PARA TAMU YANG MULIA, SELAMAT BERKUNJUNG اهلا و سهلا مرحبا بكم جميعا

DISINI, KITA (MUSLIMIN SEJATI) BERBAGI INFORMASI ISLAMI UNTUK KEJAYAAN ISLAM SEJATI



DI TEPI PANTAI ATLANTIK

Sabtu, 11 Februari 2012

MEMBONGKAR KEBOHONGAN SEORANG WAHABI

 bagian ke-22

SECERCAH TENTANG WAHHABIYYAH


Mungkin pertanyaan di atas akan dijawab oleh hamparan cerita dilatar orbit mereka sebagai sebuah sekte pada ujung abad ke 18 M. ‘Wahhabiyyah’ adalah kata jadian dari ‘Wahhab’ yang secara literal merupakan ‘amtsilah mubalaghah’ (kalimat-kalimat yang mengandung pengertian ‘sangat’ atau ‘paling’), sehingga dia termasuk dalam salah satu ‘Asma-ul Husna’. Dan, karena itu disunatkan memberi nama orang dengan terlebih dahulu disandarkan kepada lafadl ‘abdun’, maka jadilah ‘Abdul Wahhab’. Dan, apabila orang yang memiliki nama tersebut punya anak atau cucu dan ke bawahnya lagi, tradisi orang ‘Arab sering anak atau cucunya disebut ‘Wahhabiy’ untuk menunjuk darimana keturunan dia berasal-mula. Kalau kebetulan dia punya pengikut, pengikutnya itu diistilahkan dengan ‘Wahhabiyyah’. Seandainya ‘Wahhabiyyah’ ini mengikuti ‘Wahhabiy’ pada satu pemahaman yang mempunyai ciri khas tertentu maka kelompok tersebut dipanggil ‘Sekte’.
‘Wahhabiyyah’ dalam pembahasan kita adalah gelaran pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab. Ia lahir di kampung Huraimilah, Najd (Riyadl sekarang), tahun 1111 H (1700 M), dan meninggal di Dar’iyyah pada tahun 1206 H (1792 M). Keluarga besarnya penganut setia mazhab Hambaly, dan dia sendiri awalnya juga seirama. Tetapi kemudian dia lebih menaruh perhatian kepada pendapat-pendapat Ibnu Taimiyyah, juga salah satu dari tokoh Hanabilah (penganut Hambaly). Tokoh ini yang lahir pada abad ke enam Hijriyyah merupakan tokoh besar pada masanya dalam mazhab Hanabilah. Namun, karena tulisan-tulisannya banyak mendobrak kemapanan induk mazhabnya sendiri dan Hanabilah yang lain, maka banyak pula datang tulisan membantah dan membabat pendapat-pendapat Ibnu Taimiyyah tersebut oleh para Hanabilah sendiri maupun diluar mereka. Sehingga lama-kelamaan tenggelam dalam alam bawah sadar dan dilupakan.
Tetapi berabad-abad kemudian Muhammad bin Abdul Wahhab mengapung dan mencungkilkannya kembali tanpa sandaran bersambung kepada penggagasnya sendiri, yang dengan demikian sangatlah disangsikan penafsiran-penafsiran yang beredar sekarang benar-benar maksud dari Ibnu Taimiyyah sendiri. Sehingga lahir ungkapan, “lebih Ibnu Taimiyyahnya Muhammad bin Abdul Wahhab daripada Ibnu Taimiyyah sendiri”.
Beda dengan mazhab Imam Syafi’i ra, dari murid-murid langsung beliau sampai sekarang terus bersambung setiap masa tidak pernah sepi dari Syafi’iyyah bertebaran di seluruh pelosok dunia, dan karenanya penafsiran terhadap kaidah-kaidah dalam berbagai kitab beliau oleh Syafi’iyyah sangat meyakinkan sebagai maksud dari beliau sendiri. Memang beginilah ciri-ciri dari aliran yang bisa dipertanggungjawabkan. Bukan hanya mengatasnamakan saja, tapi memang memiliki sandaran yang bisa dipercaya.
