bagian ke-6
PERBANDINGAN
YANG KELIRU
“Beda dengan khanduri-khanduri laen… seperti ‘aqiqah,
bermula ‘aqiqah itu sunat.. Itu ada fasalnya dibuat dalam kitab fiqih.. lengkap
dengan dalil-dalil.. seperti.. apa.. udhhiyyah, kurban, bermula kurban itu
sunat mu-akkad, itu ada khusus dibilang.. diurai bersama dengan dalil yang
lengkap.. seperti walimatul ‘urs.. khenduri pesta kawen..ya.. itu ada..ada bab”, kata
rekaman di atas.
Disini suara Radio itu mencoba meyakinkan pendengarnya
dengan mengambil satu perbandingan, bahwa khanduri selain Maulid ada dalam
kitab fiqh, ada pemabahasan khusus, ada babnya, ada fasalnya. Ini menunjukkan
dia, setidaknya, telah benar-benar mengadakan serangkaian observasi ilmiah,
sehingga sampai kepada kesimpulan: Maulid tidak ada, khanduri lain ada! Dengan
pernyatannya ini dia berharap para pendengar akan percaya seratus persen kepada
omongannya, seuntai asa yang siapapun juga mengharapkannya. Karena tidak ada
penceramah yang menginginkan mendapat ketidakpercayaan dari para pemirsanya,
apalagi cemoohan. Tetapi, tidak semua orang bisa memprediksi, bias apa yang
akan dituainya setelah menabur begitu banyak benih-benih kebohongan dalam
begitu banyak liang-liang telinga, apalagi ditambah dengan ‘pengajiannya’
dipancarkan dalam udara yang siapapun bisa menghirupkannya.
Terkait hal ini, penulis jadi teringat suatu kejadian
pengalaman seorang teman di kota Bireuen. Seorang mantan Wahhaby yang kemudian
insaf hanya gara-gara perkara kecil tapi berdampak besar, karena dibalut
kebohongan. Kebohongan itulah yang dia permasalahkan, bukan perkara kecilnya.
Persoalannya begini, sejak kecil dia sudah shalat Tarawih dengan jumlah raka’at
delapan, karena seluruh tokoh ulama di daerahnya mengatakan seperti itu,
ditambah orangtuanya sendiri yang mengajaknya ke mesjid atau meunasah juga
melakukannya begitu. Beranjak dewasa ketika punya ‘istitha’ah’
(kemampuan) mengunjungi tanah kelahiran Nabi saw menunaikan paket ‘Umrah Ramadhan, dia menyaksikan suatu
kenyataan yang kontras dengan perkataan orang-orang yang sudah terlanjur diulamakannya. Bahwa ternyata shalat Tarawih
di Mesjidil Haram, tempat Islam dimulai, berkembang dan tetap bertahan sampai
hari ini, 20 raka’at. Dalam alam pikirannya yang lugu dan tidak banyak tahu
tentang agama, bergejolak dan memberontak: mungkinkah shalat Tarawih di
Gampoengku delapan raka’at, sementara di tempat asalnya Islam 20 raka’at? Tidak
mungkin! Siapa yang salah? Siapa yang berbohong? Mendarat kembali ke Gampoeng,
Tarawihlah yang dia pertanyakan pertama kali. Dengan bahasa Aceh yang kental,
dia ngomong: ‘hebat-hebat that ulama-ulama hinoe! Di Arab traweh duaploh
raka’at, hinoe lapan raka’at! Kana Nabi lain!’
Efek jelek inilah yang sangat dikhawatirkan dari klaim
sang da’i kita di Radio bila ternyata nanti fakta-fakta berbicara tidak seperti
yang dia semprotkan di hadapan microfon Radio. Disinilah reputasinya
dipertaruhkan. Semoga dia telah siap untuk itu semua.
bersambung.........