PARA TAMU YANG MULIA, SELAMAT BERKUNJUNG اهلا و سهلا مرحبا بكم جميعا

DISINI, KITA (MUSLIMIN SEJATI) BERBAGI INFORMASI ISLAMI UNTUK KEJAYAAN ISLAM SEJATI



DI TEPI PANTAI ATLANTIK

Rabu, 08 Februari 2012

MEMBONGKAR KEBOHONGAN SEORANG WAHABI

 bagian ke-9
SEKILAS TENTANG QIAS
Dalil apa yang dia inginkan? Dalam syari’at Islam, sebagaimana telah dirumuskan oleh para Ulama Salaf dan Khalaf, diasaskan hukum-hukumnya kepada empat asas: Al-Quran, Hadits, Ijma’ dan Qias. Ini semua diperoleh dari pemahaman secara komunal (menyeluruh) tehadap semua dalil sebagai satu kesatuan yang saling menafsirkan dan mendukung. Hadits berikut memuat tiga asas sekaligus:
عَنْ مُعَاذٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم لَمَّا بَعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ قَالَ لَهُ  كَيْفَ تَقْضِى إِذَا عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ؟  قَالَ أَقْضِى بِكِتَابِ اللَّهِ. قَالَ فَإِنْ لَمْ تَجِدْهُ فِى كِتَابِ اللَّهِ؟  قَالَ أَقْضِى بِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم قَالَ  فَإِنْ لَمْ تَجِدْهُ فِى سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ قَالَ أَجْتَهِدُ بِرَأْيِى لاَ آلُو. قَالَ : فَضَرَبَ بِيَدِهِ فِى صَدْرِى وَقَالَ الْحَمْدُ للَّهِ الَّذِى وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ لِمَا يُرْضِى رَسُولَ اللَّهِ
Dari Mu’azd sesungguhnya Rasulullah saw ketika mengutus Mu’azd ke Yaman, beliau bersabda: “Bagaimana engkau menghukum bila datang suatu permasalahan yang membutuhkan hukum?” Mu’azd menjawab: “Aku menghukumi dengan Kitabullah”. Nabi saw bersabda: “Bila engkau tidak mendapatkannya dalam Kitabullah?” Mu’azd berkata: “Aku hukum dengan sunnah Rasulullah saw”. Rasul saw bersabda lagi: “Bila dalam sunnah tidak engkau temukan?” Mu’azd menjawab: “Aku berijtihad dengan pendapatku sendiri, tidak akan ceroboh (berhati-hati)”. Lalu Mu’azd berkata: lalu Rasul saw menepuk dadaku dengan tangannya dan berkata: “Seluruh puji bagi Allah swt yang telah memberi petunjuk bagi utusan RasulNya kepada perkara yang melegakannya”.[1]
Dari dialog Nabi saw dan Mu’azd ra ini, mayoritas ulama menemukan fakta meyakinkan, bahwa sumber hukum yang mendapat legalitas dari Rasul saw adalah Al-Quran, Hadits dan Ijtihad yang diistilahkan dengan Qias. Para pakar ilmu Islam boleh jadi berbeda pandangan dalam menafsirkan Hadits di atas, khususnya pada kalimat: “Aku berijtihad dengan pendapatku sendiri”, yang oleh segelintir ulama tidak menyepakatinya sebagai salah satu asas hukum Islam, tetapi tidak serta-merta ketidaksetujuan mereka meruntuhkan kesimpulan yang didapat oleh pihak lain. Karena semua Ahlul Ilmi punya hak yang sama untuk menela’ah teks agama dan menarik kesimpulan, ditambah lagi bahwa keberagaman pendapat dalam agama bukanlah hal tercela dan sebenarnyalah telah dimulai semenjak wafat Rasulullah saw oleh para sahabat, dan itu tidak membuat mereka terpecah-pecah. Karena selama dalil yang tersedia masih mentolerir perbedaan tersebut semua harus menghormati dan tidak boleh mengklaim pendapat orang lain salah, apalagi sesat seperti yang dipraktekkan oleh sekte Wahhabiyyah.
Keberadaan Qias sebagai salah satu cara melahirkan hukum, khususnya dalam kacamata Imam Syafi’i dan Syafi’iyyah, merupakan suatu keniscayaan. Karena, disamping dilandaskan dengan Hadits di atas dan dalil-dalil lainnya, juga kebutuhan mendesak dalam rangka menjawab perkembangan zaman yang terus bergerak dalam segala dimensi kehidupan. Pada saat bersamaan dalil spesifik untuk persoalan spesifik tidak dijumpai dalam Islam. Disinilah para pakar Islam menerapkan konsep Qias, agar pesan Al-Quran bisa terealisasi dengan baik:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“Hari ini telah kusempurnakan agamamu dan kusempurnakan dan seluruh nikmat serta aku rela Islam sebagai agamamu”[2].
