PARA TAMU YANG MULIA, SELAMAT BERKUNJUNG اهلا و سهلا مرحبا بكم جميعا

DISINI, KITA (MUSLIMIN SEJATI) BERBAGI INFORMASI ISLAMI UNTUK KEJAYAAN ISLAM SEJATI



DI TEPI PANTAI ATLANTIK

Selasa, 07 Februari 2012

MEMBONGKAR KEBOHONGAN SEORANG WAHABI

 bagian ke-6
PERBANDINGAN YANG KELIRU
“Beda dengan khanduri-khanduri laen… seperti ‘aqiqah, bermula ‘aqiqah itu sunat.. Itu ada fasalnya dibuat dalam kitab fiqih.. lengkap dengan dalil-dalil.. seperti.. apa.. udhhiyyah, kurban, bermula kurban itu sunat mu-akkad, itu ada khusus dibilang.. diurai bersama dengan dalil yang lengkap.. seperti walimatul ‘urs.. khenduri pesta kawen..ya.. itu ada..ada bab”, kata rekaman di atas.
Disini suara Radio itu mencoba meyakinkan pendengarnya dengan mengambil satu perbandingan, bahwa khanduri selain Maulid ada dalam kitab fiqh, ada pemabahasan khusus, ada babnya, ada fasalnya. Ini menunjukkan dia, setidaknya, telah benar-benar mengadakan serangkaian observasi ilmiah, sehingga sampai kepada kesimpulan: Maulid tidak ada, khanduri lain ada! Dengan pernyatannya ini dia berharap para pendengar akan percaya seratus persen kepada omongannya, seuntai asa yang siapapun juga mengharapkannya. Karena tidak ada penceramah yang menginginkan mendapat ketidakpercayaan dari para pemirsanya, apalagi cemoohan. Tetapi, tidak semua orang bisa memprediksi, bias apa yang akan dituainya setelah menabur begitu banyak benih-benih kebohongan dalam begitu banyak liang-liang telinga, apalagi ditambah dengan ‘pengajiannya’ dipancarkan dalam udara yang siapapun bisa menghirupkannya.
Terkait hal ini, penulis jadi teringat suatu kejadian pengalaman seorang teman di kota Bireuen. Seorang mantan Wahhaby yang kemudian insaf hanya gara-gara perkara kecil tapi berdampak besar, karena dibalut kebohongan. Kebohongan itulah yang dia permasalahkan, bukan perkara kecilnya. Persoalannya begini, sejak kecil dia sudah shalat Tarawih dengan jumlah raka’at delapan, karena seluruh tokoh ulama di daerahnya mengatakan seperti itu, ditambah orangtuanya sendiri yang mengajaknya ke mesjid atau meunasah juga melakukannya begitu. Beranjak dewasa ketika punya ‘istitha’ah’ (kemampuan) mengunjungi tanah kelahiran Nabi saw menunaikan paket  ‘Umrah Ramadhan, dia menyaksikan suatu kenyataan yang kontras dengan perkataan orang-orang yang sudah terlanjur  diulamakannya. Bahwa ternyata shalat Tarawih di Mesjidil Haram, tempat Islam dimulai, berkembang dan tetap bertahan sampai hari ini, 20 raka’at. Dalam alam pikirannya yang lugu dan tidak banyak tahu tentang agama, bergejolak dan memberontak: mungkinkah shalat Tarawih di Gampoengku delapan raka’at, sementara di tempat asalnya Islam 20 raka’at? Tidak mungkin! Siapa yang salah? Siapa yang berbohong? Mendarat kembali ke Gampoeng, Tarawihlah yang dia pertanyakan pertama kali. Dengan bahasa Aceh yang kental, dia ngomong: ‘hebat-hebat that ulama-ulama hinoe! Di Arab traweh duaploh raka’at, hinoe lapan raka’at! Kana Nabi lain!’
Efek jelek inilah yang sangat dikhawatirkan dari klaim sang da’i kita di Radio bila ternyata nanti fakta-fakta berbicara tidak seperti yang dia semprotkan di hadapan microfon Radio. Disinilah reputasinya dipertaruhkan. Semoga dia telah siap untuk itu semua.
 bersambung.........