Di tangan Muhammad inilah gagasan-gagasan agak miring Ibnu Taimiyyah kembali dipertegas dengan keras dan membabi-buta. Ahli sejarah mempertanyakan, apakah memang begitu maksud nash-nash Ibnu Taimiyyah? Karena rentang jarak antara keduanya ratusan tahun lamanya, sementara titian penghubung antara keduanya terputus sama sekali. Taroklah, dia masih bisa menemukan kitab-kitab beliau, tetapi menela’ah sebuah kitab tanpa petunjuk seorang guru sangat dikhawatirkan setan akan menggurui. Kendatipun demikian dia terus bergerak walau pendapat-pendapatnya sangat menentang arus dan tidak popular pada masanya. Padahal Islam yang berlangsung sudah begitu lama saat itu tidak mungkin dirintangi oleh para ulama kalau memang benar dan sesuai aslinya. Salah seorang yang sangat menentangnya adalah ayah kandungnya sendiri, Syaikh Abdul Wahhab. Diikuti saudara kandungnya, Syaikh Sulaiman bin Wahhab, sampai-sampai beliau mengarang sebuah kitab khusus membongkar kesesatan adiknya sendiri, kitab itu berjudul: “Ash-Shawa’iq Al-Ilahiyyah fi Ar-Raddi ‘alal Wahhabiyyah” (petir-petir ilahi untuk mengkritisi pemikiran Wahhaby).
Akibat pemikirannya yang sangat ‘terisolir’ kala itu, akhirnya diusir oleh orang kampungnya sendiri. Berkelanalah ia ke Bashrah, Irak. Disana fatwa-fatwa anehnya berlanjut terus, yang menyebabkan dia tersingkir pula. Ingin melanjutkan pula perjalanannya ke kota Baghdad dan Syiria, tapi terkendala dengan uang.[1] Akhirnya dia pergi ke Hasa, mencari suaka kepada penguasa daerah itu, yaitu Syaikh Abdullah bin Abdul Latif. Hal yang sama terulang kembali, diusir dan pergi, karena kebiasaan buruknya tetap berlanjut pula.
Akhirnya, langkahnya membawa dia berlabuh ke Kota Dar’iyyah pada tahun 1744 M setelah terluntang-lantung di tengah padang pasir. Di sana, bertemu dengan penguasanya, Muhammad bin Su’ud, yang dikemudian hari nanti Arab disebut dengan namanya, su’udiyyah (Saudi Arabia, versi Indonesia). Disitulah kolaborasi antara dua Muhammad dengan dua kepentingan berbeda bersatu padu, politis dan agamis, dalam suatu perjanjian, bahwa akan diperjuangkan dan dibentuk satu dinasti Su’ud dan Wahhaby sebagai mazhab resminya. Dua Muhammad semakin erat berhubungan setelah Muhammad bin Abdul Wahhab mengawinkan putrinya kepada Muhammad bin Su’ud.
Dimulailah sejarah kelam, darah berceceran dimana-mana atas nama menegakkan tauhid atas orang yang memang sudah bertauhid tapi tidak sejalan dengan tauhid Muhammad bin Abdul Wahhab. Yang paling mengerikan adalah pembantaian yang terjadi Kota Karbala atas penduduk Syi’ah, anak-anak dan perempuan dibabat habis sebagai ahlul kuffar, akibat fatwa dari Muhammad bin Abdul Wahhab. Ini tercatat pada tahun 1801. Banyak ulama diseret dan dibunuh, karena tidak menyetujui fatwa-fatwa anehnya. Disebut aneh, karena sangat berbeda dengan ulama-ulama sebelumnya, kalau memang ‘fatwa’nya boleh disebut fatwa.
