PARA TAMU YANG MULIA, SELAMAT BERKUNJUNG اهلا و سهلا مرحبا بكم جميعا

DISINI, KITA (MUSLIMIN SEJATI) BERBAGI INFORMASI ISLAMI UNTUK KEJAYAAN ISLAM SEJATI



DI TEPI PANTAI ATLANTIK

Selasa, 07 Februari 2012

MEMBONGKAR KEBOHONGAN SEORANG WAHABI

 bagian 4
PENGAMATAN YANG SALAH
“Sejauh pengamatan saya tidak pernah disebutkan dalam kitab-kitab yang ma’ruf, yang bahwa ada penjelasan khusus, bermula khanduri Maulid itu sunat mu-akkad.. seperti itu…tak ada itu “, kata isi ceramah itu”.
Kalimat ini menjadi landasan dan patokan membahas persoalan Maulid. Dia berangkat dari observasinya terhadap kitab-kitab untuk menentukan hukum Maulid, yang konklusi (kesimpulan) hukumnyapun sangat bergantung kepada kegigihan dan ketersediaan waktunya untuk mengamati rak-rak pustaka dalam pengapnya ruang kitab, di samping tentu saja sebagai syarat nomor wahid harus pula membunuh terlebih dahulu rasa kesombongan keberpihakannya akan referensi-referensi yang tersedia, yang dengan itu biasanya akan memunculkan sikap paling tercela dalam Islam: hipokritis (kemunafikan) dan akhirnya sangat sulit untuk tidak berbohong. Karena, kebencian terhadap kitab tertentu bisa juga bermakna tidak pernah disebutkan, dan itu berarti pula kebohongan seorang tokoh, yang katanya pejuang sunnah, padahal Nabi saw tidak pernah menyunnahkan berbohong. Tetapi setelah kemudian dia mempersempit ruang gerak pengamatannya dengan kata-kata ma’ruf, yang secara literal bermakna dikenal dan diketahui dan secara istilah keacehan berarti kitab-kitab yang sudah dikenal luas oleh masyarakat atau kitab-kitab yang tertera dalam kurikulum kalangan dayah Aceh, maka semakin mudah melacak ada-tidaknya pembahasan Maulid dalam kitab-kitab tersebut, yang tentu saja akan segera terbukti keabsahan dan kejujuran kata-kata sang penceramah. Ditambah lagi dengan dia menyebut beberapa kitab dimaksud dengan katanya kitab Fathul Mu’in atau kitab Mahalli atau kitab apa saja..Al-Umm. Disini sang da’i sedikit berbuat kerancuan, karena Al-Umm bukan kitab ma’ruf, meskipun dia hasil karya momental Imam Syafi’i, kecuali dia hanya dijadikan sebagai rujukan oleh tokoh-tokoh ulama yang keilmuannya sudah berada pada level atas dan punya kelayakan menela’ahnya.
Namun dengan kata atau kitab apa saja, sipenceramah ini kembali membingungkan pendengar, artinya tidak membuat suatu standar yang baku yang dapat dijadikan patokan, sehingga terkesan amburadul dan asal bunyi. Baiklah, kita jadikanlah kata-katanya ini sebagai ‘meuneumat’ dalam menelusuri ada-tidaknya Maulid dalam berbagai kitab, termasuk semua mazhab seperti dalam kalimatnya “dalam Mazhab Syafi’i dan berbagai bermazhab-mazhab yang lain”. Kata-kata ini merupakan tantangan bagi kita untuk menguak perayaan Maulid dalam lintas mazhab, yang oleh nada bicaranya sangat meyakinkan mengarah kepada: tidak ada sama sekali!
bersambung.............