PARA TAMU YANG MULIA, SELAMAT BERKUNJUNG اهلا و سهلا مرحبا بكم جميعا

DISINI, KITA (MUSLIMIN SEJATI) BERBAGI INFORMASI ISLAMI UNTUK KEJAYAAN ISLAM SEJATI



DI TEPI PANTAI ATLANTIK

Rabu, 08 Februari 2012

MEMBONGKAR KEBOHONGAN SEORANG WAHABI

 bagian ke-20
SEKEJAP TETANG KONSEP TAWATUR
Mungkinkah mereka salah dalam memaknai nash secarah utuh? Sebagai insani, kemungkinan itu tetap ada dan melekat pada setiap individu, bukan hanya pada Syafi’i dan Syafi’iyyah saja.  Itu dibuktikan oleh koreksi mereka terhadap beberapa masalah yang mereka beberkan dalam kitab-kitab. Tetapi secara komunal (jamak) mustahil mereka salah, apalagi berdusta dan mendustai, sehingga lahirlah istilah tawatur dalam ranah Ulumul Hadits dan Usul Fiqh. Kalau konsep tawatur, yang didefinisikan dengan kesepakatan sekelompok manusia yang tidak memungkinkan secara adat menyepakati untuk berbohong, muslim atau bukan dan besar atau kecil, terhadap suatu perkara, tidak diterima sebagai suatu metode yang dapat dipercaya maka tidak ada lagi perangkat Islam yang kita miliki sekarang ini. Kita yang berdomisili pada ujung masa sekarang ini tidak menjabat tangan Rasul saw untuk mengambil wahyu dan sabda serta tafsirnya, tetapi turun-temurun secara tawatur dari generasi ke generasi ayat dan sabda dipersembahkan hingga kepada kita saat ini. Apakah itu berarti kita meragukan keautentikan Al-Quran dan sabda? Tidak! Sebagaimana tidak pula kita meragukan kebenaran penafsiran Imam Syafi’i terhadap hadits bid’ah, yang akhirnya beliau simpulkan: bid’ah ada dua, bagus dan jelek. Karena interpretasi beliau telah diselesaikan pada ujung abad ke dua Hijriyyah. Itu artinya, analisis beliau telah melewati puluhan abad dan selaksa tahun sampai hari ini, yang tentu saja telah pula terseleksi alam dan ditela’ah ribuan sarjana Islam dalam masa yang panjang sekali. Diteliti dengan seksama dan super hati-hati, dibanding-bandingkan nash-nash yang berhaluan sama tapi berbeda redaksi. Dan bila mereka temukan ada kejanggalan, kekhilafan dan bahkan kesalahan sekalipun mereka tidak segan-segan mengkritik dan mengoreksi sang Imam mereka sendiri, seperti banyak kita jumpai dalam kitab-kitab mereka.
Tetapi terkait pembagian bid’ah kepada dua oleh sang Imam Mujtahid mereka, para Syafi’iyyah menerimanya dengan tulus tanpa cela sedikitpun, malah ada yang sampai membagi menjadi lima bid’ah, seperti Ibnu Abdussalam. Tentu saja dalam hal ini terkecuali Sekte Wahhabiyyah yang muncul belakangan, karena mereka punya kebiasaan buruk dalam menilai tafsiran ulama lain apabila tidak sejalan dengan misi mereka, yaitu sering mengatakan: itu tafsir yang salah, tidak pernah ditafsir oleh salafussaleh dan lain-lain.
Jadi, kita katakan kepada orator Radio itu, menolak dan membid’ah-dhalalahkan Maulid hanya dengan hadits bid’ah di atas tidak ada tempatnya di Aceh ini, karena seluruh masyarakat Aceh meyakini mazhab Imam Syafi’i yang dengan sangat jelas beliau mengatakan bid’ah bukan hanya satu, tapi dua: baik dan buruk, dan Maulid masuk dalam kategori bid’ah baik. Kesimpulan, bahwa bid’ah bukan hanya satu, itu karena terpahami dari beberapa hadits. Antara lain hadits:
 "من سن في الإسلام سنة حسنة كان له أجرها وأجر من عمل بها من بعده من غير أن ينقص من أجورهم شيء ومن سن في الإسلام سنة سيئة كان عليه وزرها ووزر من عمل بها من بعده من غير أن ينقص من أوزارهم شيء"
Siapa saja yang menciptakan  suatu jalan baik dalam Islam lalu ditelusuri oleh orang-orang sesudahnya, maka dituliskan baginya pahalanya dan seluruh pahala orang-orang tersebut, tidak dikurangi sedikit juapun. Dan siapa saja yang merintis jalan keburukan lalu diikuti orang-orang sesudahnya maka dituliskan baginya semisal dosa orang-orang yang melakukannya, tidak dikurangi sedikit juapun”.[1]
Sekte Wahhabiyyah membantah hadits ini sebagai penjelas bahwa bid’ah ada yang baik, dengan argument mereka: bukan menciptakan sunnah baru tapi melanjutkan sunnah yang telah ada. Kita katakan, kalau memang kesana maksud dan arah sabda Nabi saw di atas maka redaksi hadits akan berbunyi begini: sunnahku bukan sunnah saja, disamping karena dirangkai dengan ismul nakirah (kalimat yang penunjukannya umum = tidak hanya sunnah yang telah ada saja). Mereka tetap juga akan membantah dan berat hati menerima analisis secara ilmu kebahasaan seperti ini. Tetapi kita meyakini, dari bahasalah semuanya bermula.
Terpahami juga adanya bid’ah baik dari makna hadits ‘Aisyah ra berikut ini:
( من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد ) وفي رواية لمسلم (من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد
Siapa yang mengada-ngada dalam urusan (agama) kami ini sesuatu yang bukan daripadanya (urusan kami), maka urusan itu ditolak” [2]. Apa satu riwayat Muslem: “siapa saja yang beramal suatu amalan yang bukan atas urusan kami, maka tertolak”.
Rangkaian kalimat ‘sesuatu yang bukan daripadanya (urusan kami)’ menunjukkan dengan jelas ada yang merupakan ‘sesuatu daripadanya (urusan kami)’, sehingga nanti akan berbunyi: ‘siapa yang mengada-ngada dalam urusan kami ini sesuatu yang daripadanya (urusan kami), maka tidak tertolak’.
Interpretasi seperti ini telah berlangsung lama sekali oleh semua salafussaleh dalam berbagai mazhab yang ada, minus Sekte Wahhabiyyah. Mereka memang tidak bisa menerima pemaknaan seperti ini, karena jauh sekali dari yang ingin mereka maknai, yaitu bid’ah hanya satu, dan itu harga mati tak tergugat dan tergugah lagi. Padahal kalau Rasul saw menginginkan seperti keinginan Sekte Wahhabiyyah hanya tinggal menghilangkan atau tidak mengucapkan sama sekali kalimat: ‘sesuatu yang bukan daripadanya (urusan kami ini)’, sehingga hadits seutuhnya menjadi: ‘siapa yang mengada-ngada dalam urusan kami ini (agama), maka tertolak’. Artinya, penafsiran hadits ini oleh Sekte Wahhabiyyah ada kalimat yang telah dihilangkan, sengaja atau tidak, sehingga wajar sekali akhirnya mereka menyimpulkan: bid’ah hanya satu, dhalalah.
bersambung..............


[1] HR.Muslem.
[2] HR. Bukhari-muslem