Tetapi seaneh-anehnya yang ‘aneh’ tetap juga akan berlangsung bila sanggup merayu dan membonceng suatu kekuasaan, seperti Mu’tazilah yang menempel dan membenalu pada super power dinasti Abbasiyyah, walau secara fitrah insaniah ‘keanehan’ itu mustahil diterima oleh Islam dan perangkat-perangkatnya.
Dipihak penguasa, Ibnu Su’ud, membutuhkan legalisasi  pembenaran melakukan hal-hal yang diharamkan selama ini, yang oleh pihak yang diulamakan, Ibnu Wahhab, menghadiahkan legalitas yang dibutuhkan, yang memang juga sedang menunggu-nunggu dan sangat memerlukan pelaku-pelaku penerap keanehannya. Berpautlah dua tujuan yang saling memberi dan menerima, sehingga pembunuhan terus berlanjut tanpa ampun mengatasnamakan jihad fi sabilillah atas orang-orang yang sesungguhnya berada atas sabilillah, tapi berbeda mazhab dan manhaj. Wilayah kekuasaan terus meluas, ‘ghanimah’ (rampasan) perang juga semakin menumpuk. Seakan impian, seperti pernah diikrarkan para pihak, membayang di langit harapan kian mendekat seiring ribuan nyawa meregang di altar pembantaian, merah merona pasir padang pasir. Pekikan Allahu Akbar mewarnai setiap ayunan pedang dan tombak, perisai berdentang di bawah perang yang seakan-akan  baru saja dimulai risalah baru setelah Muhammad bin Abdullah. Gugur jutaan tubuh yang diselimuti oleh syahadatain bersama kitab-kitab hasil karya mereka, yang hanya karena tuduhan dan fatwa syirik, khurafat dan bid’ah oleh seorang yang dianggap ulama, Ibnu Abdul Wahhab. Dengan alasan itu pula, kuburan para sahabat, aulia dan ulama diratakan seakan tidak pernah ada.
Ceceran darah dari tubuh yang mengucap kalimah tauhid ini, mengundang kekhawatiran mendalam dari Konstantinopel (Istambul), Ibu kota Turki Utsmani. Sebagai bagian dari wilayah kekhalifahan Turki saat itu, dominasi kaum Wahhaby pada beberapa daerah menjadi momok bagi Khalifah, apalagi Makkah dan Madinah telah ikut jatuh pula setelah kematian Ibnu Wahhab. Maka Khalifah menugaskan Muhammad Ali Pasya, wakil Khalifah (wazir) di Mesir, untuk menumpas pemberontakan Wahhaby dan mengembalikan Haramain ke pangkuan Khalifah sebagai khadimnya. Pada tahun 1812 pasukan Mesir berhasil merebut kembali Kota Suci Madinah, disusul kemudian pada tahun 1815 menyerbu Riyadl (Najd), Makkah dan Jeddah. Pasukan Wahhaby lari lintang-pukang. Panglima Turki dari Mesir kala itu, Ibrahim Pasya, putra wazir sendiri, menawarkan enam keping perak untuk setiap kepala Wahhaby, yang akhirnya terbentuklah pyramid kepala tanpa tubuh di satu lapangan. Pemimpin dinasti Su’ud saat itu, Abdullah Ibn Su’ud pada tahun 1818 M, diringkus di bawa ke Kairo selanjutnya dirujuk ke Istambul. Disana, setelah diarak tiga hari, dipenggal kepalanya. Sementara sisa-sisa keluarga Su’ud ditawan dalam penjara Kairo.
Seorang ulama Hanafy, Muhammad Amin ibn ‘Abidin, yang hidup di awal abad ke 19 M, mengatakan: ‘Ia (Ibnu Wahhab) mengaku pengikut mazhab Hambaly, tapi dalam pemikirannya hanya dia saja yang muslim dan semua orang lain adalah musyrik. Menurut dia, membunuh Ahlussunnah wal Jama’ah adalah halal, hingga akhirnya Allah swt menghancurkannya pada tahun 1233 H (1818 M) melalui pasukan muslim.