Salah satu keagungan Islam terletak pada nash-nashnya yang bersifat universal dan menyimpan satu makna (pesan-pesan universal= ‘illat) yang memungkinkan diterapkan sepanjang usia bumi ini. Inilah ruh Islam sesungguhnya, yang membuat Islam abadi selamanya. Hal ini telah dimulai oleh para sahabat pasca Nabi saw dan dilanjutkan oleh ulama-ulama setelahnya, sehingga lahirlah mazhab-mazhab. Mengatakan Qias atau Ijtihad haram dan bid’ah, berarti sama dengan menyimpulkan bahwa para sahabat mengkhianati kepercayaan Rasulullah saw atau menuduh beliau saw telah berbohong ketika bersabda:
أصحابي كالنجوم بأيهم اقديتم اهتديتم
Para sahabatku laksana bintang-gemintang, siapa saja yang kamu ikuti diantara mereka maka kamu terpetunjuk[3].
Qias dan Ijtihad telah dirintis oleh para sahabat untuk mengisi kevakuman hukum dalam setiap persoalan baru yang terus bermunculan, dan tidak ada dalil yang membolehkan hal tersebut hanya untuk mereka saja, karena persoalan baru tidak akan berhenti terjadi setelah beliau-beliau wafat.
Berpijak atas fondasi inilah kemudian para Imam Mujtahid merangkai batas-batas tertentu untuk memagari ruang-lingkup yang dibolehkan memberlakukan Qias, hasil dari penelitian mendalam terhadap berbagai nash dan pekerjaan sahabat, yang akhirnya dikenal dengan istilah Usul Fiqh. Bid’ahkah merumuskan ini semua? Ya! Karena tidak diketahui ada masa Nabi saw. Tapi hasanah wajib, karena merupakan kewajiban menjawab setiap persoalan baru yang timbul, yang salah satu metodenya Qias, sesuai dengan kaidah:
ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب
Perkara-perkara yang tidak sempurna kewajiban kecuali dengan dia, maka dia menjadi wajib pula.
Mempermasalahkan Qias sebagai salah satu metode istimbath hukum itu merupakan perkara basi, dimana itu memang persoalan khilafiah yang sudah dimulai dan sudah pula diakhiri dengan kesepakatan masing-masing pihak menerima dan menghormati dalam perbedaan, tentu saja minus Sekte Wahhabiyyah yang kelahirannya premature di saat yang kurang tepat, karena mereka tidak begitu pandai menghargai perbedaan pendapat akibat terlalu benci kepada ilmu akhlak (tasawwuf).
Seorang ilmuan Syafi’iyyah menulis dalam kitab Al-Luma’:
وكذلك هو حجة في الشرعيات وطريق لمعرفة الأحكام ودليل من أدلتها من جهة الشرع . وقال أبو بكر الدقاق هو طريق من طرقها يجب العمل به من جهة العقل والشرع وذهب النظام والشيعة وبعض المعتزلة البغداديين إلى أنه ليس بطريق للأحكام الشرعية
Demikian juga Qias adalah hujjah dalam perkara-perkara syar’iyyah, suatu metode mengetahui hukum-hukum dan merupakan satu dalil diantara dalil-dalil hukum dalam pandangan syara’. Abu Bakar Ad-Daqaq berkata: Qias suatu cara dari berbagai macam cara pengambilan hukum yang wajib diamalkan secara akal dan syara’. Nidlam (seorang Mu’tazilah), Sekte Syi’ah dan beberapa Mu’tazilah Baghdad berpendapat, bahwa Qias bukanlah jalan menuju kepada hukum-hukum agama.[4]
Nukilan di atas sudah cukup mewakili bagaimana sebenarnya kedudukan Qias dalam berbagai mazhab, khususnya dalam mazhab Imam Syafi’i yang dianut oleh seluruh masyarakat Aceh,  dan, telah jelas pula mazhab mana saja yang tidak menganggap Qias sebagai dalil dalam Islam. Umumnya mereka merupakan sekte yang tidak dianggap, kalau tidak mau dikatakan sesat-menyesatkan. Sebagai tambahan, ketidaksetujuan pihak minoritas, apalagi mereka bukan mazhab yang diperhitungkan, tidak lantas bisa mengobok-ngobok pemahaman pihak mayoritas. Dalam kerangka keAcehan, demikian juga secara dunia Islam, Mu’tazilah dan Syi’ah bukanlah penghalang menyatukan pendapat yang akan disebut sebagai Ijma’ Ulama. Orang-orang masa kini yang tidak bisa menerima Qias sebagai dalil hukum adalah penerus aliran di atas, yang sepantasnyalah tidak perlu dihiraukan, nyamok di lua keuleumbu.
 bersambung................


[1] Lihat Sunan Kubra Hadits no.20836.
[2] QS:Al-Maidah:3.
[3] HR:Muslem.
[4] Lihat Syairazy dalam Al-Luma’.