasan Maulid dalam kitab-kitab tersebut, yang tentu saja akan segera terbukti
keabsahan dan kejujuran kata-kata sang penceramah. Ditambah lagi dengan dia
menyebut beberapa kitab dimaksud dengan katanya kitab Fathul Mu’in atau
kitab Mahalli atau kitab apa saja..Al-Umm. Disini sang da’i sedikit berbuat
kerancuan, karena Al-Umm bukan kitab ma’ruf, meskipun dia hasil karya
momental Imam Syafi’i, kecuali dia hanya dijadikan sebagai rujukan oleh
tokoh-tokoh ulama yang keilmuannya sudah berada pada level atas dan punya
kelayakan menela’ahnya.
Namun dengan kata atau kitab apa saja, sipenceramah
ini kembali membingungkan pendengar, artinya tidak membuat suatu standar yang
baku yang dapat dijadikan patokan, sehingga terkesan amburadul dan asal bunyi.
Baiklah, kita jadikanlah kata-katanya ini sebagai ‘meuneumat’ dalam
menelusuri ada-tidaknya Maulid dalam berbagai kitab, termasuk semua mazhab
seperti dalam kalimatnya “dalam Mazhab Syafi’i dan berbagai bermazhab-mazhab
yang lain”. Kata-kata ini merupakan tantangan bagi kita untuk menguak
perayaan Maulid dalam lintas mazhab, yang oleh nada bicaranya sangat meyakinkan
mengarah kepada: tidak ada sama sekali!
bersambung.............