Demikianlah pembantaian Wahhaby dan dibantainya mereka pada gelombang pertama. Pada tahun 1824 era baru Wahhaby segera dimulai dengan lepasnya Turki bin Abdullah, putra penguasa Su’ud terakhir yang dipenggal di Istambul, dari penjara Mesir. Mengambil Riyadl, sebuah pemukiman selatan Dir’iyyah. Melakukan konsolidasi ke dalam sambil meluaskan wilayah kekuasaannya. Pengaruhnya semakin mencengkram daerah-daerah sekitarnya, meluas dan meluas, dan dilanjutkan turun-temurun oleh keturunannya, hingga akhirnya tibalah saat keruntuhan Turki Utsmani di Istambul pada tahun 1923 M. Maka langgenglah kekuasaan aliansi Su’udy-Wahhaby hingga hari ini dengan sebutan Arab Su’udiyyah, suatu system pemerintahan monarkhi (turun-temurun) yang sangat bid’ah, karena tidak dicontohkan dari system pemerintahan Rasulullah saw yang menganut system musyawarah.
Dalam bidang religious, sesuai dengan perjanjian awal saat aliansi dibentuk, yang berkuasa adalah keturunan Muhammad bin Abdul Wahhab, monarkhi dalam wilayah keagamaan. Dimulai dengan pengangkatan Abdurrahman bin Hasan, cucu Ibnu Wahhab, sebagai Qadi dan penasehat kerajaan. Dilanjutkan dengan keturunan yang sama pada bidang-bidang keagamaan yang lain, semisal guru, khatib jum’at dan hari raya, seluruh penda’i dan mufti-mufti.
Dalam buku seorang orientalis Inggris, Mr Hempher, berjudul ‘Confession of a British Spy’ (pengakuan seorang mata-mata Inggris) dipaparkan panjang lebar tentang peran Kerajaan Inggris dalam mensupport berbagai kebutuhan dinasti Su’udy-Wahhaby, termasuk dana, persenjataan  dan ketrampilan agar kekuasaan Ibnu Su’ud-Ibnu Wahhaby cepat menyebar di Jazirah Arab. Inggris melakukan itu semua dalam upaya melemahkan kekhalifahan Turki Utsmaniyyah yang saat itu begitu kokoh berkuasa dengan luas daerah separoh Asia dan separoh Eropa. Hempher, kecuali sebagai seorang Yahudi, ia juga ditugaskan sebagai spion (mata-mata) mencari-cari celah untuk mengembosi kekuatan Khalifah Islamiyyah yang terakhir kala itu, dan itu ditemukannya pada suatu klan (kaum) dipinggiran Kota Dir’iyyah, kawasan Najd (Riyadl sekarang). Dimana klan tersebut sedang memberontak jilid kedua dibawah aliansi Ibnu Su’ud-Ibnu Wahhab. Kesempatan emas ini dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk menyemai dan menanam rasa nasionalisme berlebihan kepada orang-orang di daerah itu, sehingga melahirkan yang diinginkannya, rasa benci kepada orang asing yang berkuasa di kawasan mereka, dan meletuslah makar rakyat di lokasi itu kepada Khalifah. Dan, sebenarnyalah, prediksi dia tidak meleset, karena tidak lama setelah itu cengkraman Khalifah sedikit demi sedikit melemah dan melemah dan akhirnya ambruk.
Keruntuhan dan kehancuran Khilafah Islamiyyah di Istambul, kota yang dulunya bernama Konstantinnopel—symbol  kemenangan Islam atas dunia Eropa, turut diandili oleh apa yang disebut sekarang dengan Kerajaan Arab Saudi dan aliansinya, Wahhabiyyah
bersambung...........



[1] Lihat kitab ‘Muqaddimah kasyaful Syubhat, karangan Muhammad bin Abdul Wahab.