PARA TAMU YANG MULIA, SELAMAT BERKUNJUNG اهلا و سهلا مرحبا بكم جميعا

DISINI, KITA (MUSLIMIN SEJATI) BERBAGI INFORMASI ISLAMI UNTUK KEJAYAAN ISLAM SEJATI



DI TEPI PANTAI ATLANTIK

Sabtu, 11 Februari 2012

MEMBONGKAR KEBOHONGAN SEORANG WAHABI

bagian ke-21
UMUM YANG DIKHUSUSKAN
Dan, disamping ‘menghapus’ kalimat di atas, mereka juga memegang teguh seteguh memegang bara api terhadap kalimat ‘setiap’ (kullu) dalam hadits bid’ah di atas. Katanya, untuk apa mengalihkan arti ‘setiap’ kepada makna ‘sebagian’? Apakah Rasul saw membolehkannya dalam sabda yang lain? Sebutkan sabda itu. Mereka tidak mengakui penafsiran salafussaleh, bahwa setiap bermakna sebagian, agar nash-nash tidak saling bertabrakan, sekalipun Nabi saw tidak mengatakannya seterang matahari. Sebenarnya, disinilah permasalahannya, seperti ungkapan Doktor Muhammad ‘Alawy Al-Maliky dalam kitabnya ‘Mafahim Yajibu An-Tushashah’:
mereka tidak mempunyai keberuntungan untuk dapat memahami redaksi yang sulit. Sehingga mereka selalu meminta mana dalil sahihnya yang terang, karena mereka kurang bisa mencerna dalil-dalil yang berbelit-belit dan berserakan. Padahal banyak sekali nash yang senada dengan hadits di atas, tetapi tidak dipahami lahiriyyahnya saja. Sebagai contoh ayat berikut ini:
اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ[1]
“Allah swt yang menciptakan setiap sesuatunya”.
Kalau kalimat ‘kulli’ dalam ayat wajib dimaknai dengan ‘setiap’ maka lahirlah pengertian yang sangat menyesatkan, yaitu Allah swt menciptakan juga dirinya sendiri, karena kosa kata‘syai-in’ dalam tatanan bahasa ‘Arab mencakup juga kepada zat Allah swt. Tetapi mempertahankan makna nash dengan resiko kekufuran seperti itu bukanlah tujuan dan ruh agama Islam, disamping juga menghantam nash-nash lainnya semisal ayat ini:
 لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ
“Tidak samalah Allah dengan sesuatupun”. [2]
Makna ayat ini menjadikan ‘setiap’ dalam ayat sebelumnya berarti ‘sebagian’, sehingga secara keseluruhan ayat bermakna: ‘Allah menciptakan sebagian sesuatu’, tidak termasuk dirinya sendiri. Memaknai ‘setiap’ dengan ‘sebagian’ pada ayat di atas merupakan suatu keharusan. Kalau tidak, maka kemusyrikan yang menjadi musuh nomor satu Islam akan semakin subur di tengah-tengah manusia. Beginilah cara para sahabat dan ulama-ulama mu’tabar mengartikan nash dari dulu sampai sekarang.
Demikian juga hal persis sama mereka lakukan dengan hadits bid’ah yang umum, lalu dikhususkan dengan nash-nash yang lain. Mengkhususkan nash yang umum bukan bermakna mengebiri nash, tetapi justru menghormati dan menyelamatkan nash itu sendiri dari saling bertabrakan. Memaknai ‘setiap’ dalam hadits bid’ah dengan ‘sebagian’ merupakan kewajiban untuk menghindari nash lainnya sia-sia, karena kita wajib memandang nash sama derajat dalam satu kesatuan syari’at. Kita tidak diberi tugas untuk menganaktirikan nash tertentu dan menyayangi lainnya. Mengandalkan dan mengkultuskan hadits ‘kullu bid’atin dhalalatun..’ yang umum dengan meminggirkan hadits lainnya sebagai pengususkannya sebagaimana yang dilakukan oleh ulama sepanjang masa adalah pengkhianatan terhadap agama, karena itu berarti kita telah memilih yang sesuai dengan selera misi yang kita emban. Katakanlah Sekte Wahhabiyyah nihil dari misi terselubung ketika menafsirkan agama versi sudut pandang  mereka, kita menghargainya seperti penghormatan kita kepada mazhab lainnya. Karena kita tidak mengklaim pendapat kita yang paling benar meskipun kita meyakini sebagai sebuah kebenaran. Kontras dengan prinsip Sekte Wahhabiyyah, mereka berperan sebagai actor ‘duri dalam daging’ dalam tubuh Islam. Selalu ‘meungap-ngap’ dalam hampir seluruh cabang hukum yang tidak sejalan dengan mereka. Padahal sangat mustahil menyeragamkan pendapat pada semua hukum yang ada. Sahabat saja bisa berbeda, apalagi kita yang sudah begitu jauh dari cahaya nubuwwah. Maka karena itu, membuncah satu pertanyaan menggelitik, ada apa sebenarnya dibalik ‘kreh-kroh’nya Sekte Wahhabiyyah?
bersambung..............


[1] Qs:Az-Zumar:63
[2] QS: Asy-Syura:11